ANTARA IMAN DAN HOAX

ANTARA IMAN DAN HOAX

(Lukas 17, 10)

Hoax atau berita bohong, seakan menjadi begitu biasa. Modusnya pun semakin variasi begitu baik dikemas sehingga seakan-akan benar adanya. Sudah dipastikan bahwa sedikit saja orang kurang berhati-hati, maka dengan mudah tidak saja ia terpengaruh tetapi juga bahkan menjadikannya sebagai penyebarnya.

Tetapi mengapa sehingga orang begitu mudah percaya pada ‘omongan’ yang penuh jebakan hoax? Tidak mudah menjawabnya, tetapi Injil Lukas 17, 5 – 10 memberikan jawaban menarik

Pada satu sisi, kita tersadarkan bahwa apa yang kita alami dewasa ini sebenarnya bukan hal baru karena terjadi juga pada masa Yesus. Para murid berhadapan dengan begitu banyak cobaan berupa masalah, ajaran sesat yang begitu kuat menimpa.

Para Rasul, orang yang paling dekat dengan Yesus, merasakan hal ini juga pada masanya. Mereka merasa tak berdaya sehingga kalau iman mereka tidak ditambahkan, maka bisa dipastiakn mereka pun bisa terpengaruh dengan ajaran yang penuh dengan kesesatan dan penyesatan: “Tuhan tambahkanlah iman kami”.

Mereka tidak meminta agar ‘stopkan’ semua informasi hoax, penyesatan, dan kemalangan yang terjadi. Itu adalah keadaan yang akan terus terjadi. Yang mereka minta adalah penambahan iman. Sebuah konsep yang disadari secara kuantitatif (jumlah) bukan kualitatif. Bagi para Rasul, dengan betambahkan penyesatan maka perlu ditambahkan lagi iman tersebut.

Tetapi di sini ada perbedaan. Para Rasul, orang paling dekat dengan Yesus, masih memahami iman secara kuantitatif. Bagi para rabul, besar dan banyaknya masalah yang dihadapi, harus dimbangi dengan penambahan kuantatif juga jumlah iman.

Sementara itu Yesus, lebih menekankan kepada iman yang kualitatif. Sebuah iman yang kualitatif adalah iman yang efisien dan efektif. Iman demikian tidak bergantung pada berapa banyaknya kita melakukan hal-hal rohaniah (berdoa dan menyebut nama Tuhan), tetapi sejauh mana apa yang disampaikan itu dapat dilakukan sehingga terjadi perubahan).

Kata-kata bahwa pohon ara dapat berpindah ke dalam laut hanya oleh perkataan menunjukkan kepada hasil. Artinya apa yang disampaikan itu mengandung perubahan. Inilah iman yang efektif.

Penekanan ini mengingatkan kita juga akan kata-kata Santo Paulus dalam Suratnya kepada Yakobus: “Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yakobus 2, 17). Sekali lagi ditekankan bahwa iman bukan saja diucapkan di bibir, tetapi mendarat di hati dan diwujudkan dalam kehidupan.

Dalam arti ini maka kita bisa mengatakan, kalau iman (kata-kata) tidak diwujudkan dalam perbuatan maka ia tidak lebih dari sebuah hoax. Ia pun menjawab apa yang kita tanyakan di awal. Orang begitu terjebak dalam hoax karena ia tidak punya waktu untuk mencek kesesuaiannya dengan apa yang terjadi. Singkatnya, yang dibutuhkan adalah upaya mewujudkan apa yang dikatakan dalam perbuatan.

Lalu, kalau manusia sanggup mewujudkan iman, maka apakah hal itu merupakan karyanya secara pribadi yang pada gilirannya perlu dibangga-banggakan? Tidak, jawabannya. Yesus mengingatkan bahwa keberhasilan mewujudkan apa yang diucapkan itu yang menjadi indikator bahwa itu adalah hasil dari karya Tuhan di dalamnya.

Ini pula yang membedakan dari iman yang hanya diucapkan. Iman yang hanya diucapkan di bibir, kerap dilakukan orang Farisi, para penyesat yang mengelabui umat dengan hal-hal lahiriah. Yang m enjadi ukuran adalah melakukan. Dan kesuksesan melakukan itu hanya terjadi karena manusia taat pada apa yang Tuhan katakan. Yang dibutuhkan dari manusia adalah tidak memperbanyak kata tetapi membumikan kata menjadi aksi.

Sebagai ibu, istri, saudari, atau apapun, kita mengalami secara sangat pribadi, bagaimana kata itu menyata dalam aksi. Rahim wanita menjadi contoh paling nyata, bagaimana cinta itu berwujud dalam manusia. Dmikian juga dalam proses mendidik anak. Setiap kata yang keluar akan lebih efektif bila lahir dari perbuatan kita.

Karena itu dalam kegiatan ini kita doakan kerendahan hati agar Tuhan terus mempercayakan kepada kita hal-hal besar yang akan merubah keluarga, masyarakat, dan bangsa, melalui tangan-tangan wanita yang siap melakukan apa yang harus dilakukan. Amin (Robert Bala, 4 Oktober 2019).