P. Mariano Grace da Silva, SVD

 

MEMOAR SEORANG SAHABAT….

Bagian I (Grace, Sebuah Rahmat)

13 Juli 1985, itulah pertama kali saya bertemu Mariano Salvatore Grace Da Silva. Sebagai siswa baru di Seminari Hokeng, ia diantar oleh ayahnya, Lambert da Silva, S.H, M.Hum yang kemudian saya tahu bahwa dia adalah seorang dosen di Fakultas Hukum Undana.

Mamanya, Ibu Mien, asal Wolojita Ende (kalau tidak salah), seorang guru Bahasa Inggris SMP Negeri 1 Kupang. Seorang wanita cerdas, sangat komunikatif dan pernah jadi Ketua WKRI NTT. Keduanya, Lambert yang pendiam dan Mien yang pintar komunikasi, membuat Eis memiliki semua kualitas itu.MARIANO GRACEFoto diambil di Bandara El Tari Kupang, seminggu sebelum Grace meninggal dunia.

Hal itu sudah terlihat ketika Eis kecil masih di SMP Seminari Lela. Menurut kesaksian P. Frieds Meko, SVD, ia sudah menunjukkan kepiawaiannya berkomunikasi. Meski sangat belia, ia sudah berani memuji kepiawaian para frater yang mengadakan ‘show band’ waktu itu sambil berjanji bahwa suatu saat ia ingin menjadi anggota Serikat Sabda Allah.

Tentang Eis, demikian nama sapaan manis di keluarga, setamat dari Seminari Kecil di Lela (sebagai angkatan terakhir SeminariLela), ia diharapkan masuk Seminari Mertoyudan. Kebetulan waktu itu Pak Lamber lagi ambil S2 juga di salah satu universitas di Jakarta.  Tetapi akhirnya Eis besekolah di Hokeng. Barangkali agar dia juga dapat mengenal saudara-saudara, keluarga ‘da Silva’ juga di Larantuka dan juga ada yang di Boru (dekat Hokeng).

Kehadiran Grace di Sesado Hokeng, meski merupakan siswa baru karena harus bergabung dengan kami yang lama (tamatan dari Seminari Lela bisa langsung masuk ke kelas 1 SMA, sementara dari sekolah non-seminari harus melewati Kelas Persiapan Bawah), tetapi dengan cepat Grace menyesuaikan diri. Malah, ia begitu cepat bergaul dengan kami yang sudah setahun di sana.

Tahun pertamanya di Hokeng (tahun kedua bagi kami yang lain), kami kedatangan Menteri Pertanian. Waktu itu pak Menteri meminta dua siswa seminari untuk dikirim ke Jember mengikuti pelatihan pertanian. Salah satu siswa yang terpilih adalah Eis.

Sepulang dari Jawa, kepiawaian Eis tidak bisa tertandingi, sehingga saat pemilihan Ketua OSIS, ia begitu mudah terpilih. Semangat berkomunikasinya pun sangat menonjol dan tahu bagaimana menarik perhatian saat berbicara. Hal itu terbukti saat kami mengunjungi SMA Syuradikara dalam sebuah kunjungan antarsekolah. Eis sebagai Ketua OSIS tidak cangung mengucapkan terimakasih dalam beberapa bahasa asing.

Di Hokeng, meski kami beda kelas (Eis kelas A2 Biologi dan saya A3, IPS), tetapi persahabatan kami tidak terbagi. Secara pribadi kami berdua ke mana hampir bersamaan sehingga keluarganya yang ada di Boru adalah keluargaku dan juga keluarga saya di Wolorona juga seperti keluarganya.

Selama di Hokeng, ada anekdot. Waktu libur, Eis bawa banyak minuman yang untuk saya orang kampung belum pernah saya minum. Saya ingat ada minuman dari Rambutan… Hal lain yang lebih tidak membuat saya lupa. Suatu sore, kami dua ke Wolorona di Hokeng, beli 1 botol sirup dan kue. Saya pikir Eis tahu cara pakai.Ternyata sama bingung dan saya. Kami dua mau minum langsung….. Harusnya dicampur dengan air dulu…

Anekdot lainnya, tentang kesenangan Eis memakan bawang putih. Meski sering tercium bau yang tidak sedap, tetapi itu sudah jadi pilihannya. Baginya, bawang putih itu dapat menyembuhkan berbagai penyakit. (Kebiasaan ini, menurut kesaksian Sr Vianni Un dari Filipina, ia sering makan bawang putih dan minum air jeruk untuk cleansing. Barangkali itu pula menyebabkan gangguan pada lambungnya, sebagai salah satu penyebab kematiannya).

 

Hal lain tentang makanan kesayangan,  daging RW. Ia sangat menikmatinya. Tetapi suatu saat, waktu pulang libur, ia dengar dari ibu Mien bahwa salah seorang anggota keluarga harus pantang daging anjing. Jadilah Eis ‘berkorban’ untuk sejak saat itu tidak menikmati makanan khas itu.

Secara pribadi, hal  yang paling berkesan dalam persahabatan adalah ketika setelah Ujian Nasional. Eis tahu, saya dari Lerek dan untuk mencapai kampung kecil di Selatan Lembata itu harus jalan kaki, tetapi dia bilang “Obe, saya bisa ikut ke Lerek”. Jadilah kami naik perahu motor dari Larantuka ke Labala. Dari Labala, kami jalan kaki hampir 5 jam melewati Atawolo untuk sampai ke Lerek.

Di kampung kecil yang juga kampungnya P. Ande Mua, SVD, kami tinggal 2 hari. Sesudahnya, ‘anak Kupang’ itu harus berjalan kaki dengan saya dari Lerek ke Lewoleba selama 12 jam. Kami melewati bukit-bukit dan baru tiba hampir malam di Lewoleba. Dengan tungkainya yang panjang, Eis berjalan dengan begitu cepat.

Saya ingat, percakapan yang paling berkesan adalah mewawancari seorang ibu (Nogo Baha) yang ketika masih gadis, menjadi saksi mata pembunuhan Pastor Conrard Beeker, SVD. Dengan cermat ia mengikuti bagaimana kesaksian tentang misionaris Belanda yang sangat fasih berbahasa Lerek dan sangat merakyat, tetapi karena irihati dan dengki tak tersembuhkan oleh seorang bernama Baha Luga, maka riwayat hidupnya berakhir di Watuwawer.

Dari pertemuan awal, sungguh terasa bahwa kehadiran Eis, baik sebagai pribadi maupun dalam kualitas pribadi yang menonjol, ia sungguh hadir sebagai rahmat (grace), tidak hanya bagi keluarga tetapi juga bagi siapa pun. Ia memberi harapan akan masa depan yang terbuka lebar.

————————————————————————————————————————————-

 

Bagian II (Grace, Sahabat ‘Gaul’)

 

Agustus 1988, Eis memulai hidup baru sebagai seorang anggota Serikat Sabda Allah (SVD). Dengan kepiawaiannya, ia tidak mengalami kesulitan untuk bergabung dengan teman-teman dari Kisol, Mataloko, Labuan Bajo, Kupang, dan Lalian. Karenanya, ketika diadakan pemilihan ketua, ia dengan mudah mendapatkan kepercayaan.

Posisi Nenuk yang tidak jauh dari Kupang, cukup sering Eis mendapatkan kunjungan dari keluarga atau pun kiriman ‘oleh-oleh’. Tetapi Eis tidak pernah menikmati sendirian. Selalu ada kenikmatan khusus ketika dinikmati bersama. Itulah salah satu keunggulannya, selalu bahagia bila ada bersama orang lain.

Dari relasi, ia tidak hanya mudah bergaul dengan teman. Dengan tak canggung dan hal itu sangat berkesan, ia bergaul dengan pastor tua, khususnya P. Lalawar, SVD, seorang misionaris asal Belanda. Bahkan setelah berpindah ke Ledalero, pastor Lalawar mengungkapkan kerinduannya untuk mendapatkan frater novis seluwes Eis.

Setahun kemudian, ketika pindah ke Ledalero (1989), meski dengan predikat ‘Novis II” Eis sudah bisa bergaul dengan frater tingkat VI. Luar biasa. Saya ingat, malam-malam kami dua pergi ke kamarnya diakon Gregor Neonbasu, SVD, yang waktu itu pada persiapan tahbisan. Dengan lincah Eis bertukar pikiran dengan orang yang hampir tahbis itu.

Itu hanya satu bagian. Banyak kali Eis bilang ke saya tentang angkatan di atas kami. Dia tahu sampai hal yang sangat khusus dari mereka. Ia bisa cerita, siapa yang sangat pintar dan siapa yang pas-pas. Ia mengenal mereka secara sangat pribadi. Untuk ukuran saat itu dimana Novis saja nyaris bergaul dengan filosofen, tidak bisa dibayangkan bagaimana ‘anak seumur jagung’ bisa bergaul dengan teologan. Bak “langit dan bumi”.

Ketika di Tingkat II ke tingkat III (1992, kalau tidak salah), Grace bersama Markus Solo dan Yustin Darmo mewakili Sikka dan kemudian NTT untuk perlombaan cerdas cermat tingkat nasional. Meskipun di tingkat terakhir itu tidak juara tetapi mewakili NTT sudah merupakan sebuah kebanggaan tersendiri.

Masih tentang semangat rela berkorban dan solidaritas, Eis yang mestinya dengan latar belakang keluarga yang harus disebut memiliki lebih dari cukup, tetapi hal itu tidak terlihat. Kesaksian teman kelas lainnya, Lorens Hokeng cukup mewakili. Saat liburan, mestinya ia bisa naik pesawat dari Maumere ke Kupang. Tetapi karena ingin solider dengan teman kelas, akhirnya ia rela naik Ferry dari Ende ke Kupang.

Bicara tentang kepintaran, sebagai teman dekat, sebenarnya saya sulit mengatakannya. Pintar, bisa saja, tetapi akhirnya hal itu tidak terlihat karena Eis tidak terlalu tekun. Saat-saat belajar, dia lebih suka jalan dari kamar ke kamar ‘tukar pikiran’. Tugasnya memang selesai, tetapi itu bukan karena pekerjaannya sendiri tetapi hasil perbandingan dari bebearpa tugas.

Tetapi sebenarnya yang menonjol pada Eis adalah Emotion Quotient (EQ) dan bukan Intelligent Quotient Quetiont (IQ). Setelah mendalami dua kecerdasan ini, saya yakin bahwa Eis memiliki yang nota bene sangat diharapkan untuk dimiliki orang zaman ini. Sangat jelas bahwa Eis adalah pribagi yang memahami orang lain dengan cara mendalam. Ia juga bisa mengendalikan sifat marah dan punya kemampuan mengendalikan diri.

Kelebihan lain juga ia disukai oleh karena keramahan dan sikap hormatnya. Ia sangat menghargai peribadi orang lain dan nyaris (paling kurang itu kesaksian saya) berusaha memanipulasi orang lain demi kepentingan dirinya.

Kepiawaian berkomunikasi, kepribadian yang memukau, telah menjadi modal saat diseleksi para frater untuk melanjutkan pendidikan teologi di Insbruch Austria. Bersama P. Markus Solo (kini di Desk Dialog AntarAgama Roma), Eis memulai pengembaraan di negeri para musikus klasik itu.

Meski jauh, surat selalu dikirimnya. Kadang dalam amplop ia menitip beberapa ‘rupiah’ yang ukuran kami di Ledalero yang masih menerima Rp 7.500, itu sangat besar. Sebuah pesta mini segera dilaksanakan sebagai ucapan syukur.

Selama masa pendidikan di sana, Eis sangat menonjol dalam komunikasi. Teringat saat saya mengunjunginya tahun 2002, ia begitu luwes berbicara dengan misionaris tua di biara ‘tua’. Terlihat bahwa Eis mengenal mereka secara pribadi dan hal itu merupakan kegembiraan di biara tua seperti itu.

Pada tahun 1997, kami baru bisa bertemu saat Eis datang merayakan misa Pertama di Naikoten. Dengan beberapa teman yang waktu itu bertugas di Timor, kami semua hadiri acara itu. Setelahnya, karena kesibukan di tempat masing-masing, tidak ada kontak yang lebih lanjut.

Tahun 2001, saat mendapatkan kesempatan belajar di Madrid, saya kontak Grace. Rupanya Grace tidak menyangka bahwa saya telepon. Saya minta dia untuk menebak saat saya sapa dia dengan nama manisnya “Eis”. Dia salah tebak, tetapi saat memanggilnya “Eis”, dia bilang, pasti kamu adalah keluarga dekat, karena nama itu hanya dikenal di lingkarangkeluarga dekat.

Sesudah itu, saya dengar Eis ke AS. Tetapi di negeri itu rupanya ia tidak terlalu lama. Pasalnya, (sejauh yang saya ingat), ia dikirim untuk belajar Filsafat. Tetapi mungkin tidak sesuai dengan minat, maka diam-diam ia beralih ke psikologi (yang hemat saya lebih tepat untuk dia, dengan model kecerdasan EQ).

Tetapi keputusan itu rupaya tidak mendapatkan restu dari pimpinan di Ende. Grace juga lupa, bahwa pimpinan adalah sangat penting dan kalau dilangkahi akan cepat mengambil keputuasan. Jadilah, Eis ditarik ke Ende setelah hanya tidak sampai 2 tahun di AS.

Di AS, waktu yang tidak lama. Tetapi itu bukan Grace kalau tidak membuat orang berkesan. Dari Milis kelompok Indonesia di AS, muncul kesaksian, betapa Romo Grace yang ganteng itu sangat disenangi oleh kesederhanaan dan kesediaanya untuk membantu. Ia meninggalkan kesan yang sangat mendalam.

Karena alasan pindah ‘jurusan’ itulah maka pada tahun 2004, Eis ‘ditarik’ ke Ende. Di sana ia ditempatkan sebagai prefek di Seminari Tinggi Ledalero. Saya mendapat kesan, Eis sangat manusiawi dengan para frater. Tidak ada perbedaan sebagai pembina dan yang dibina. Tidak ada rasa superior. Ia hanya hadir sebagai seseorang lagi dari orang lain (para frater).  Secara pribadi, justru pada saat ini, saya berlibur dan bertemu dengan Eis di Ledalero. Seperti biasa, sehari ‘keliling Maumere’ sambil bercerita tentang sukaduka.

Keutamaan itu pula yang menyebabkan ‘pembesar’ memberinya kesempatan kedua untuk belajar di Filipina. Hal itu terjadi sekitar tahun 2007. Mestinya ia tidak banya punya kendala karena sudah punya latar belakang bahasa Inggris dan Jerman. Dengan waktu sangat minimum, 2 – 3 tahun, mestinya sudah selesai belajar dan kembali mengabdi di Seminari Tinggi Ledalero.

Sayangnya, hal itu selalu menjadi pertanyaan karena sampai tahun 2013, belum ada berita bahwa ia telah selesai di sana. Padahal tidak sedikit teman malalh adik kelas yang ikut kemudian ke Manila tetapi mereka sudah duluan pulang. Tidak tahu apa yang menyebabkannya cukup lama terkatung-katung dalam belajarnya.

Mengapa sampai begitu? Sepintas, bisa terlihat bahwa dia kurang serius. Atau, bisa saja masih terlibat dalam kesibukan pastoral mengumpulkan ‘stipendium’ guna membangu keluarga. Tetapi sejauh yang saya alami, dalam setiap pelayanan, ia begitu tulus. Ia tidak pernah memperhatikan dirinya atau memaniupulasi orang demi kepentingannya. Yang ada dalam pikiran adalah melayani sampai tuntas.

Karena itu, studinya pun dianggap hal kesekian kalau di depannya adalah sahabat, orang yang harus dilayani. Ia akan melayani sampai tuntas.

————————————————————————————————————————————-

 

Bagian III (Sahabat “Tertulus”)

 

Rupanya Tuhan tahu bahwa seorang sahabat tidak bisa pergi begitu saja. Karena itu meski sejak 2004 tidak pernah ada kontak apa pun, tetapi ‘tiba-tiba’ saja, di “Waiting Room” Bandara El Tari Penfui (Minggu, 28 Juli 2013), Kupang, saat menanti penerbangan ke Jakarta, dan selagi mencharge HP, tiba-tiba ‘si jangkung’ itu lewat di depan saya. Ia setengah lari karena sudah ada pengumuman agar penumpang TransNusa ke Ende segera naik pesawat. Saya panggil dia dengan suara keras dan dia terkejut serta memeluk saya hingga saya yang lebih pendek dari dia hampir tidak bisa bernapas.

Eis bilang, “Obet, umur panjang. Tadi malam kami ada sebut namamu. Kata Wilfried, (adik/saudara satu-satunya Grace), tahun 2001 waktu libur, dia pernah jalan-jalan dengan kamu.” Saya hanya angguk, sambil ingat waktu itu bersama keliling Kupang-Penfui, kunjung umat Allah.

Pertemuan kami hanya 2 menit, tetapi Eis tidak lupa mengungkapkan kekecewaannya pada saya: “Obet, saya kecewa sekali dengan kamu.”. Saya terkejut. “Kenapa”, “Ada apa”, tanya saya, karena selama hampir 10 tahun ini saya tidak pernah ada apa-apa yang merugikan dia. Itu pikir saya. Tapi dia jawab: “Saat kita ketemu 2004 di Ledalero, kamu kan mau tarik diri, tetapi tidak pernah singgung dengan saya sehingga saya dengar dari orang lain”…

Sejenak saya terdiam. Ternyata keputusan saya membuat teman saya, Eis merasa sangat terpukul bukan karena peristiwa itu tetapi dia tahu sangat baik semua pergulatan saya. Mestinya hal itu saya sampaikan yang pasti tidak membuatnya terkejut. (Maaf, Eis, untuk hal ini).

Meski hanya dua menit, Eis juga tanyakan satu hal yang saya sendiri sebenarnya sudah lupa dtetil kecil.  Dia tanya: “Abong, bagaimana?” Saya terkejut sekali lagi. Itu kata khusus kami berdua yang saya sendiri juga lupa karena kami gunakan 25 tahun yang lalu.  Saya bilang, dia dalam keadaan baik-baik…

Itulah Eis, selalu memperhatikan teman. Dia yang bertanya semuanya dan saya tidak ada kesempatan untuk tanya tentang dia. Saya hanya sedikit heran dengan badannya yang kurus dan dia bilang lagi batuk-batuk (Oh, kalau hanya sakit itu, tidak apa-apa. Tetapi sesuatu yang aneh rasa rasakan sebagai teman. Tampangnya yang tidak tegap. Ia lebih kelihatan putih pasih, seperti orang yang sakit berat).

Pembicaraan kami hanya dua menit. Suda ada panggilan lagi. Dia bilang harus pergi. Saya bilang, kita foto dulu. Saya lalu minta orang yang ada di dekat untuk foto kami, gunakan kamera dan HP saya. Saya bilang, akan saya sampaikan ke teman angkatan II Novis Nenuk, dan setiba di Surabaya, dalam transit ke Jakarta, saya segera kirim ke teman-teman. Sambutan pun datang, tanyakan apakah Grace sudah selesai sekolah atau belum, di mana bertugas (saya bilang di Ende).

Oh ya, Eis sempat beritahu nomor HPnya. Saya pun tulis, Tetapi karena salah tekan, maka saya tidak bisa simpan nomor itu. Saya lalu pikir, harus cari tahu orang di Ende untuk  minta nomor HP Eis. Saya mau kontak, nanti. Lalu dia  segera lari ke pesawat dengan memikul sebuah ransel di punggungnya. Kelihatan ia tertatih-tatih bukan karena rangsel yang berat, tetapi karena mungkin ia dalam keadaan sakit.

Sahabat “tertulus”

Selasa, 6 Agustus, pukul 03.30, saya dibangunkan istri saya yang nota bene Eis kenal dengan baik. Dia membaca berita di Facebook…. Dalam samar-samar, dia bilang pater. Merry Grace,… saya masah bodoh karena orang tua Merry Grace saya tidak kenal secara pribadi. Tetapi semakin tidak sabar lagi, akhirnya saya tahu bahwa yang disebut adalah teman saya, Eis da Silva. Saya terbangun kebingungan, terdiam, dan menangis. “Eis, Eis…..”.

Saya baru ingat, semalam, saat Eis dalam gelisa, yakni pukul 00.15, waktu Jakarta, saya justru ada di tol. Ada sesuatu aneh yang tejradi dengan mobil saya yang tiba-tiba rewel, sebuah tanda tak biasa. Saya harus berhenti di tol untuk cek, dan akhirnya pulang ke rumah dengan kecepatan sangat minimal sekedar menggiringnya perlahan ke rumah. itu bahasa bahwa sahabatku dalam keadaan ‘sakratul maut’.

Paginya segera saya kontak teman Kelas, Bruder Thomas Seme karena sebelumnya ia mengirimkan SMS tentang kematian Grace. Saya tanyakan, katanya mereka m          asih main kartu sampai jam 11 malam. Sesudah itu semua pergi tidur. Mungkin saat mau tidur, ia dapat serangan. Di mulut dan barangkali hidungnya keluar darah. Mereka  segera panggil bruder Gaby ambil mobil, tetapi sebelum sempat pergi, Eis sudah mengembuskan nafsnya yang terakhir.

Ada anekdot kecil dari Br Thomas. Ia sempat tanyakan semua teman bruder yang sudah tarik diri, mulai John Tempo, Ansel Jawa, dan lain-lain. Oh ya, pagi itu saat rektor menyatakan bahwa br Thomas masih berada di komunitas sehari lagi (setelah sidang dewan Provinsial), Eis menyelutuk. “Kami masih butuh dia untuk main kartu” (Eis dan Br Thomas Seme dan kami yang lain seangkatan di novisiat Nenuk).

 

Itulah ekspresi begitu mendalamnya perhatian dari Eis untuk para sahabat. Satu per satu diingat dan tidak dilupakan. Ia pun terus memilik mereka dalam hati dan menyalami secara ikhlas dan jujur, tanpa kepalsuan dari wajah dan hatinya.

“Adios, Amigo” (Selamat Jalan, Sahabat).

Eis, selamat jalan. Dari kamu, saya belajar sesuatu yang luar biasa. Bagi kamu, hidup adalah persahabatan. Karena itu, studimu kadang tidak cepat karena bagi  kamu, ketika ada orang di depanmu, kamu ingin layani semaksimal mungkin. Untuk apa belajar, karena teman ditinggalkan. Karena itu, pelajaran kamu di AS dan Manila tidak cepat selesai, bukan kamu tidak pintar, tetapi kamu tahu, yang paling penting adalah persahabatan. Kamu selalu melayani dengan tulus.

Kamu adalah imam yang suci, itu saya kenal kamu sejak di Hokeng sampai saat ini. Saya sangat yakin kamu adalah orang yang paling tulus dan suci. Tidak pernah mengotorkan imamat dengan hal yang aneh-aneh. Saya tahu sebagai orang yang pernah hidup di dalam, kamu tidak pernah memanipulasi wanita untuk dirimu. Atau kata kasarnya, punya ‘pacar’ di dalam, padahal itu bukan hal luar biasa bagi seorang yang katanya hidup selibat. Kalau bicara kemurnian, saya bisa beri kesaksian bahwa kamu 100 persen hanya untuk panggilan.

Untuk kemiskinan, saya punya kesaksian yang sangat jujur tentang dirimua. Kamu tidak pernah mengumnpulkan materi atau berelasi dengan orang lain untuk mendapatkan uang. Sama sekali tidak. Banyak orang tersentuh untuk membantu kamu tetapi kamu tahu bahwa uang itu akan digunakan untuk pastoral dengan orang kecil dan itu kamu gunakan.

Kamu tinggal di Eropa beberapa tahun karena itu mestinya kamu bisa kumpulkan uang untuk bantu Mama di Kupang dan bangung rumah tingkat hal mana cocok untuk orang kota seperti di Kupang. Tetapi itu kamu tidak buat. (Padahal orang lain bisa bangun rumah mewah di kampung, bahkan bertingkat). Karena itu saya sangat yakin, kamu itu hidup sangat miskin dan apa adanya.

Akhirnya, sahabatku, inilah persahabatan yang mengenangkan. Saya seakan tidak bisa mengontrol tanganku lagi karena panjang tulisan sudah enam halaman lebih tetapi terus mengalir. Saya harus stopkan dulu dengan kata-kata saya berikut ini: Adiós amigo… Eres extraordinario. No hay como tu….Rece por mí y mi familia. Tú me has dicho que no te sentiste bien cuando me decidí salir de la congregación porque sabes que profunda es nuestra amistad. Pero, no te sientas mal. Nuestra amistad no termina aquí. Sigue todavía hasta la eternidad… amín…. (Eis, Selamat jalan sahabat. Kamu luar biasa.Tidak ada orang seperti kamu. Doakan saya dan keluargaku. Kamu kecewa ketika saya Tarik diri  karena kita punya persahbatan yang sangat dalam. Tetapi kamu jangan kecewa. Persahbatan kita tidak berhenti di sini. Ia terus berlanjut sampai keabagian, Amen).

4 Responses to P. Mariano Grace da Silva, SVD

  1. Dominique Marie mercado says:

    Hello Fr Mariano , did you still remember me ? This is Dominique (beauty) from loreto .. How are you ? I sent you an email a couple times but you don’t reply.. Please send me email of you read this , dom_pretty16@yahoo.com

  2. robert25868 says:

    Mariano passed away on August 6th 2014.

  3. robert25868 says:

    Mariano returned to Indonesia in July 2014. I met him in the week at the Kupang Airport before he died. One week later, I heard he had passed away. May he rest in peace.

Leave a comment