.10. Orang AL dan Orang Flores “Basudara?”

Orang AL dan Orang Flores, “Basudara?”

(Bagian Terakhir dari Dua Tulisan)

Kesaman antara AL dan Flores tidak sebatas hal fisik-etnis.  Ada hal lebih dalam yang hemat penulis dirasakan dan mengapa tidak menjadi ‘unek-unek’ untuk ditelusuri lebih jauh.

Yang dimaksudkan adalah khasanah bahasa. Yang dimaksud bukan terutama pengaruh bahasa Portugis dan Spanyol, hal mana hadir dalam kata-kata seperti: gereja, kantar (bernyanyi), ayuda (pelayan altar), serewi (servir, melayani). Fakta itu tentu tidak bisa disangkali.indigena bolivia

Tetapi yang lebih dalam adalah kenyataan tentang kayanya bahasa daerah, baik di AL maupun di Flores. Diperkirakan terdapat lebih dari 300 bahasa daerah yang menjadi kekayaan linguistik. Tetapi tidak bisa disangkal bahwa ada enam kelompok bahasa yang  menjadi sorotan karena penuturnya lebih dari 500 ribu hingga 12 juta orang.

Bahasa Nahuátl  atau Azteca yang digunakan oleh orang Indian di Meksiko, Honduras, San Salvador, digunakan hampir oleh 2 juta orang. Juga bahasa quiché (orang maya)  yang digunakan hampir 500 orang Indian yang tinggal di Meksiko, Guatemala, dan Honduras.

 

Di Kolombia, Bolivia, dan Argentina, juga terdapat kelompok bahasa quechua (Inka),  yang digunakan oleh hampir 7 juta orang. Juga kelompok bahasa Aimara, yang digunakan oleh hampir 3 juta orang Indian di Bolivia dan Peru.

 

Di selatan terdapat dua bahasa lagi. Mapuche atau Mapudunggu, digunakan hampir 500 ribu orang Indian di Chile.  Yang terakhir adalah Guarani, yang nota bene digunakan hampir oleh 12 juta orang  Indian yang menyebar di Paraguay, Brazil, Argentina, hingga Bolivia, Peru, maupun Kolombia dan Venezuela.

Dari semua bahasa itu, perhatian penulis lebih mengarah kepada Guaraní yang nota bene merupakan satu-satunya bahasa yang sudah dikembangkan secara ilmiah lengkap dengan gramatikanya. Belum lagi, bahasa ini menjadi acuan dalam pemberian nama flora dan fauna di Amerika Latin mengingat banyak hal yang tidak memiliki sejarah dan sudah diberi nama oleh bahasa Spanyol. Dari sana, nama-nama itu diambil khusus dari Guaraí.

Selain terdapat pembedaan antara ‘kita’ (Ñande)  dan ‘kami’ (Ore), yang nota bene memiliki kesamaan dengan bahasa Indonesia, tetapi yang terutama perubahan kata yang disesuaikan dengan jumlah yang orang yang berkaitan. Dalam bahasa seperti Spanyol atau Portugis, misalnya, perubahan itu ditunjukkan dalam bentuk sufiks atau akhiran.

Guarani justru memiliki kesamaan dengan bahasa penulis, salah satu dialek Lamaholot yakni Lerek-Atadei. Aguata (saya berjalan), reguata (engkau berjalan), oguata (dia berjalan), jaguta (kita berjalan), roguata (kami berjalan), peguata (kalian berjalan), dan oguata (mereka berjalan).

Dalam bahasa Lamaholot dialek Atadei – Lembata, khususnya Lerek, terdapat kemiripan. Konjugasi ‘pan’ (berjalan), bisa menjadi gopan (saya), mopan (engkau), nepan (dia), kampan (kami), tipan (kita), mipan), depan (mereka).

Yang menarik, dalam bentuk negasi, terdapat struktur yang hampir mirip yakni dengan ditambahkan konfiks, yakni pada awalnya ‘nda’ atau ‘ndo’ apalagi diakhi dengan ‘I’.

Ungkapan dalam bahasa Guarani Ndaguatai (saya tidak jalan), Nndereguatai, ndoguatai, ndajaguatai, Ndoroguatai, Ndapeguatai, dan Ndoguatai), untuk mengungkapkan ‘saya tidak berjalan’, memiliki sebuah konsep penempatan konfiks nda (awalan), dan ‘i’ sebagai akhiran.

Hal itu tidak berbeda dengan konsep penyangkalan atau negasi pada bahasa Lamaholot, dialek Atadei. Ada juga konfiks dengan bentuk yang nyaris sama. Gopan (saya berjalan) menjadi ‘Gotekpanhi’ (saya tidak jalan). motekpanhi,  netekpanhi, kamtekpanhi, titekpanhi, mitekpanhi,  detekpanhi.

 

Ada persamaan seperti ini telah memudahkan penulis dalam mempelajarinya. Dalam waktu yang relatif singkat dapat berkomunikasi dengan orang Indian berbahasa Guarani. Hal itu berbeda dengan bahasa Spanyol di mana penulis membutuhkan waktu yang lebih lama.

Kesamaan ini yang nota bene sangat partikular dan tidak bisa dijadikan kesimpulan untuk mengatakan semua bahasa di Flores memiliki struktur yang sama. Apalagi, mengutip  Goris Keraf, 1978, maupun Inyo Fernandez (1996), masih terdapat bahasa dari etnis Manggarai – Riung, Ngadha-Lio, Mukang (Sikka dan sekitarnya),  Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot dan Kedang.

Bahkan pengalaman partikuler ini pun tidak bisa dikatakan mewakili seluruh Lamaholot, mengingat masih terdapat begitu banyak dialek dengan struktur yang sangat variatif. Dengan demikian menyimpulkan bahwa ada kedekatan dengan Flores, bisa saja sebuah kesimpulan terlalu dini yang tentu saja jauh dari dukungan data faktual yang menguatkan.

Tetapi kesamaan ini bisa menjadi jendela masuk untuk menggugah adanya penelitian lanjutan. Lebih lagi untuk menelusuri apa yang sudah ditulis Muhammad Yamin dalam bukunya Sejarah Amerika. Secara tegas disimpulkan bahwa bangsa Indian di Amerika berasal dari Asia, yang masuk melallui tiga gelombang, pada zaman neolithikum.

Gelombang pertama adalah perpindahan orang Mongol dari Asia Timur Laut menuju Amerika Utara dengan melalu Selat Bering, kurang lebih 13.000 tahun yang lalu. Gelombang kedua yaitu bangsa Austronesia dari barat ke timur melalui lautan Pasifik dan sampai di Amerika Selatan. Gelombang ketiga perpindahan pelaut Austronesia menurut arus laut yang bergerak dari New Zealand dan Asia Timur bergerak menuju Amerika Selatan. Perpaduan antara bangsa Mongol dan Austronesia melahirkan bangsa Indian di Amerika.

Kalau pendekatan ini ditelusuri dan dapat menguatakan hipotesa di atas, maka kemungkinan untuk menekankan sebuah persaudaraan dan kedekatan dengan AL sangat kuat. Jelasnya, aneka kesamaan itu bias memunculkan kesimpulan bahwa suatu saat di masa silam, orang AL dan orang Flores memang memiliki akar asal-usul yang sama.

Hal ini malah menjadi kian penting lagi karena dapat dijadikan pijakan bagi Indonesia dalam merajut relasi dengan AL, yang tengah gencarnya dilakukan kini. Oleh dorongan membuka pasar baru (setelah melemahnya pasar Eropa dan Amerika Serikat), maka AL menjadi pasar baru. Tetapi melangkah ke benua Kolombus tanpa pijakan budaya dan sekedar bersaing secara ekonomi, akan tidak kuat mengingat Cina sudah lebih jauh dan gesit dalam hubungan ini.

Sebaliknya, keuntungan budaya seperti ini harus jadi nilai jual Indonesia. Di situ, mengapa tidak, orang Flores dapat mengambil peran tidak hanya mempelancar tetapi bisa juga menjadi pemeran utama mengambil hikmah terbukanya pasar baru Indonesia – AL.

Robert Bala. Alumnus Universidad Pontifica de Salamanca Spanyol. Pernah mendalami bahasa Guarani di Paraguay, Amerika Selatan.

2 Responses to .10. Orang AL dan Orang Flores “Basudara?”

  1. Ada konyugasi dalam bahasa Sikka – Flores. Saya baru susun ulang sampai 6 kelompok. Dengan banyak puluhan kosa kata bahasa Sikka. P.Arndt SVD baru bikin 5 saja. Ayah alm.Mandalangi Pareira sebelum perang kemerdekaan sudah menyusunnya secara otodidak, sewaktu dalam tugas Guru membantu Misionaris menterjemahkan Kotbah di gereja. Perlahan dia merasa masuk akal. Pastor-pastor membimbing dia menyusunnya. Saat bersamaan itu P.Paul Arndt juga bikin di Mataloko dalam Gramatika der Sika Sprache dengan contoh kalimat… Padahal ayah belum pernah bertemu atau baca bukunya (dalam bahasa jerman) dengan Arndt. Reu Robert rasa ganupae…Salam, tabe.

    • robert25868 says:

      Karya luar biasa Pak Nol Pareira. Saya rasa akan sangat menarik menelusuri bahasa. Di sana kita temukan hal-hal luar biasa. Salam sukses selalu, semoga bahasa dan budaya kita semakin mendapatkan tempatdi generasi muda karena bahasa harus tetap dihidupkan agar tidak mati. Salam

Leave a comment