PEMBUSUKAN AKAL SEHAT

 


Pembusukan Akal Sehat

Opini Kompas, Sabtu, 16 Februari 2019

Menarik, mencermati pernyataan para pegiat filsafat (13/2) tentang kondisi bangsa saat ini. Kian kerapnya dipertontonkan kelihaian bersilat lidah di ranah publik sekadar mengecoh lawan, disinyalir sebagai proses ke arah pembusukan filsafat.

Mengapa bisa terjadi seperti itu? Apa langkah strategis agar akal sehat yang kini terserang virus sofisme (suka bermain kata-kata dan besilat lidah tetapi mengibuli) bisa kembali pulih?

Masyarakat industrial, demikian Kuntowijoyo dalam Muslim tanpa Masjid, 2001, kian terkungkung oleh rasionalisasi, komersialisasi,dan monetisasi.

Akal secara menyesatkan dimanipuasi demi tujuan di luar dirinya. Otak manusia telah dijadikan instrumen positivistik menjadikannya sekadar pelayan demi memperoleh uang (monetisasi) sebanyak-banyaknya. Demi tujuan itu, apapun dikomersialisasikan, termasuk (harga) diri manusia itu sendiri. Bahkan orang yang dianggap filsuf pun rela mengorbankan martabatnya demi melansirkan opini yang mengibuli.

Inilah gejala rasio instrumental yang diawasi oleh Adorno dan Horkhemeir, sebagaimana dikutip Hardiman, dalam Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, 1993. Rasio manusia kehilangan isi dan tujuan pada dirinya sendiri dalam memahami kenyataan.

Rasionalitas yang tercipta pun bersifat tekonologis di mana segala sesuatu dipandang rasional jika dapat diperalat, dimanipulasi, dan dimanfaatkan secara matematis dan ekonomis. Para pengusaha misalnya, disebut sukses bila sanggup memobilisasi barang-barang yang diproduksi oleh industri-industri.

Demikian juga para (calon) penguasa yang ingin merebut kekuasaan. Di era pilpres dan pileg seperti ini, aneka strategi diperdayakan, termasuk mengelola teknologi informasi demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tentu saja yang dijual bukan informasi edukatif yang mencerahkan, tetapi permainan kata demi memanipulasi rasa. Kerap, bahkan nama Tuhan dibawa hanya demi mengemis simpati.

Yang disayangkan, para pencari kekuasaan tidak menyadari, betapa rumitnya proses pemulihan atas upaya pembusukan akal sehat yang disengajakan. Ia bak benang kusut yang akan sulit terurai dalam waktu singkat. Yang paling ditakutkan, karena begitu kerap terjadi pembusukan, lalu terjadi pembalikan fakta. Yang benar dianggap salah dan yang busuk dianggap harum. Bila sampai pada tahapan ini, masa suram sudah pasti diwariskan untuk generasi selanjutnya.

‘Common Good’

Kondisi akal sehat yang telah tercemar tidak saja menyebarkan virus yang mengancam akal budi tetapi ia melumpuhkan tekad membangun bangsa. Untuk itu, butuh komitmen untuk menyehatkannya kembali.

Pertama, akal hanya bisa sehat ketika kegegabahan dalam menarik kesimpulan disadari. Kesadaran dimaksud, secara minimal mengetahui bahwa kesimpulan (consequence) disebut benar ketika ditarik dari premis yang (antecedence) yang valid. Sebaliknya, premis yang kacau dan menjebak, hanya akan menggiring kepada kesimpulan yang salah.

Sayangnya, kemampuan menganalisis premis sebagai pijakan mengambil keputusan kian menurun di era digital ini. Begitu mudahnya melansirkan informasi tanpa seleksi, menjadikan banyaknya hoax yang bertebaran. Sudah pasti, dalam proses ini, akal sehat yang seharusnya memungkinkan orang berpikir secara kritis, tidak berperan secara optimal. Penyehatan akal sehat karena itu dimaknai sebagai proses mengaktifkan kembali sikap kritis dalam menanggapi informasi.

Kedua, penyehatan akal budi dapat terjadi diawali dengan pengakuan akan adanya permasalahan. John Dewey, dalam How We Think, 1933, bahkan menjadikan hal ini sebagai tahap awal penalaran. Itu berarti, yang jadi pijakan semestinya kesadaran akan adanya masalah. Tanpa kesadaran itu, solusi kadang bersifat imajinatif belaka oleh minimnya kesadaran sebagai pijakan dasar.

Kenyataannya, kesatuan rasa atas permasalahan bangsa belum dianggap serius oleh para politisi. Mereka lebih fokus menggapai kekuasaan dengan harga berapapun. Permasalahan akut berupa dekadensi moral baik individual maupun bangsa tidak disadari sebagai masalah mendasar, hal mana kita sayangkan.

Ketiga, penyehatan akal tentu ia tidak berhenti pada terwujudnya kemampuan manusia untuk dapat memutuskan pengetahuan yang benar tentang realitas konkrit. Ia juga tidak sekadar proses yang berlabuh pada pengakuan bahwa apa yang diyakini, juga dirasakan oleh banyak orang. Sampai di sini, akal sehat baru berada pada tahapan awal.

Yang mestinya menjadi target bahwa akal sehat atau ‘common sense’ bisa mengantar orang kepada ‘common good’. Itu berarti bukan soal mempertontonkan kemampuan retoris untuk menghasilkan kebenaaran hakiki tetapi juga mendorong orang untuk mewujudkan konsep yang benar dalam aksi.

Bila target ini menjadi acuan bersama, maka niscaya strategi licik yang membusukan akal budi akan sukses memperdayai masyarakat karena kebaikan dan teladan hidup nyata menjadi pijakan tunggal dalam menilai.

Robert Bala. Alumnus Filsafat STFK Ledalero NTT, Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol.