KISAH-KASIH PULANG KAMPUNG LEREK LEMBATA

KISAH-KASIH PULANG KAMPUNG LEREK – LEMBATA

(Oleh-Oleh Liburan ke Lerek – Lembata Juni – Juli 2015)

Sebagai hajatan tiap ‘tiga tahunan’, 2015 menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Setelah liburan tahun 2009, 2012, kini rasanya rindu pulang kampung begitu kuat. Ingin kembali ‘napak tilas’, mengulang kembali kenangan masa kecil.

Lebih lagi Diego, putera kami selalu terngiang di kepalanya ‘jadi orang Lerek’. Diego memang sudah pernah pulang kampung tahun 2012 tetapi saat itu masih berumur 2 tahun. Belum ada bayangan. Semua pengalaman nyaris ada yang teringat. Yang masih diulang terus adalah keaslian dan kesederhanaan. Bila di rumah ia tidak kenakan sepatu / sendal dan berjalan dengan kaki kosong, maka ada alasan untuk membela diri: “saya kan orang Lerek”.

Siap-Siap

Sudah sebulan malah dua bulan sebelumnya, isteri saya, Merty sudah sibuk menyiapkan segala yang perlu. Ada dalam daftarnya ‘siapa-siapa’ yang mendapatkan kado. Terhitung dua kali ke Tanah Abang dengan daftar belanja yang tidak selesai-selesai juga.

Ya begitulah perempuan. Tempat mengisi oleh-oleh pun sudah disiapkan termasuk memperbaiki tas tua yang sebenarnya sudah tak pantas lagi. Tetapi daripada membeli baru, kalau ‘abang-abang’ bisa memperbaiki tas maka masih bisa ada untungnya, termasuk sebuah tas hadiah dari delegasi PBB asal Meksiko dalam kunjungan ke Aceh tahun 2007. Saat itu, serorang pengusaha terpesona dengan tas saya yang ketiak diangkat, tersobek. Ia pun memberi sebuah tas yang hingga kini saya terus jaga meski sudah agak tua.

Urusan tiket pun sudah diatur jauh-jauh. Lebih lagi karena dalam kunjungan kali ini beserta sepupu: Yus dan isterinya Ida serta anaknya, Stella. Melalui Kowa Ape Tour, urusan menjadi selesai. Penerbangan ke Kupang dengan Lion Air dan hari berikutnya disambung dengan TransNusa Kupang-Lewoleba.  Untuk kembali harus ikut Batik Air tepat pada hari lebaran.

Siap-siap juga berkaitan dengan kegiatan bersama yakni Pelatihan Guru dan Pemberkatan Gereja di Atawolo. Sesungguhnya persiapan ini sangat memakan waktu dan tenaga. Kerap ada keluhan dari isteri dan anak karena kadang seminggu bisa dua sampai tiga kali pertemuan. Tetapi ini adalah bagian dari misi yang harus dibaut selama liburan.

Memang seharusnya demikian. Ini sebuah kegiatan yang sangat menguras tenaga. Dalam sebuah kesempatan, sering terucap spontan bahwa untuk melaksanakan kegiatan berupa pelatihan guru dan peresmian Gereja, ada beberapa peran yang dilakukan: jadi tukang pikul (harus memikul buku-buku Erlangga dan spanduk ke Kapal Umsini), bisa jadi narasumber (menyiapkan materi dalam pelatihan) belum lagi menjadi Editor buku Lame Lusi Lako (dengan berbagai kontroversinya), serta jadi pencari dana (harus menghubungi rekanan sana sini untuk dapat mengumpulan dana pendukung kegiatan.

Untuk yang terakhir ini, mencari dana, fungsi media sosial, seperti facebook sangat penting. Langkah awalnya memperbanyak teman, sesuai dengan kebutuhan. Kali ini, pertemanan yang berkaitan dengan SMP Tanjung Kelapa diperbanyak. Tercatat hampir 800 orang. Memang tidak semuanya tamatan dari sekolah tua di Selatan Lembata ini. Setelahnya, daftar kesediaan memberi sumbangan diperbanyak. Lalu kepada orang yang ditanyakan kesediaan.

Yang tidak kalah penting, para alumni biasanya sangat terkesan dengan program. Kali ini tentang SMP Lerek, kita konsentrasi pada tujuan utama yakni pelatihan guru, pemberian pengharagaan bagi orang yang berjasa, dan juga usaha untuk program ke depan. Begitu sedikit kisah, melenceng dari kisah awal.

Intinya, memang liburan ini penuh dengan kegiatan. Tetapi semuanya dilaksanakan dengan ‘santai’. Lebih lagi karena liburan kan tiga tahun sekali (kalau beruntung). Dengan demikian ketika p ulang kampung, harus benar-benar disiapkan. Ia bagian dari hidup. Lebih lagi kalau kegiatan itu bisa berkontribusi bagi banyak orang. Pengorbanan tetapi bila punyahasil maka semua kelelahan terbayar.

Jumpa Keluarga

Selasa 23 Juni, perjalanan itu dimulai. Dari rumah ke Bandara dihantar oleh adik Paskalis. Kebetulan ia baru bisa berangkat dua minggu sesudahnya. Terhitung bisa irit biaya. Dengan timbunan barang, seharusnya butuh 2 taksi. Tetapi untung Avanza, sebelum ditinggalkan untuk sebulan ke depan, kali ini ia bisa menangani semuanya hanya dalam satu reit perjalanan.

Perjalanan Jakarta – Kupang terasa lama. Mungkin karena sudah terlalu rindu kampung. Apalagi

tidak langsung ke Kupang tetapi harus transit ke Surabaya. Untung di Surabaya, pesawat yang sama ke Kupang sehingga penumpang tidak perlu keluar pesawat. Penumpuang hanya diminta tunggu 30 n menit. Cukup cepat sebenarnya tapi tetap terasa lama karena harus menunggu.

Penerbangan lanjutan pun yang hanya 1,5 jam pun masih terasa lama. Lion Air, (oleh alasan penerbangan murah barangkali) tidak menyuguhkan sedikit pun makanan ringan. Air minum pun tidak. Bagi yang butuh, ya harus beli. Untuk Diego bisa paham, kalau tidak biaya di atas pesawat itu mahal.PULKAM 6PULKAM 5PULKAM 4PULKAM 2PULKAM 1

Penerbangan dengan Lion Air dari Jakarta – Surabaya – Kupang.

Tiba di Kupang perjalanan dilanjutkan ke rumah rumah Tante (meskipun dalam tradisi Lerek, saudara ayah dipanggil ‘kakak’). Semalam di sana terasa suasana liburan mulai terlihat. Dengan cepat ‘sei babi’, ‘kuah asam ikan’, ‘jagung titi’ menjadi makanan pembuka. Pada malam hari, Diego dan Stela pun dengan cepat membaur dengan para sepupunya.

Istirahat malam terasa pendek. Besok hari harus lanjutkan perjalan 40 menit dengan penerbangan TransNusa ke Lewoleba. Pukul 05.00, saudaraku Gaspar Koban bisa menyempatkan diri mengantar dengan mobilnya ke Bandara. Semua proses berjalan begitu cepat tapi ada masalah. PULKAM 7Dengan penerbangan besar dari Jakarta Kupang PP, penumpang diperbolehkan membawa barang 20 kg. Ada 6 orang maka ketika berangkat, barang bagasi masih kurang. Hanya ada 112 kg. Masih ada ‘longgar’ 8 kg. Tetapi untuk ke Lewoleba, penerbangan lokal, hanya diperbolehkan 10 kg. Itu berarti hanya diperbolehkan 60 kg. “Busyet”…. Lalu barang yang sisa bagaimana? PULKAM 15PULKAM 12

Siap-siap Bandara El Tari Kupang ke Wunopito Lewoleba. Atur strategi bagaimana bisa menyelamatkan bagasi…

Sempat ‘muter-muter’ dalam bandara cari ide, sambil berpikir, apakah harus tinggalkan barang yang tidak bisa dibawa. Tapi kan tinggal sebentar saja sudah sampe. Kado siapa yang ditinggalkan? Tapi tiba-tiba pertolongan yang ditunggu-tunggu, datang.  Ada 2 penumpang yang tak bawa sekilo pun. Mereka pun diminta untuk tolong membantu membawa beberapa barang.  Akhirnya barang yang terbayar hanya 15 kg x Rp 20.000. Ya, daripada sejuta, itu pun sudah terasa cukup.PULKAM 13

Selamat datang ke Lewoleba, Bandara Wunopito.

Di Wunopito, bandara Lewoleba, adik Mirus sudah menunggu. Ternyata di luar dugaan, mama Yuliana Lier pun tak tahan menunggu anak. Dengan ojek, ia mau ‘bunuh kerinduan’ ketemu anak dan cucu di bandara. Proses awal pun begitu cepat. Rumah Kene Anton (adik dari ayah Pius Kedang) sudah menunggu dengan santap siang atau lebih tepat santap pagi. Mereka tahu kalau perjalanan dari Kupang – Lewoleba pagi-pagi sehingga belum sarapan.

?????????????

“Kolam dadakan”

?????????????

Diego krab bersama seputu: Erlan, Erlin, dan Jordan

Setelah santap siang dan sempat ‘atur-atur barang’, rasa rendam di laut nan segar tidak bisa terbendung. Dengan segera, sorenya, SGB Bungsu menjadi tempat melepaskan lelah. Lebih lagi karena Diego dan Stella sehari sebelumnya sempat ingin menikmati laut di Kupang. Ternyata yang dialami pantainya berbatuan dan tidak bersih. Untuk capai pantai bersih katanya harus berjalan beberapa kilometer untuk sampai di Lasiana.PULKAM 18Bermain pasir pantai di SGB Bungsu Lewoleba

Siap Pelatihan

Hari kedua dalam liburan tidak bisa dinikmati dengan senang. Sehari sebelumnya dapat kabar, Pak Thomas Ataladjar, yang sama-sama menjadi narasumber dalam pelatihan guru tidak bisa ke kampung berhubung sakit.

Karena itu tiga hari sesudahnya menjadi hari tak enak. Meski makanan yang disajikan keluarga begitu enak memanjakan lidah, tetapi itu terasa hambar. Pada hari Kamis 25 Juni, langsung mulai dengan pertemuan bersama. Tiga panitia pelaksana: Jakarta, Lewoleba, dan Lerek bertemu di rumah Bapak Maksi Laga Watun. EMAS LEREK 22Pembahasan alot tetapi dalam suasana kekeluargaan, proses itu menjadi lancar. Untung pada pagi harinya masih sempat kunjungan Kene Ande sekeluarga di Lamahora. Sajian makan siang melegahkan. PULKAM 16Di sana Diego dan Stella sempat memberi makan ternak (babi dan kambing), sebuah pengalaman yang menyenangkan. PULKAM 11PULKAM 9Sempat jalan-jalan sebentar meski pertemuan sore harinya memaksakan untuk segera menyudahi rasa kangen keluarga.

Kembali kepada kegiatan persiapan pelatihan, sore itu sudah harus mulai kerja. ‘Ayo kerja, kata Jokowi’. Tugas menyiapkan materi dilaksanakan. Meski tidur kurang, tetapi cukup terbantu dengan dukungan dari panitia.

Tugas seharian, Jumat 26 Juni menjadi sangat melelahkan. Pada sore hari, atas desakan Diego yang ingin menikmati lagi laut Lewoleba nan tenang, maka SGB Bungsu kembali jadi tempat melepaskan lelah. Selain itu, hari itu menjadi perlu nikmati laut sebelum besoknya harus mendaki ke gunung. Ke Lerek, masksudnya.

Maraton Konsolidasi

Lerek baru ditempuh Sabtu 27 Juli. Menumpangi bis truk: Kotebala, perjalanan menuju kampung dalam arti sebenarnya terjadi. Setelah melewati beberapa desa, mengingatkan pengalaman masa kecil hingga dewasa yang melalui daerah itu hanya dengan sehari jalan kaki, terasa rasa rindu kampung itu benar-benar menggembiarakan.

Kampung pertama yang dilewati adalah Namaweka. Desa ini juga menjadi tempat mengungsi bagi beberapa orang Lerek saat gunung meletus pada tahun 1950an. Di sana, ada bapa Lele Teka, ayah dari kakak Gabriel Kia Tolok. Setelah 20an menit ‘mendaki’, mobil melewati desa Lewokukung. Desa ini kusebut khusus karena di sini, adik saya Emiliana Lou Tolok tinggal karena menikah dengan Marosis Ali. Kali ini karena terlalu rindu kampung, maka tidak sempat singgah. Ya, dalam hari-hari yang akan datang, pasti akan ke sana.

Setelahnya tidak terlalu lama, sekiar 15 menit, kami sampai di Kalikasa. Inilah ibu kota Kecamatan Atadei. Di sini juga terdapat SMP yang awalnya SMP Swasta Budi Bhakti, tetapi kemudian dinegerikan. Akhir tahun 80-an, sudah menjadi sekolah negeri.Teringat, tahun 1987, kami sempat melakukan kegiatan bersama, SMP Tanjung Kelapa Lerek dan SMPN Negeri Atadei waktu itu.

Kemudian kami sampai di Karangora juga sekitar 20an menit dari Kalikasa. Dua kampung ini, Kalikasa dan Lerek termasuk cukup besar. Karangora puny aarti khusus. Teringat orang khusus yang ada di Karangora, bapak Menteri Niko Noning Lejap. Kalau ke Lewoelba, selalu mampir di Karangora untuk minum air. Kadang juga makan.

Selanjutnya 20 menit, perjalanan melewati daerah yang cukup terjal, yakni Watlolo. Saat berjalan kaki, rute ini selalu melelahkan. Dari jauh bisa dilihat orang yang sudah sampai di ujung bukit sana. Di sini, ada tempat khusus yang disebut HABHIPET. Namanya sedikit ‘aneh’ selalu dipelesetkan. Tetapi sebuah tempat yang menjadi simbol perjuangan, harus melewati jalan terjal.

Setelah Watlolo, kami akhirnya sampai di Atalojo. Kampung ini punya arti khusus. Saat kecil, tahun 70an – 1984, kami selalu pergi pulang pada akhir pekan. Di sini, kedua nenek dan kakekku (Mikhael Bala Tolok (wafat 1983) dan Elizabeth Dike Henakin,  wafat 1998) hidup di Dualei.

Kampung berikutnya adalah Bauraja, kakmpung dari Mgr Leo Laba Lajar, OFM, Uskup Agung Jayapura, dan uskup satu-satunya asal Lembata hingga kini. Kampung ini untuk hampir 30 tahun ditinggalkan tanpa penghuni. Tahun 1979, saat bencana tanah longsor, semua orang diungsikan ke Loang, Nagawutun. Setelah itu, baru orang kembali dan menempati lagi kampung itu. Gereja yang dulu ditinggal sepi, sekarang bisa dipakai lagi. Untuk sekolah, anak-anak harus ke Waiwejak, yang berjarak sekitar 5 km.

Kampung berikut, ditempuh hanya dalam 10 menit, Watuwawer. Di kampung ini, pernah seorang misionaris, P. Conrard Beeker, SVD, imam asal Belanda dibunuh. Kampung ini termasuk cukup besar berpenghuni. Banyak anak muda. Kampung ini juga sekaligus jadi pusat Listrik Daerah yang menerangi 3 kampung besar, Watuawer, Lerek, dan Atawolo. Inilah kampung terakhir sebelum sampai di Lerek, desaku tercinta.

Oh ya, sedikit tentang perjalanan, untung bahwa kami dapat tempat di samping sopir. Dengan demikian masih agak lebih santai. Kalau di bagian belakang bus truk, tentu bisa dibayangkan. Di samping sopir tentu hanya bisa bertiga Diego dan mamanya. Sementara itu seorang keponakan, yang bernama Robert Bala Jr, harus berada di antara para penumpang lainnya. Meski kelahiran Lerek tetapi Robert Jr belum pernah lagi pulang kampung.

Tiba di Lerek siang, mama Gelole masih sibuk tenun. Mungkin saja dia mau tunjuk pada anaknya bahwa dia masih bisa bekerja. Mama memang termasuk cukup kuat. Mama berumur 75 tahun (kelahiran 1 Juli 1940). Mama tinggal sendiri di rumah. Memang tidak jauh dari rumah (20 meter), ada anaknya, Dionisia Dike. Ibu Oni, yang juga menjadi sulung dari kami 5 bersaudara, beruntung diangkat menjadi guru PNS di SMP Negeri 2 Atadei. Di sana, ia bisa mendedikasikan tenaganya untuk pendidikan sambil menjaga mama.

Tentang ibu Oni, dalam beberapa periode terakhir juga diangkat jadi Ketua Dewan Stasi Lerek. Dalam hal menggereja, memang dia cukup bersemangat. Di Lerek ini juga, suaminya, Stanis Pelea Lajar, menjadi kepala desa 10 tahun dan pensiun pada tahun 2014.

??????????????????????????Diego dan Robert Bala Jr serta Mama Gelole. Pertemuan awal

Oh ya, apa santapan yang disiapkan ya pada hari pertama ini? Mama ternyata sudah siapkan sesuatu. Ayam bakar (kalau tidak salah). Menu seperti ini kerap saya lupa karena hari demi hari hampir sama: Ayam bakar, Ayam rebus (ayam kampung lho), jagung titi, nasi (dari beras tumbuk –merah), sayur (seadanya, bagi orang kampung sayur adalah makanan harian karena itu kalau ada tamu, semuanya serba daging).20150627_152550Diego dan para sepupu: Arif, Naris, Gloria, Michael, Obet.

?????????????Robert Bala Jr dan Michael Koban

Sore hari, dengan Pak Damianus yang sehari sebelumnya sudah tiba, langsung menemui Pak Yohanes Laba Koban, Kepala Desa. Suasana kekeluargaan menjadi warna khas karena kebetulan bertiga adalah teman sekelas waktu di SMP ‘doeloe’. Masalah yang dihadapi di desa pun terasa mencair dengan sendirinya karena pertemuan mengatasnamakan pertemanan. “Anis Wua” begitu nama sapaan waktu masih kecil yang kelihatan sedikit ‘oleng’ karena sorenya mungkin menikmati kelebihan alkohol dari sadapan tuak, masih bisa kendalikan pertemuan.

Pada hari Minggu 28 Juni, efek dari pertemuan sebelumnya sudah mulai terasa. Di depan gereja, setelah ibadah minggu tanpa imam, Kepala Desa dan Ketua Panitia bersatu di depan Gereja untuk mengumumkan rencana kegiatan. Itu sudah ada tanda bagus.

Untuk urusan pribadi, setelah Gereja, langsung menuju kebun. Kebetulan kebun kacang di Genek (30 menit jalan kaki) bisa jadi tempat rekreasi sore itu. Diego, Robert Jr, Naris, Avi, dan teman-teman lainnya langsung tenggelam dalam pengalaman mengambil kacang. Kacang itu lebih merupakan panen kedua. Biasanya panen kedua merupakan sisa-sisa kacang yang belum sempat terambil dan kemudian tumbuh lagi. Dari itu, bisa didapatkan sisa kacang.  Lebih tepat merupakan kacang sisa yang masih terus tumbuh dan kini memproduksi kali kedua.

?????????????Diego, Avi, Robert, Michael

20150628_131741??????????????????????????Ikut oma Gelole ke kebun untuk panen kacang tanah. Pengalaman yang kalau di Jakarta harus dilakukan melalui ‘Field Study’.

Dalam perjalaan pulang, isteri saya cukup lihai padang sana sini mengamati di rumah-rumah, kalau-kalau ada sisa-sisa Alpukat di pohon. Lerek memang terkenal penghasil utama alpukat. Buahnya sangat besar dengan isi yang sangat kenyal. Tetapi musim alpukat bukan sekarang. Mungkin hanya satu dua pohon yang punya alpukat. “Dan berhasil”. Ada 4 buah alpukat ‘tertangkap’ dari sebuah pohon.20150711_135921Lerek ‘gudang alpukat’. Alpukat berkelimpahan dan dijadikan makanan ternak (babi). Semuanya ini hanya Rp 50.000

Pada Senin, 29 Juni, kegiatan persiapan masih berlanjut. Hari ini ada kontrol persiapan ruangan. Tenda kegiatan pun baru dipasang, berhubung dua hari sebelumnya ada warga kampung yang meninggal. Persiapan tenda pun menjadi molor dan baru dilaksanakan pada hari Senin. Atas pertimbangan, ruangan pertemuan dipindahkan ke aula SD yang cukup besar, bisa memuat 200 orang, demikian Pa Thomas yang adalah Kepala SDK Lerek.

Di sela-sela persiapan, harus menyempatkan diri naik ke bukit demi menjadi signal HP. Konsolidasi bagaimanapun harus gunakan HP. Lerek masih ‘terhukum’ tidak ada signal karena memang berada di lembah. Konsolidasi dengan panitia Lewoleba dan undangan bisa berhasil. Untuk setiap kali kontak selalu ada jawaban.

Sementara itu mama Diego harus ke Lewoleba. Beberapa belanja harus dilakukan. Tetapi pesan cukup jelas, besoknya harus kembali lagi ke Lerek berhubung pada hari itu seekor babi harus ‘dikorbankan’. Tetapi yang lebih penting, ada beberapa kegiatan lanjutan yang harus dibereskan.

Pada malam hari, ada rapat koordinasi dengan dewan stasi. Ketua Dewan Stasi yang merangkap ketua konsumsi menggunakan ‘kekuasaannya’ untuk melibatkan para ketua Basis Gereja sehingga terlibat dalam membantu mempersiapkan perayaan Pesta Emas.20150629_182628Rapat Dewan Stasi bersama ketua-ketua basis memohon dukungan untuk kesuksesan Pesta Emas. 

Hari Selasa, 30 Juni, pertemuan konsolidasi akhir. Rencananya semua pantia yang berkumpul di Lewoleba bisa hadir semuanya. Hadir pula bpk Bernard Boli Rebong yang datang khusus untuk rapat konsolidasi. EMAS LEREK 10EMAS LEREK 11Sebuah kegembiraan melihat Ketua Panitia dan Kepala Desa duduk semeja membahas kegiatan Pesta Emas.

Pertemuan itu cukup melegahkan. Kehadiran perwakilan Lewoleba dan Jakarta cukup memberikan sinyal bahwa semua persiapan sudah semakin baik. Lebih lagi melihat ketua pantia dan kepala desa duduk semeja merupakan tanda kekuatan.

Suasana Pesta…

Hari Rabu, 1 Juli 2015. Hari itu punya arti khusus bagi mama Maria Gelole yang merayakan HUT ke 75. Kelihatan masih kuat, segar dengan pikiran yang masih jernih. Perayaan ‘sedanya’ dilakukan.

Siang hari, suasana pesta mulai terasa. Mobil truk KOTEBALA sudah mengantar team Marching Band SMA Negeri Satu Nubatukan atau yang disingkat SMANSA. Sepanjang 1km, Drum Band memecahkan kesunyian Lerek. Panggilan melalui loudspeaker membuat massa memadati jalan dari Lamaheku – Lerek.EMAS LEREK 1620150701_14035520150701_141211Suasana pesta perlahan mulai terasa dengan Marching Band SMANSA Nubatukan. Kata orang Lerek “Mite makaha di”… seruan kegembiraan.

Tua muda turun karena ini pengalaman pertama sebuah Marching Band turun ke kampung. Lerek jadi semarak. Suasana pun menjadi lebih terasa. Rombongan Marching Band pun menghidupi suasana. Masyarakat yang tadinya ‘diam-diam saja’ merasa terpanggil untuk bisa ikut ambil bagian. Proses persiapan sore hari pun semakin menggeliat. Meeting final dilaksanakan pada malam hari pun semakin memberikan warna suasana bahwa kegiatan akan segera dilaksanakan.

Ada silang pendapat, hal biasa. Rencananya malam itu langsung dihasilkan beberapa kesepakatna yang menjadi tujuan dari pelatihan. Tetapi akhirnya panitia sepakat, proses berjalan secara natural dan sesudahnya baru dirumuskan kembali.20150701_162504Rekonsiliasi Atawolo. Sebuah tanda perdamaian sejati. Bagi yang konflik diajak untuk ‘berdamai’ 

Hal yang tidak dilupakan. Rabu sore hari, panitia (diwakili Robert Bala dan Gabriel Kia) menyempatkan diri mengikuti acara rekonsilisasi di Atawolo. Dengan sepeda motor GL, yang sempat tergelincir di perbelokan, berdua bisa jadi saksi tentang acara perdamaian yang dilaksanakan di Atawolo.

Saat memasuki Atawolo, beruda bertemu dnegan mobil yang mengantar air minum ke Atawolo. Teringat bahwa untuk acara besok harinya di Atawolo, butuh air. Setelah melewati dialog sebentar, disepakati agar segera diantar air minum ke Lerek. Memnang Lerek yang dulunya dikenal penuh kelimpahan air, malah melupa, kini mengalami krisis air yang sangat serius. Untuk masak saja setiap keluarga hanya mendapat 7 liter seminggu, bagaimana dengan mandi?

Kekurangan air sungguh terasa. Bagi yang mampu, barangkali mereka bisa membeli air 1 tanki yang harnya sekitar Rp 800.000. Yang tidak mampu, hanya akan menunggu. Bagi yang kuat tenaganya, bisa mendaki ke Waiwuwur yang jaraknya sekitar 2 km. Bulan-bulan kemarau selalu menjadi maslaah serius.

Sebenarnya untuk hal ini sudah ada jalan keluar. Beberapa tahun yang lalu, telah dibangun sebuah bak penampung air yang berada di Lakaraya. Bak penampung ini diharapkan dapat menghisap air dari Waiwuwur dan selanjutnya dapat dialirkan ke Lerek. Sayangnya, kurang adanya rencana berkelanjutan. Pada saat hujan, alat penari air itu tidak diperhatikan akhirnya sulit. Pada musim kemarau, bak kosong, air tidak ada, dan orang Lerek harus membeli air. Ke depan, hal ini tentunya mesti lebih diperhatikan.

Mengikuti Kemauan Otak

Pelatihan Guru Kamis 2 Juli mulai terasa. Malam sebelumnya ada kecemasan bahwa Bupati dan rombongan akan terlambat. Ternyata rombongan hadir tepat waktu, pukul 07.30. Malah sebelum waktu yang dinanti, bupati dan rombongan sudah ada. YBAI LEREK 11YBAI LEREK 17Acara seremoni pagi pun tidak seperti skenario. Bupati tidak mau dijemput secara meriah. Jadinya Marching Band mengikuti jalan lain. Tarian perahu pun tidak jadi seperti yang direncanakan. Tetapi gegap kemeriahan masih terasa di depan aula pertemuan. Rombongan dikalungi dan disertai dengan show Marching Band.YBAI LEREK 16Marching Band team bersama bupati Lembata

YBAI LEREK 12Gegap Marching Band SMANSA 1. Peran Karel Koban, guru SMANSA yang juga penitia Lewoleba sangat sentral dalam menghadirkan Marching Band.

Acara protokoler berlangsung cukup khikmad. Dalam laporan panitia, Robert Bala yang mewakili semua kepanitiaan melaporkan tujuan kegiatan yakni memberikan motivasi kepada para guru agar lebih efektif dalam pembelajaran. Selain itu acara itu dilaksanakan dengan biaya seluruhnya dari para alumni.EMAS LEREK 17Manajer Erlangga untuk NTT, Pak Sahala

Ada bantuan dari beberapa lembaga tetapi lebih merupakan proyek ke depan. Dari Penerbit Erlangga misalnya hadir dengan prospek bahwa pembelajaran dengan buku bermutu sangat penting. Sebuah buku bermutu yang disusun oleh team penyusun UN lebih bermakna ketimbang begitu banyak buku lainnya tetapi dengan sedikit jaminan.

Sementara itu Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI) dengan pembinanya Prof Dr Subroto dan ketuanya Dr Rizal Sikumbang, siapa melaksanakan amanat dari Victor Nimo Wutun untuk mendirikan perpustakaan di Lerek. Itulah langkah yang bisa dibangun ke depan.EMAS LEREK 29EMAS LEREK 28Diplomasi dengan Pak Prof Dr Subroto dan Dr Rizal Sikumbang. Rencana, perpustakaan akan didirikan di Lembata

Selain itu, kepanitiaan pesta Emas siap menjadi ‘think-tank’ yang bisa menggagas beberapa kegiatan bermanfaat mulai dari Pendidikan, pelatihan, dan aneka kegiatan lainnya yang memerdayakan masyarakat.

Bupati Yantji Sunur mengapresiasi ide gila dilaksanakan pelatihan itu. Ke depan, bagi Yantji perlu ada kegiatan serupa dengan ide-ide kreatif untuk membantu pemerintah dalam memajukan Pendidikan. Salah satu harapan Panitia agar adanya koordinasi dan pengawasan terhadap kinerja guru. Selain itu agar usuan Pendidikan tidak ‘dipolitisir’ seperti pepindahan dan penempatan guru yang masih Syarat dengan urusan politik.YBAI LEREK 2Pelatihan adalah ‘ide gila’

Setelah acara ceremonial, kegiatan pelatihan pun dilaksanakan. Materi pertama pembelajaran mengikuti kemauan otak cukup menyedot perhatian. Rahasia otak dibedah untuk diketahui cara kerjanya. Pembelajaran di kelas selanjutnya harus mengikuti kemauan otak.

Banyak kali dalam pembelajaran justeru yang terjadi adalah melawan kemauan otak. Otak misalnya sangat membutuhkan oksigen dalam proses penyerapan informasi. Dengan adanya gerakan, oksigen itu lebih mudah mengalam sirkulasi. Dengan itu otak akan lebih mudah bekerja.EMAS LEREK 43Menularkan semangat dan motivasi guru. Juga menularkan semangat menulis. Semoga pengalaman singkat dapat berkesan

Dalam kenyataan, pembelajaran justeru menyalahi otak. Anak disuruh ‘duduk diam’. Semakin tenang semakin baik. Di sana hanya ada jaminan ketenangan tetapi informasi itu akan sulit terekam. Apalagi anak-anak pada usia bermain dengan pola aktivitas yang sangat tinggi.ROBERT BALA MA DIPL

Menanggapi presentasi ada sekitar 10an guru yang mengajukan pertanyaan. Sebagian pertanyaan mengarah kepada bagaimana kombinasi antara bermain dan belajar. Banyak guru yang mau bermain tetapi takut materi tidak selesai dan bukan cemas apakah siswanya paham atau tidak.ATAWOLO 6Pada bagian kedua, Robert Bala yang mempresentasikan materi tentang Menulis untuk meningkatkan profesionalisme Guru. Bahan pelatihan dari buku Lama Lusi Lako. Kepada peserta. ditampilkan kemudahan menulis dari materi narasi yang sudah dimiliki tiap orang.

Narasi yang ada selanjutnya dapat dikonversikan menjadi tulisan ilmiah. Domi Dolet Unaradjan, M.A menampilkan metode sederhana bagaimana menjadikan kisah lokal sebagai sebuah tulisan ilmiah melalui metode penelitian sederhana. Beberapa acuan diberikan agar para guru dapat mulai menulis.YBAI LEREK 10Domi Dolet Unaradjan, M.A, mantan Dekan FIA Atamajaya Jakarta, mempresentasikan metode penelitian sederhana. 

Theo Uheng Koban pada bagian pemaparannya mengisahkan pengalamannya bagaimana menulis. Oleh tulisannya yang meraih juara satu nasional, ia memperoleh hadiah yang ukuran waktu itu tidak sedikit. Semuanya berawal dari hal yang sederhana, dengan meneliti apa yang sudah dimiliki.

????????????????????????????????????

Karel Koban dan Theo Uheng, dosen dan mantan mahasiswa di Ende ‘doeloe’

Uheng yang lama memimin Institut Pastoral Ende mengemukakan ada perbedaan antara bahasa Lamaholot dengan dialek Lerek dan sekitarnya. Sebagian besar ada kehilangan vokal pada akhirnya. “Kame gute wato” dalam Lerek justeru hanya menjadi “Kam gut wat”, yang kedengaran seperti bahasa Inggris. Apakah itu menggambarkan kesederhanaan berbahasa ataukah kemalasan? Itulah pertanyaan yang menjadi bahan refleksi semua peserta.

?????????????

Theodorus Uheng Koban, M.Pd. menularkan semangat menulis kepada peserta pelatihan

Setelah mendapatkan pembekalan materi yang cukup, pada sore hari, para guru mendapatkan kesempatan untuk membuatkan outline. Setiap kelompok dibagi untuk mendalami salah satu bab dari buku tersebut. Dengan waktu hanya 30 menit, semua peserta dalam kelompok mulai menyusun outline yang akhirnya tiga kelompok dipilih sebagai pemenangnya yang hadiahnya menerima masing-masing buku “Lame Lusi Lako”.

Motivasi dan Arahan

Setelah proses yang melelahkan, pada sore hari, Bernard Boli Rebong memiliki waktu untuk memberi motivasi guru. Boli Rebong mengarahkan guru untuk dapat mengambil perannya sebagai pendidik. “Mengapa tidak, kata Rebong “ke depan sekolah-sekolah di kampung harus dimaksimalkan sehingga anak-anak di kota yang datang sekolah di kampung. Dengan biaya yang makin besar di kota tetapi juga karena tuntutan kualitas di kampung maka sekolah di kampung dapat menawarkan alternatif itu”.20150702_154826Bernard Boli Rebong membagi motivasi kepada para guru 

Boli Rebong juga mengharapkan agar adanya gerakan “Tanjung Kelapa Mengajar”. Berinspirasi pada “Indonesia Mengajar”, semestinya saat liburan, tiap guru dengan latar belakang tertentu dapat berkesempatan membagi ilmunya kepada alma mater. Hal itu menjadi mungkin kalau SMPN 2 Atadei misalnya proaktif mendata guru dan memberi kesempatan berbagi pengalaman itu.

?????????????

Simon Emi S.Pd, Kepala SMPN 2 Atadei. Peran kepsek sangat sentral

Hal itu sebenarnya tidak sekedar mengajar. Sekedar membagi pengalaman dan motivasi kepada siswa juga sudah cukup. Alumni yang telah mengabdi pada bidang tertentu bisa diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman. Dengan itu para siswa termotivasi agar dapat semakin giat menuntut ilmu.

????????????????????????????????????

Ibu Dionisia Dike Tolok menjamin bahwa konsumsi mencukupi untuk pelatihan guru

Pada sore hari, sharing pengalaman juga dilakukan oleh Penerbit Erlangga. Pak Sahala dari Manajer Erlangga Kupang NTT menampilkan peran dari penerbit Erlangga dalam meningkatkan kualitas Pendidikan. Buku yang bermutu sangat penting karena menjadi acuan dalam Pendidikan.20150702_131310Sharing pengalaman sore hari itu menjadi sangat cepat karena tim Erlangga harus bertemu dengan Bupati pada hari berikutnya. Karena itu sorenya tim Erlangga dengan cpeat meninggalkan Lerek dan secepatnya ke Lewoleba.

Meskipun sangat cepat tetapi kehadiran Penerbit Erlangga sangat terasa. Selain hadiah buku untuk tiap peserta, juga kontribusi finansial yang sangat mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut.DSC_0545

Ada hal yang tidak boleh dilupakan. Saat pada guru mengikuti pelatihan, para siswa pun mendapatkan kesempatan berbagi. Kali ini hadir P. Lambert Lalung, SVD dan Pak Bernard Boli Rebong. Mereka berdua memberikan sharing pengalaman dengan siswa bagaimaan perjalanan hidup mereka hingga meniti sukses. Ada anekdot. Saat memberikan sharing, Pak Boli Rebong bertanya: ‘siapa yang mau jadi imam nanti?’ Tidak ada anak yang angkat tangan kecuali seorang anak kecil. Pak Boli Rebong lalu memberikan seratus ribu rupiah sebagai hadiah atas keberanian si anak. DSC_0552Setelah melihat contoh itu, ada anak yang bilang “eka mek mo daha kam dere ku’, ba langsung kam hoga limam, er terlambat bi ma’ (coba tanya ulang, pasti semua orang mau angkat tangan,tetapi sudah terlambat).

Temu Kangen
Selagi masih mengikuti kegiatan sore, sudah terdengan ‘test sound’. Dari Waimata terdengarn suara Trio Destone menyanyikan lagu-lagu daerah. Para peserta seakan tidak tahan lagi untuk menyaksikan dari dekat penampilan dari tiga penyanyi bakat yang sudah sagat familiar dengan lagu-lagu daerah.DSC_0574

Dari kiri ke kana: Ibu Dionisia Dike, Ibu Kristina Tere Pukay (KTP), Ibu Agnes Kenupang, dan Ibu Paulina Barek Lajar

Acara sore menjelang malam yang dinantikan pun segera disaksikan. Dengan awal lagu Ina Maria sebagai doa, para peserta mulai masuk dalam suasana pertemuan. Moderator Gabriel Kia Tolok mengarahkan para peserta untuk memeriakn pemikiran dengan pertanyaan tunggal berinspirasi pada Himne Tanjung Kelapa: “Apa yang Ku pebuat untukmu?” .SPANDUK 50 TAHUN PENDIDIKAN LEREK copyPada bagian awal para peserta bernostalgia mengingat keindahan masa lalu. Saat itu dengan keterbatasan tetapi semangat pengabdian para guru dan motivasi siswa begitu besar. Dalam satu periode tepatnya tahun 1985 – 1990, bahkan SMP Tanjung Kelapa bisa mencapai 4 kelas paralel. Siswa begitu antusias bersekolah.THOMAS T ATALAJAR DAN ROBERT BALATwo men behind the show…

Semua hal itu menjadi mungkin karena aneka kegiatan ekstrakurikuler yang begitu marak dilaksanakan. Kegiatan koor di setiap stasi, Pramuka, Camping, olahraga, merupakan sejumlah rangkaian kegiatan yang menjadikan SMP Tanjung Kelapa begitu dikenang.SMP LEREK1SMP LEREK2

Foto kenangan angkatan / tamatan 1984/1985.

Prestasi akademik pun tidak ketinggalan. Dengan hanya berbekalkan pengatahuan SMA, para guru tidak berhenti mencari ilmu dan menjadikan pembelajarannya berkenan. Periode itu, seorang siswa (siswa Yohanes Laba Tolok, kini Pastor SDB) dapat menjadi juara UN SMP tingkat kabupaten.

Prestasi itu justeru memudar saat sekolah swasta itu berubah jadi sekolah negeri. Sesungguhnya kemunduran prestasi sudah terjadi pada akhir-akhir tahun sebelum penegerian. Itu berarti sudah terjadi penurunan saat itu. Keadaan itu perlahan menurun juga pada 8 tahun pertama menjadi sekolah negeri.

Setelah diteliti ternyata faktor dedikasi dan komitmen guru menjadi faktor penentunya. Kepemimpinan sekolah pun menjadi alasan utamanya. Bisa dibayangkan, dalam 8 tahun, kepala sekolah harus tinggal di Lewoleba dan hadir ‘seadanya’ untuk mengajar di Lerek. Tidak bisa dibayangkan model disiplin para guru kalau ‘sang motor’ tidak menunjukkan komitmen yang diharapkan.

Animo masyarakat untuk bersekolah di SMPN 2 (yang dulunya SMP Tanjung Kelapa) menurun drastis. Bisa dibayangkan misalnya siswa di Lerek ada yang justeru ‘lari’ dan bersekolah di SMP Swasta Apis Lamalera. Ada sebuah kerinduan untuk mencari sekolah berkualitas.

Temu kangen pada malam nan dingin yang juga dihadiri oleh Camat Atadei, Donatus Boli Ladjar dan Kepala UPTD Atadei, Yance Lamak, tidak terasa. Lagu-lagu bergantian dari Trio Deston dan SMANSA Band sangat menyejukkan.

Lebih lagi, salah satu lagu diciptakan oleh seorang alumni SMP Tanjung Kelapa, Yustinus Bala. Melalui lagu “Kiden Ina” yang menggunakan refrein “o Hayai” sebuah ratapan akan situasi SMP Lerek. Tetapi ratapan itu sekaligus memanggilan semua anak untuk pulang memberikan kontribusi demi meningkatkan Pendidikan di Lerek.

Selain itu para peserta diajak untuk meneladani para pendekar SMP Tanjung Kelapa yang dengan semangat juang telah menghadirkan sebuah sekolah. Di tengah keterbatasan: Leo Lado Watun, Victor Nimo Wutun, Agustinus Leyong, Pit Lidun Lein, dan Blasius Lalung telah mengukir sejarah. Selanjutnya figur seperti: Pius Kedang Tolok, Bartolomeus Gafeor, Maria Kidi Tolok, Gabriel Pito Tukan, Paulina Barek Lajar, Max Laga Watun memberikan kontribusinya hingga menjadikan sekolah itu sungguh menjadi favorit. Sekali lagi di tengah keterbatasan sekolah itu telah hadir menjadi sekolah luar biasa.

Misa Syukur

Kegembiraan malam itu dan rangkaian persiapan sebelumnya menjadikan hari puncak bakal seru. Semuanya akan berpuncak pada perayaan ekaristi sebagaimana diharapkan. Tidak sedikit alumni akan ambil bagian membagi-bagi pengalaman dan menjadikan perayaan itu ‘inolvidable’ (tak terlupakan) kata orang Spanyol.DSC_0541Tetapi pagi itu lonceng Gereja tanda misa bernada lain. Dengan cepat diketahui bahwa Yoseph Benolo Meran Koban yang beberapa hari itu berada dalam sakratul maut akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Anggota keluarga pun dengan cepat menghadapi Panitia Pesta Emas menyampaikan bahwa kematian itu tidak mesti menghentikan aneka perayaan yang sudah disiapkan.

Tetapi suasana itu pasti akan berpengaruh. Misa pagi itu berjalan cukup meriah meski dengan partisipasi umat yang tidak sebanyak diharapkan. Perhatian terbagi. Meski demikian suasana meriah tetap ada. Misa dirayakan dalam konselebarasi antara Rm Pius dan Rm Firminus (Firminus menjadi alumni tahun 1980).20150703_14445120150703_144519Rm Firminus dan Rm Pius menyatu dengan peserta pada ramah tamah puncak

Koor perayaan yang sudah lama berlatih pun tidak kalah menampilkan kualitas suaranya. Suara nyaring memberi suasana meriah perayaan.

Dalam homilinya, Rm Pius mengungkapkan pentingnya pendidikan dalam kehidupan. Dengan mengenyam pendidikan, perubahan sosial itu menjadi lebih mudah tercipta. Kecerdasan meestinya tetap menjadi target meskipun harus diimbangi dengan etika sebagai penyeimbangnya.

De la Misa a la Mesa (Dari Misa ke Meja). Setelah perayaan, setiap peserta diundang untuk segera ke ruang acara di SMPN 2 Atadei. Meski agak terlambat karena dari perayaan ekaristi peserta tidak langsung diarahkan ke SMPN 2 Atadei tetapi suasana pesta tidak kalah meriah.DSC_0001

Yang menarik, makan dan minum dihadiri per basis. Semua basis menampilkan makanan lokal. Tidak lupa, Panitia juga membagi ‘daging’ ke tiap basis untuk diolah lebih lanjut menjadi makanan bersama. Tidak lupa ditampilkan makanan lokal: putu, mud, blawar, uta hrani, tuak, dan lain-lain.EMAS LEREK 8EMAS LEREK 6YBAI LEREK 28Semua umat dari setiap basis membawa makanan dan minuman untuk dinikmati secara bersama-sama.

Undangan mendapatkan kesempatan khusus. Setelah mengambil makanan di meja utama, kemudian diundang untuk mengambil tambahan di meja tiap basis. Perut rasanya tak cukup tahan untuk menikmati semuanya.20150703_14521320150703_144509Di tengah acara makan yang sudah ‘tercerai –berai’ oleh perhatian yang terbai, giliran Panitia memberikan sambutan. Inisiatif segera muncul. Para siswa SD (30an orang) diminta untuk menyanyikan Himne Tanjung Kelapa.20150703_144440Ada hadiah insentif yang disiapkan Panitia sebesar Rp 50.000 untuk 3 orang. Tetapi ternyata daslam proses peserta bertambah menadi 10 orang hal mana membutuhkan dana tambahan. Akal cepat pun muncul. Beberapa alumni (Bapak Kandidus Latan Tolok, Bapak Konrardus Laba Tolok, dan Bapak Gabriel Kia Tolok) diminta untuk ‘menyelamatkan suasana’. Dalam waktu singakt terkumpul dana sebesar Rp 650.000. Jadinya Rp 500.000 tersalurkan. Muncul ide tambahan mengundang orang dewasa yang akhirnya tampil 4 orang menyanyikan himne SMP Tanjung Kelapa. “Saldo pun nol”. Semua terbayar.YBAI LEREK 21YBAI LEREK 22Acara sore dan menarik diakhiri dengan foto bersama. Panitia Jakarta, Lewoleba, dan Lerek bergabung dalam acara foto bersama mengabadikan momen langka itu.EMAS LEREK 45Pemberkatan Gereja St. Paulus Atawolo

ATAWOLO 7ATAWOLO 8Sabtu pagi, 4 Juli 2015, beberapa peserta meninggalkan Lerek. Tetapi tidak sedikit yang masih menunggu kegiatan sehari sesudahnya, pemberkatan Gereja Atawolo. Secara pribadi, tuntutan ke Atawolo lebih besar. Harus nginap di kampung isteriku.

Jadinya, siang setelah makan, dengan berkendaraan sebuah motor, perjalanan pun dilakukan. Saat tiba, dengan segera ke kuburan opa-oma. Tidak lupa hadir di kubur pioner guru agama Paroki Lerek, Paulus Nara Huar.ATAWOLO 9ATAWOLO 1ATAWOLO 2ATAWOLO 3Saat selesai berdoa menyalakan lilin, suara pengumuman bahwa rombongan uskup dan undangan khusus telah memasuki kampung. Jadinya ikut nimbrung menerima peserta. Di antara para tamu, seorang rekan, P. Matias Daton Doni, SVD, misionaris di Chile juga hadir.

Pertemuan hanya berlangsung sebentar karena saya harus balik Lerek. Matias hanya berpesan bahwa malam hari berdua harus ke Lerek mengunjungi mama Maria Gelole Henakin. Selain itu, saya harus balik dulu ke Lerek untuk mengembalikan motor dengan harapan bahwa akan dihantar kembali.PULKAM 28Proses itu berjalan begitu cepat. Perjalanan ke Lerek dan mandi sore berlalu begitu cepat. Kia, sang motoris menghantar balik ke Atawolo. Di sana pertemuan kilat terjadi dengan Matias yagn lagi di depan Gereja berhubung pertemuan Uskup Frans Kopong Kung dengan umat berlangsung agak lama.

Setelah acara itu, yang disertai dengan acara penerimaan sore di tenda, dengan segera saya ajak Matias untuk ke Lerek menumpangi mobil yang membawa mantan Dubes Chile Alo Maja. Tiba di Lerek, makan malam secara cepat disiapkan oleh mama dan para saudari. Ayam bakar seperti baisa dan jagung titi menjadi makanan malam.20150705_195721Alo Maja, Dubes RI untuk Chile berkesempatan singgah di ‘gubuk’ bapak Marosis Ali di Lewkukung

Pagi hari, Minggu 5 Juli 2015, berdua Matias segera ke pastoran untuk selanjutnya berangkat ke Atawolo bersama Uskup dan deken. Kebetulan malam itu, Uskup dan Deken seerta Vikejn mengingap di Lerek. Tiba di sana proses perayaan pun segera dilaksanakan. Sebuah suasaan penuh gegap gempita. Diawali dengan pembukaan selubung kemudian proses misa menjadi meriah oleh koor dengan dirigen luar biasa dari Apron Nuban dan Erny Namang.

Setelah perayana misa yang berlangsung hampir 2 jam, acara resepsi persaudaran. Hadirin begitu banyak. Rombongan bupati bahkan sudah tiba malam hari sebelumnya. Mereka lalu berkemah agar tidak merepotkan masyarakat. Rombongan lain seperti wakil bupati dan sekda serta tidak sedikit kepala dinas justeru pada pagi harinya.

Sekilas suasana Atawolo menjadi ‘macet’. Hal itu selain oleh kendaraan yang ‘begitu banyak’ (artinya 40an mobil kecil dan besar), tetapi juga karena jalur jalan hanya satu. Bila ada yang memarkir kendaraan di tengah jalan maka deretan panjang macet akan terasa dengan segera. Semuanya ‘lumpuh total’.

Rangkaian acara menarik. Atawolo disanjung atas sukses yang sudah ditunjukkan melalui pembangunan gereja hanya dalam 2 tahun. Terlepas dari kekurangan yang bisa saja, tetapi secara umum acara itu menjadi menarik dan berkesan. Lebih berkesan lagi usaha, suka dan duka mengikuti filosofi dari Luher dan Lakor dalam proses persatuan dan pendirian Gereja St.Paulus Atawolo

Sore hari, rencana ingin pulang Lewoleba berhubung dengan beberapa kegiatan lanjutan yagn masih harus dilakukan. Setelah melakukan lobby, akhirnya bisa menumpang mobil yang membawa mantan dubes Alo Maja. Sementara itu karena kekurangan tempat duduk, mama Diego harus numapng mobil Markus Waleng, saudara yang kini jadi Kadis ESDM Lembata.

Perjalanan meninggalkan Atawolo terjadi begitu cepat. Dengan rasa tak seluruhnya puas terutama dari Pak Alo, tetapi perjalanan balik tetap menarik. Di Atawolo kami mampir sebentar meminta kelapa muda. Anak muda pun dengan segera menunjukkan kepiawaiannya memanjat pohon dan menghasilkan beberapa buah kelapa.20150704_175351

Perjalanan dilanjutkan meski sempat berhenti mengambil foto di Watlolo. Kemudian, atas pendekatan pribadi, rombongan mampir sebentar di rumah adik Emiliana Lou dan Marosis Ali di Lewokukung. Jagung titi, ayam bakar, serta arak menjadi santapan malam waktu itu. Perhentian selama 2 jam lebih tidak terasa. Setelahnya rombongan terus ke Lewoleba dan malam itu kami lewatkan di Lewokukung.

Diego dengan mudah menemukan teman barunya, Kopong. Dengan cepat mereka akrab dan mulai beraktivitas sebagai anak-anak. Pada pagi hari, bahkan Diego bersama Kopong memungut kemiri di pinggir kampung. Ditemani Bapak Leonardus Laba, Diego dan beberapa teman asyik melewati hari itu dengan gembira.

?????????????

Diego dan Kopong

Sore setelah makan, perjalanan dilanjutkan ke Lewoleba. Tepatnya, Senin 6 Juli 2015. Pertemuan sore itu langsung dengan Bapak Anton Dolet Tolok. Menurutnya sang adik dari ayah saya, Pius Kendang, karena saat urusan adat pada April 2015 orang tua mertua tidak ikut makan daging maka kini saatnya harus dibuatkan acara bersama.

Setelah mendapatkan penjelasan dan kesediaan seperlunya maka disepakati bahwa pada hari Rabu 8 Juli proses itu bisa berjalan. Namun acara masing dua hari lagi. Hari yang sisa, kami ingin ke Adonara, mengunjungi ayah P. Matias yang saya kunjungi terakhir 25 tahun terakhir.

?????????????

Diego dan P. Matias mendaki di kampung lama Lamahelan

?????????????Setelah sepakat melalui telepon dan karena Pater Matias juga masih di Lamahora, sebuah desa kecil sekitar 4 km dari Lewoleba maka pada hari Selasa pagi, 7 Juli 2015, kami beranjak menuju Waiwerang Adonara. Dengan menumpang Kapal cepat Fantassy, dalam waktu 30 menit (perjalanan normal seharusnya 2 jam) kami sudah sampai di Waiwerang.

Setelah menikmati teh siang di rumah “Nes” (saudarinya Pater Matias), perjalanan pun kemudian dilanjutkan ke Senadan – Tanah Boleng. Di sana sudah menanti sang ayah, yang sudah 28 tahun berada di kursi roda. Sebuah penderitaan yang luar biasa. Penderitaan sang ayah yang waktu itu harus merantau ke Malaysia hanya agar ketujuh anaknya dapat mengenyam pendidikan yang layak.PULKAM 34PULKAM 36Meski hanya sehari, Diego punya pengalaman mendalam dengan Bapak Yohanes Ola Enga, ayah dari P. Matias. Diego memberi tanda salib pada bapa Ola dan sebaliknya ia membantu tangan bapa Ola untuk beri tanda salib. Kata Diego: “Pak, saya senang sama Opa ini”

Penderitaan itu justeru jadi ‘investasi’. Mama Deran (sang isteri) dan semua anak justeru lebih bertanggungjawab. Ada juga peran dari keluarga yang turut ambil bagian. Jadinya 5 anak justeru jadi sarjana dan kini memperoleh pekerjaan yang cukup memberi hidup.

Sebuah rumah megah pun dibangun hasil dari keringat semua anak. Ia bak istana. Meski hanya semalam, tetapi rasa damai itu sangat terasa. Bahkan rumah adat di kampung lama yang berada di ketinggian gunung Boleng sempat dikunjungi sore itu.PULKAM 35Perjalanan ke atas sesungguhnya menyenangkan bagi Diego. Ia bisa mengalami suasana di atas gunung. Tetapi suasana keramat telah membatasi ruang gerak Diego yang sangat ‘hiperaktif’. Diego pun tidak bertahan lama dan meronta-ronta ketika kebebasannya dibatasi.

?????????????

Diego di kampung lama “Senadan”

Kamipun segera turun bersama Vian, sang adik bungsu dari Pater Matias. Dari sana kami ke pantai. Pantai sangat berbatuan, jadinya ruang gerak Diego pun terbatas. Tetapi dalam kondis itu, Diego masih bisa bermain, melempar ombak yang datang mengguling di pantai.

Setelah melewati acara istirahat malam, besok paginya, Rabu 8 Juli 2015, tidak banyak kegiatan pagi. Berdua Diego, dengan berkendaraan motor harus pergi kembali ke Waiwerang untuk selanjutnya berangkat ke Lewoleba menumpangi KM Trisakti (kog pas ya, buat ingat Trisakti, lembaga tempat di mana saya mengajar bahasa Spanyol di Jakarta).

Di dermaga, Diego sempat melihat kegembiraan anak-anak pantai memancing ikan. Mereka menunjukkan kegembiraan dengan mencari ikan. Itulah kegembiraan anak-anak pantai. Perjalanan selanjutnya ke Lewoleba dicapai dalam 2 jam. Diego bisa melewati dengan tenang, berbeda ketika datang yang diallui dengan begitu cepat.

Di Lewoleba, berdua Diego segera ke rumah Bapa Anton Dolet. Di sana seekor babi sudah siap untuk dihantar dan akan ‘dikorbankan’ sebagai makan siang dan malam bersama. Dengan segera, ‘prosesi siang’ dilaksanakan. Bersama: sepupuku: Yus, Rufus, Ida, Dismas, Perada, Stela, serta Mama Nogo dan Bapa Anton, kami pun beranjak ke keluarga isteri saya.20150708_160931?????????????

?????????????

Mama Gelole tiba dari Lerek setelah menerima ‘surat perintah”

Proses sore itu penuh keakraban. Makan siang dan makan malam pun dilewati dengan begitu cepat. Pada malam hari ketika semua mau bubar, mama Gelole baru datang dari Lerek. Tidak lupa membawa anting yagn mau diserahkan sebagai rasa terimakasih.

Pada hari Kamis, 9 Juli, sesuai rencana kemarinnya, kami menuju Loang. Sebuah kendaraan pick up terbuka kami menuju ke ibu kota kecamatan Nagawutun, Loang. Karena kelebihan penumpang, adik Rufus yang datang kemarinnya bersamanya kami berdua di belakang bak.

Suasana debu sebenarnya bukan masalah. Tetapi duduk posisi membelakangi telah menjadi pemicu mabuk. Tetapi untuk tidak parah. Rasa mabuk pun hilang karena setiba di Loang, makan siang telah disiapkan oleh Kene Sima. Begitu banyak macam sajian ikan: rebus (kua asam), goreng, bakar. Meski sudah kenyang tetapi karena itu pengalaman langka maka makan jadi tidak berhenti: Manducare sine finem (makan tanpa henti).PULKAM 26

Pantai Loang, pasir kristal nan indah

Setelah makan siang, sempat ke rumah keluarga mengunjungi oma Diego (kakak dari mama mertua). Di sana bercanda bersama keluarga adik Teodorus Tido. Pertemuan terakhir hampir 30 tahun lalu waktu masih di SMA. Kini dia kerja di Malaysia tetapi oleh pertimbagan lain, isteri dan anak harus balik ke Loang untuk sekolah.

Setelah pertemuan itu, dengan keponakan-keponakan, kami jalan-jalan atau lebih tepat mandi di pantai menjadi acara lainnya. Begitu enak bermain pasir. Diego begitu gembira bermain ombak. Teriakan tak selesai-selesai juga. Begitulah kegembiraan anak kecil, dia merasa ini dunia baru. Setelah selesai, sore hari kami perlahan meninggalkan Loang.

Pada hari Jumat pagi, 10 Juli, bersama Diego kami kunjungi oma Bliti yang sudah lama menderita sakit. Semasa masih sehat, kaka Bliti demikian panggilan kami selalu menjadi segalanya. Dia selalu jadi kaka yang baik, menyiapkan segala sesuatu. Hidup penuh ‘manja’ karena kemurahan hati kaka Bliti. Kini dia harus menderita dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Dalam perjalanan pulang kami singgah mengunjungi P. Nicholas Strawn, SVD di RS Bukit. Dia masih segar. Di usianya yang sudah 80 tahun, semangatnya luar biasa. Nyaris dalam tahun ini dia tidak bisa kembali lagi ke Indonesia tetapi oleh rasa cintanya pada Indonesia, ia bisa ‘lolos’ minimal sebelum paspornya habis. Kini beliau di Waikomo. Saat bercakap saya tahu bahwa dia tidak bisa lagi rayakan misa di luar RS Bukit.

Dari Bukit, segera ke rumah Bapa Anton. Siang itu ada acara syukuran Babtis dari Anak Stela Maris Nogo Tolok (puteri dari adik Yustinus Bala). Acara diselenggarakan 4 hari sesudahnya berhubung pagi itu, dua adik saya, Nikolaus Raya Tolok dan Paskalis Kedang Tolok baru tiba di Bandara Wunopito Lewoleba.

Acara bersama dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan. Semua anggota keluarga ayah hadir. Demikian juga sebagian besar anak dan cucu hadir dalam acara itu. Terlepas masih ada selisih hal mana lumrah dalam hubungan kekeluargaan, tetapi ia jadi tana persatuan dan persaudaraan sejati.PULKAM 3020150710_131321Pertemuan nampaknya tidak bisa diperpanjang. Pada sore hari, pukul 18.00, dengan berpenumpangkan mobil pick up yang didisain jadi mobil penumpang, sekeluarga berangkat menuju ke Lewokukung. Di sana, keluarga saudari Miliana dan suaminya Rosis sudah bersiap dengan ikan. Sebuah acara malam yang begitu menarik. Semua anggota keluarga mengalami suasana kekeluargaan.

?????????????

Jogging pagi ke mata air di Lewokukung

?????????????

Mama Gelole dengan Elen. Elen sangat menyatu dengan suasana kampung

Pada pagi hari, Sabtu, 11 Juli 2015, sempat jalan-jalan ke mata air di Lewokukung. Ia jadi pengalaman baru bari Elen, Diego, dan Mario. Dengan semangat mereka menuruni lembah dan naik gunung untuk menikmati mata air yang jernih dan bening. Mereka dapat mencuci muka, minum langsung air tanpa zat yang merugikan kesehatan. Hidup di alam bebas merupakan pengalaman baru nan seru.

Setelah acara pagi, rombongan pertama harus duluan ke Lerek dengan Mobil Kijang. Sementar kami harus tunggu Oto Narwastu yang baru akan menyusul sore hari. Kebetulan juga harus membawa seekor babi. Dalam rombongan sore itu akhirnya begitu banyak yang bisa hadir: keluarga adik Yus (beserta Ida istrinya dan Stela anaknya), mama Nogo. Dari Lewokukung selain adik Mili, juga ada Emi dan satu lagi (lupa namanya). Tak lupa Kopong dan kakaknya masuk dalam rombongan oto senja.

Tiba di Lerek sudah malam tetapi karena pertimbangan bahwa babi bisa sangat payah, maka langsung ‘didagingkan’. Kerja malam itu begitu cepat karena malam itu juga daging bakar segera disajikan dan menjadi makan malam sebelum listriks PLTD padam pukul 11.00.

Pada hari minggu, 12 Juli 2015, ada perayaan ekaristis dipimpin Pastor Yosef Tote OFM. Dalam homili tentang pengutusan para murid berdua-dua dengan tujuan saling membantu (bukan saling menjatuhkan), pastor Yoseph menekankan pentingnya semangat saling membantu dan melayani satu sama lain.

?????????????

Naris, Diego, dan bapa Simon

?????????????

Diego dan Mario di Lerek

Setelah misa, rencananya kami sekeluarga menikmati makan siang bersama pastor Yoseph. Tetapi karena kerinduan anak-anak untuk naik ke gunung demi melihat sebuah kawah gunung berapi bernama Hobal, maka para tamu pastor ‘ditinggalkan’. Dengan ditemani: Mikhael, Naris, dan Higo, pendakian dimulai di Wolmata. Meski melelahkan tetapi itu menjadi sebuah pengalaman baru melihat Adowaju menganga dari kejauhan.20150712_10312120150712_105631Rombongan di Wolmata, pohon beringin penuh kenangan

Dari Adowajo, kelompok khusus masih terus ke Mirek Puka untuk telepon. Bisa dimengerti, di Lerek tidak ada signal HP karena itu harus mencarinya di daerah terbuka. Ketika ada signal meeski hanya satu atau dua, itu sudah jadi kegembiraan khusus.

Sepulangnya, Ellen dan Essen menikmati kelapa muda di rumah Epoi Karolus Toal. Di rumah ini selain menikmati kelapa muda, Ellen, Essen, dan Diego mengalami sesuatu yang baru dengan mengupas kacang besar. Kacang ini beracun dan karena itu untuk dapat dikonsumsi harus dimasak 7 kali ganti air. Ia jadi makanan khas Lerek.

?????????????

Diego, Essen, dan Elen, dan Abu, mengupas Kacang Besar (Uta herani)

?????????????

Uta herani, kacang beracun yang harus dimasak 7 kali

Sesudahnya pergi mengunjungi sebentar Kaka Juli Lemak yang selama 2 tahun tinggal bersama keluarga adik saya di Metro Jakarta.20150712_113422Pada sore hari, ada acara “Bakar Jagung” yang dalam bahasa setempat disebut: TUN KWAR. Di desa Lerek, suku Tolok Lewoguna merupakan suku terakhir yang menutup semua acara bakar jagung. Semeestinya sesudah Lewoguna tidak ada suku lain lagi, berhubugn telah ditunda beberapa kali.20150712_18361820150712_18390520150712_184021Acara bakar ‘TUN KWARGA’ Bakar Jagung pada minggu  Senin, 12 Juli 2015

Acaranya menjadi sangat menarik. Diawali dengan acara prosesi dari kamar belakang menuju ruang tamu melewati bagian luar rumah. Di dalam bilik adat di mana terdapat sebuah gading besar, ada bapak Anton Pito Tolok (Tonis Rat) dan mituak (pembantu tuang tuak, Tote Laba Wajin), yang memiliki peran sentral dalam acara ini.

Acara malam itu cukup lengkap berhubung ada peralihan dari Bapak Yoseph Pito Tolok yang dalam lima tahun terakhir bertugas sebagai kepala rumah adat., Namun karena usia yang makin uzur maka tahun ini digantikan oleh Kene Anton Ratu (Anton Pito Tolok).

?????????????

setiap peserta dapat ‘berkat’ dari kepala adat yang baru, Bapak Anton Pito Tolok

Acara malam itu cukup lengkap. Di kamar adat diadakan penuanagn tuak sampai beberapa kali. Juga pada malam itu dimasak makanan yang hanya bisa dimakan oleh kaum lelaki (dasar patriarkal). Kaum wanita sementara itu menunggu dengan penuh kesabaran. Ada yang sudah ‘ngantuk-ngantuk’.

Acara malam itu ditutup dengan makan bersama. Tetapi hal itu belum lengkap. Pada pagi harim, Senin 13 Juli 2015, ada upacara adat lanjutan dengan pemberian berkat. Saat itu, ada acara siram-siraman (tetapi karena kekurangan air maka hanya dalam bentuk berkat).20150712_200307PULKAM 29TOLOK REGENERASI IBU20150712_195633

Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan dan foto-oto bersama. Dalam pertemuan semua keluarga sepakat bahwa perlu ada pertemuan berkala untuk semua anak lewoguna. Kesempatan itu semua dapat saling mengenal satu sama lain.20150712_20012220150712_200230

Yang menarik, di tengah kesibukan acara pertemuan, saya ajak anak-anak untuk melihat ‘perosotan alamiah’ alias KEDORO di rumah bapa Nuba Bele. Perosotan itu jadi kenangan khusus. Di tengah keterbatasan, anak-anak kampung berkreasi menciptakan sendiri tempat perosotan. 20150712_17152120150712_173952

Dulu papa dan mamanya biasa ‘kedoro’ di batu ini. Disebut wat kemelut, wat kedoro.

Kali ini dalam bentuk ‘masuk rumah adat’. Keluarga adik saya, Paskalis untuk pertama kali masuk rumah adat dengan putera mereka Mario. Ibunya ‘dikamarkan’ semalam (sejak sore hari) dan semua aktivitas termasuk makan dan segalanya dialksanakan di dalam kamar.20150714_095439Pada pagi hari, Selasa, 14 Juli 2015, diadanakan upacara mandi, bersihkan kepala, sebagai tanda sudah selesai. Sementara itu pada saat bersamaan, dua orang (Kaka Oni dan Mama Leo) melakukan upacara HADAK NEBANG. Ia merupakan acara sosialisasi di mana anak yang baru dilahirkan diperkenalkan ke publik. Masyarakat pun dapat memberikan kado dalam bentuk makanan, minuman, dan hewan (ayam kadang babi).

Selanjutnya dilakukan acara makan bersama. Tapi karena ‘sudah jenuh’, sore itu dengan tiga motor: Keluarga adik Paskalis, adik Raya dan saya, bersama isteri dan anak kami menuju ke Dapur Alam Watuwawer. Sebenarnya sudah memesan sehari sebelumnya dengan harpaan bahwa sudah dipersiapkan makanan yang ditaruh di sebuah lubang gas alam. Setelah 2 jam, makanan itu sudah matang berkat panas bumi.

?????????????

Karun, dapur alam dengan gas alamiah untuk memasak

?????????????

Lew Melu Atawolo

?????????????

Foto bersama bagi yang tidak sempat ikut peresmian Gereja

?????????????

Duang Ora Lewmelu. Usai melihat pemandangan indah

20150714_150609Makam mama Gelole Tula. Tampak Kenei Jaga mendampingi keponakannya.

Tetapi sial. Sesampai di Karun, kami harus mencari sendiri ubi dan meletakkan di dapur alam. Untuk menunggu hingga matang butuh 2 jam. Karena itu kami lalu putuskan untuk ke Atawolo. Pendakian pun dilakukan.

Di Atawolo kami terus ke kampung lama, sebuah kampung adat yang sudah punya nama. Di sana kami sempat berfoto-foto dan kemudian harus balik. Dalam perjalanan pulang kami singgah ambil foto di Gereja baru nan megah, St.Paulus Atawolo. Juga sempat berdoa di makam mama Gelole Tula.

Dalam perjalanan pulang tidak lupa kami kembali ke Karun untuk melihat kembali makanan yang ternyata sudah matang. Makanan terasa enak karena memang sudah lapar. Tetapi sebuah rasa senang karena sebuah proses lengkap telah dilewati.

Malam hari, ada pertemuan kekeluargaan. Berlima bersaudara duduk bersama untuk membahas masalah kekeluargaan. Pertam amasalah antar kedua saudari yagn kadang ada selisih pandangan berkaitan dengan urusan adat. Lebih lagi karena ada gading dan gelang yang harus dibagikan kepada mereka berdua.

Acara malam itu cukup menegangkan. Ada tangis dan tertawa. Tetapi akhirnya proses itu berjalan dengan lancar dan penuh keakraban. Pada saaat bersamaan, ada upacara adat serupa seperti malam sebelumnya. Kali ini giliran isterinya adik Yus yang masuk rumah adat. Proses berjalan seperti biasa. Pada hari Rabu 15 Juli, proses selesai adat seperti sebelumnya. Kali ini kedua acara digabungkan dan baru diadakan sedikit pesta. Seekor babi ‘dikorbankan’ untuk acara ini.

?????????????

Babi ‘terakhir’ di Lerek, sebelum pamit

Sambil menunggu persiapan adat dan makan siang yang tentunya sangat menjenukan anak-anak, saya ajak mereka untuk ‘petik kopi’. Ini juga pengalaman baru. Mereka hanya boleh memetik kopi berwarna merah dan ternyata itu pengalaman sangat menarik dan menakjubkan. 20150715_082914Essen, Stella, Diego dan Ellen asyikkk memetik buah kopi

?????????????

Pengalaman asyik sekali memetik kopi

?????????????

Diego tenggelam dalam keasyikan memetik kopi

?????????????

Stela dengan hasi kerjanya

20150715_085319Ketika malam tiba, acara makin malam semakin menunjukkan bahwa acara demi acara akan segera berakhir. Pada besok harinya harus berangkat. Bersama Diego kami harus kembali dari kampung. Saudara lain masih ada di sana. Juga keluarga Kene Nogo, Yus, Ida, dan Stela, semuanya kembali ke Lewoleba untuk seterusnya kembali ke Jakarta.20150715_152306

Di mana ada mama Marta Lutok Wathun, di sana ada keceriaan. “Bo ene…” Tampak Mama Tuto Ata, Mama Gekei Nuba, Mama Marta Lutok, mama Tada Polus, Mama Tere Baha Ola, dan mama Nogo Tonis.

?????????????Bye-bye oma Gelole, Kaka Oni, Kaka Mili,  Bapa Stanis dan Bapa Rosis serta teman-teman: Michael,  Naris, kaka Gloria, dan Ade Avi

Di Lewoleba ada beberapa urusan. Pertama harus membagikan buku Lame Lusi Lako kepada beberapa tokoh di Lembata. Setelah itu sempat bicara dengan Kene Anton tentang urusan gading di kampung yang ternyata telah dijual ke orang lain. Sayangnya, uang hasil penjualan itu ternyata hilang dibawa lari. Urusan hal ini juga ditangguhkan karena Kene Anton sebagai oragn yagn bertanggungjawab meminta agar saya bisa hadir dalam proses pengurusan hal itu.

Jumat dini hari, 18 Juli 2015 pukul 05.00, dengan KM Siguntang kami bertolak dari Lewoleba menuju Kupang. Perpisahan terasa begitu cepat karena tadinya kapal diperkirakan tiba pukul 03.00. Ternyata pukul 02.00 sudah ada dan saat berpisah menjadi terburu-buru.

Perjalanan dengan kapal laut hanya 7 jam. Pukul 12.00 sudah tiba di pelabuhan Tenau Kupang. Selanjutnya dengan kendaraan umum menuju ke Gua Lourdes untuk menginap semalam di rumah Kaka Nela. Semua proess pun berjalan begitu cepat. Pada pagi hari harus berangkat pagi-pagi karena pada pukul 08.00 harus terbang dengan Batik Air.

?????????????

Kupang – Jakarta, sepesawat dengan Om Blasi , Luku Estin dan luku  Nogo

Sebuah berkat. Dalam penerbangan kali ini kami bersamaan dengan Om Blasi, Eestin, dan luku Nogo. Dengan demikian mereka yang tidak membawa barang terlalu banyak dapat berrsamaan dengan kami dalam ‘memikul barang’. Jadinya beban yagn tadinya berat menjadi ringan. Kelebihan berat yagn ditakutkan tidak terjadi.20150718_065028Perjalan berlangsung begitu cepat, hanya kurang dari 3 jam. Di Bandara Soekarno Hatta, Pa Katje yang membawa mobil Avanza sudah menanti. Kami lalu ke rumah dan mulai lagi dengan aktivitas yang lain. Badan letih, pilek, dan sebagainya. Tetapi dengan alpukat yang dibawa dari kampung, kesegaran baru pun akhirnya diperoleh.

?????????????

Back to Jakarta by Batik Air

2 Responses to KISAH-KASIH PULANG KAMPUNG LEREK LEMBATA

  1. albertus ata says:

    🙂 kapan pulang lagi kene biar sama2 kepante cari ikan segar?? hehehe salam untuk sekeluarga

    • robert25868 says:

      Ama, tahun lalu sudah di Lerek. Biasanya 3 tahun sekali (kalau boleh). Tahun ini ada perayaan di Lerek, pesta emas dan Perak, ingin sekali ingat. Semoga bisa, tergantung 3 bulan ke depan ama. Terimakasih Selamat bertemu

Leave a reply to albertus ata Cancel reply