DARAH KEPALA DESA (LAURENS KEROWE HOKENG)


DARAH KEPALA DESA

(Laurens  Kerowe Hokeng)

Bagaimana mungkin seorang tamatan seminari, dapat menjadi HRD sebuah Rumah Sakit besar di daerah penambangan emas di Timika? Bagaimana dirigen koor yang hanya ‘pukul mat (dengan goyangan kadang dobel) bisa masuk bursa efek dan ikut ‘utak-atik’ perburuan saham? Bagaimana seorang eks frater dapat jadi HRD sebuah sekolah internasional dan bahkan jadi Direktur di Rumah Sakit terkenal?

Inilah pertanyaan yang muncul di hari ulang tahun Laurens Kerowe Hokeng. Sebuah pertanyaan yang tidak bisa tidak dicari akar terjauh tidak saja masa kecil tetapi juga seluruh rangkaian pergaulan yang telah turut membentuknya.

Kepala Desa

Saat bertemu lagi di sebuah sekolah internasional, setelah rangkaian waktu yang lama tidak pernah bertemu, saya perhatikan Rens duduk di sebuah kursi sebagai HRD. Kursi itu bisa dinaikkan dan diturunkan.

Sambil sedikit goyang ke kiri dan ke kanan, Rens menunjukkan ke saya (mengerti toh sebagai teman kadang-kadang GR sedikit), cara menaikan dan menurunkan kursi (maaf, saya dari kampung sehingga hanya andalkan ‘bale-bale’).

Ketika para guru termasuk kepala sekolah yang adalah juga teman, Rens menaikkan sedikit kursi agar posisi tinggi. Di situ, ia bisa ‘lihat dari atas’, sebuah taktik untuk menurunkan ‘wibawa’ orang yang ingin protes atau meminta belas kasihan.  Itulah cara sang HRD dalam mengatasi karyawannya.

Pertanyaan saya semakin bertambah ketika suatu saat Rens bertemu saya di Trisakti dan memberitahukan bahwa lagi ikut tes sebagai manajer di sebuah Rumah Sakit. “Ah, kamu jadi HRD di Rumah Sakit?” “Ya” jawab Laurens sambil menambahakn bahwa ia harus besaing dengan para dokter yang selama ini sudah menangani manajemen Rumah Sakit. Suatu saat kemudian saya dapat kabar, ia sudah lolos dan harus pergi cukup jauh dari keluarga.

Dari mana darah kepemimpinan itu muncul? Saya coba mengorek pengalaman. Yang saya rekam, darah kepemimpinan itu datang dari sang ayah, yang dulu di tingkat kampung, jadi kepala desa. Memang jadi kepala desa di kampung itu bagi orang sekampung, sebuah jebatan strategis. Tetapi bagi orang di kota, mereka akan bertanya “apa-apan sih.” Tetapi bagi orang kampung, itulah jabatan tertinggi bagi seseorang dan sangat terpandang. Sebuah jabatan yang bukan seperti sekarang bisa direbut dari kampanye, karena ada gaji dan pengelolaan dana Rp 1 miliar. Kalau itu jabatan pengabdian tulen…

Di sana mengalir gaya dan harisma kepemimpinan Rens. Dunia dianggap sebagai ‘kampung’. Kalau orang lain bisa jadi pemimpin, mengapa saya tidak? Sharing Laurens buat saya pikir, ternyata ada kesamaan. Kami dua ternyata punya bapa yang bukan guru bukan pegawai, tetapi hanya kepala desa. Kepala desa yang saat itu tidak dapat apa-apa sebagai gaji tetapi hanya memberi dan memberi. Kepala desa dianggap bisa kasih makan dan minum pegawai dari kecamatan yang datang ‘patroli’, kadang sudah dapat uang jalan, dan masih diberi makan dan minum gratis oleh kepala desa.

Matang sebelum ‘waktu’

Pengalaman masa lalu, yang turut membentuk Rens, juga bisa dimaknai dari proses ‘matang’ sebelum waktu. Disebut matang sebelum waktu tidak.

Bagaimana mungkin? Di tahun 1977, saat Rens masih di kelas 3 SD, ibunda tercinta, Ludwina Hingi Keban, meinggal dunia. Sebuah kepergian yang terlalu cepat dan harus meninggalkan 10 bersaudara (Lusia, Frans, Agnes, Anjel, Ros, Laurens, Herman, Nina, Rinus, dan Helmin) harus berjuang sendiri. Secara khusus, bagi Rens, kepergian sang ibu saat ia mulai melewati masa penuh kesadaran, sang ibu yang tentu saja sangat berpengaruh meninggal dunia.

Proses yang terlalu pedih untuk seorang anak kecil. Dan lebih perih lagi karena 7 tahun kemudian, pada tahun 1983, ayahnya (ama Bernardus Dudi Hokeng) juga ikut meninggal dunia. Saat itu Rens berada di kelas 3 SMP. Sebuah kepergian yang tidak mudah dipahami, terutama karena Rens berada pada tahan akhir persiapan untuk melanjutkan ke Seminari Hokeng.

Akankah cita-cita itu bisa dilaksanakan? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit karena Rens telah jadi anak yatim piatu. Untung saja, keluarga lapis kedua, khususnya adik dari ayah ama Elias Djati Hokeng dan mama kecil Sofia Mele Torong, mengambil alih. Rens pun terus melanjutkan sekolah di seminari. Tidak saja Rens, tetapi juga adiknya terus melanjutkan sekolah.

Semuanya tentu tidak terjadi kalau orang tuanya, selama hidup telah menjalin hubungan yang baik dengan semua kerabat dan warga desa. Semua orang di desa masih ingat akan kepempiinan ayah saat jadi kepala desa, sebuah modal yang turut membesarkan hari Rens dan adik serta kakak.

Yang tidak kurang, kondisi sebagai anak yatim piatu, tidak menurunkan seamangat para kakak. Di Ledalero, kaka Anjie, bahkan harus ‘ikut ke Ledalero’, bekerja sebagai karyawati, selain untuk mendampingi adiknya yang sekolah jadi ‘tuan’, juga siapa tahu bisa ada satu du asen buat ongkos adik-adiknya. Hal itu juga menjadi daya dorong bagi sang kakak: Lusia, Frans, Agnes, dan Ros untuk berbuat dengan caranya masing-masing agar adik-adik tidak menjadi terlantar.

Pengalaman ini telah membuat Rens matang sebelum waktu. Ia harus lebih cepat ‘dipetik’ karena kebutuhan dan membuat Rens tegar dalam perjuangan hidup. Menjadikannya lebih bijaksana, lebih bernyukur, dan bersolider karena proses hidupnya adalah sebuah ungkapan kasih dair banyak orang dank arena itu Rens tidak melupakan semua yagn telah menjadi bagian dari hidupnya.

Pengalaman hidup inilah yang tidak saja dibagikan kepada orang lain, tetapi dinarasikan sebagai pengalaman berharga buat putera dan puterinya: Gaudens Edward Dudisura Hokeng, Grasiano Albert Sinajawa Hokeng, dan Beatrix Sonya Angelina Hingi Hokeng. Jadi pelajaran hidup, agar keberhasilan ayah tidak dilihat sekarang tetapi menjadi rangkaian pengalaman yang turut membentuknya.

Semua Penting “Teman”

Tentang Rens, saya perhatikan hal aneh yang dilakukan. Saat di Hokeng, Nenuk, maupun di Ledalero, ada hal aneh kalau belajar. Kita punya buku catatan. Tetapi kalau ujian, kita hanya menggarisbawahi hal-hal penting saja. Tidak semua hal itu penting. Ada inti saja yang digarisbawahi atau di stabilo (kalau sudah kenal stabilo).

Tetapi yang dibuat Rens aneh. Dia garis bawahi semua. Bukan satu kali malah berkali-kali. Saya heran, kog cara belajar aneh (saya pikir ini orang pusing karena tidak beri prioritas). Tetapi dengan berjalannya waktu, saya pikir bahwa ini adalah cerminan kepribadian Rens yang baginya semua orang itu penting, kapan dan di mana saja akan punya manfaat. Tentu saja persahabatan bukan untuk memperoleh sesuatu, tetapi Rens tidak memilih-milih siapa yang akan jadi teman dan sahabat.

Anggapan semua itu penting juga diungkapkan tanpa sadar. Dari semua teman, Rens satu-satunya orang yang setiap kali telepon atau ngobrol, pasti tidak pernah lupa kata ‘teman’. “He teman Robert”. Sapaan itu berbeda dengan saya yang hanya memanggil: Lorens… Kalau Laurens berbeda. Ia pasti menyatap dengan kata ‘teman’. Hal itu mengungkapkan bahwa baginya teman adalah segalanya. Kenalan bisa banyak tetapi teman itu selamanya.

Saya rasakan itu saat jadi orang asing di Jakarta. Ito dan Laurens kunjungi saya dan istri di kontrakan. Saya tidak tahu apa yang mereka bawa waktu itu (atau malah saya kasih minum gratis hehehe), tetapi itu adalah tanda perhatian yang sanga tmendalam. Baginya teman itu tidak legam waktu, dan harus terus dipertahankan.

Perhatian Laurens juga tidak sekadar ‘asal omong’. Ia ungkapkan dalam perbuatan nyata, sederhana, da mengena. Ketika buku pertama HOMILI YANG MEMBUMI, Laurens pesan 30 ex untuk bagi ke teman-temannya di Timika. Tidak tanggung-tanggung, Laurens bahkan bayar sebelum buku itu tiba. Buku Creative Teaching juga dia pesan sejumlah itu. Saya lalu terdiam. Apa yang dimaksudkan Rens? Oh ya, ia hanya mau tunjukkan bahwa sapaan ‘teman’ itu bukan asal omong tetapi harus membumi (seperti homili yang membumi hehee).

Kalau soal pertemanan, pasti juga mengalir atau dialirkan dari kepiawaian membuat lagu maupun menjadi dirigen. Sebagai dirigen, ia harus pimpin dan menemukan kekuatan suara masing-masing orang untuk ditempatkan pada jenis suara yang tepat. Meski suara jelek (seperti Matias), tetapi Laurens menempatkan Tias (biasanya di samping saya agar suaranya itu bisa dipengaruhi, atau supaya saya bisikan Tias biar dia cukup buka mulut tetapi suara jangan keluar, jangan sampai koor jadi jelek, itu pesan tersembunyi Rens ke saya tanpa diketahui Tias Daton).


Yang saya maksud, menjadi dirigen adalah kemampuan manajerial menempatkan orang pada tempatnya, menentukan kapan harus mulai, berhenti, kuat dan lembut. Ada staccato (nada putus-putus), legato (menyanyikan beberapa not berurutan) rubato (percepatan atau pelambatan kecepatan bermusik), adagio (memaikan music secara lembut dan halus), allegro (temp permainan musik yang tepat dan gembira), coda (ekor lagu) dan sebagainya. Dalam tangan seorang dirigen hebat seperti Rens, semuanya harus diberi waktu dan pada akhirnya tergantung pada kode dari sang dirigen.

Tetapi persahabatan yang kini bisa dibagikan tentu tidak sekadar biar penampilan di luar menarik, tetapi mengalir dari dalam. Rens mengalirkan kasih kepada orang lain, karena secara ke dalam, Maria Imelda Henny Ernawaty yang kini jadi istri, dianggap sebagai teman, kawan, sahabat, yang meski jauh secara jarak oleh tugas, tetapi terus menjaga cinta agar terus terawat dan berkembang.

Berpikir Positif

Rangkaian pengalaman masa kecil, telah membentuk Rens jadi pribadi yang sampai sekarang. Ia selalu berpikir positif. Hal sederhana yang bisa dilihat. Ketika rambutnya sudah ‘susah tumbuh’, Rens tidak putus asah. Ia lihat masih ada peluang untuk jadi ‘botak yang ganteng’.

Dan dia lakukan itu. Botak yang kren dari Rens, dilahirkan dari kreasi (akibat frustrasi hehehe). Tetapi yang diajarkan, hidup harus terus berjalan. Kita tidak bisa merubah dunia. Yang dapat kita ubah adalah cara pandang kita. Kematian orang terdekat, ayah dan ibu, bukanlah sebuah mala petaka yang membuat kita menyesali secara berkepanjangan. Hal itu dapat membuat kita menjadi lebih cepat matang dan menjadi lebih dewasa dan bertanggungjawab. Itulah ajaran positive thinking yang luar biasa.

Inilah kepemimpinan yang semuanya melebur dan muncul dalam diri Laurens Hokeng, sang dirigen, HRD, pemain saham, dan masih banyak lagi. Atas semua prestasi dan kehebatan itu, saya sebagai teman mengucapkan SELAMAT ULANG TAHUN AMA. Sukses Selalu dan tugas dan terus berpikir positif (oh hal ini saya lupa tekankan). Laurens seorang yang selalu ‘positive thinking’. Ketika rambutnya sudah tidak tumbuh lagi, ia tidak putus asah, dia bisa buat botak yang licin agar jadi daya tarik tersendiri. Inilah ciri orang positive thinking.

Hanya itu saja reu komentar saya. Selamat ulang Tahun. Robert.