ANTARA TANAH ULAYAT DAN RESOLUSI KONFLIK

ANTARA TANAH ULAYAT DAN RESOLUSI KONFLIK

(PT Rerolara Vs Masyarakat Pululera)

Pos Kupang, Selasa 9 Mei 2017

288 hektar tanah yang dikelola PT Reinha Rosari Larantuka (Rerolara) berada dalam masalah. Umat Pululera mengkalim, tanah yang dikuasai oleh  keuskupan ini adalah bagian dari tanah ulayat. Pada saat bersamaan, hadirnya warga Boru dan Nawokote menjadikan sebuah perlawanan horizontal antar dua kelompok masyarakat (Pos Kupang 29/4).

Bisa dibayangkan. Konflik horizontal itu bisa berakibat fatal kalau tidak ditangani secara dini. Kecekatan itu patut diapresiasi. Tetapi upaya melokalisir masalah mestinya bukan final. Masalah itu masih ada dan perlu dikelola secara baik.

Surga Konflik

Tanah Flores, penuh bunga, hal mana membanggakan. Tetapi tidak sama hal nya dengan R Yando Zakaria. Bagi praktisi antropologi dan relawan pada Institute for Social Transformation (Insist) dan Koordinator Program Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa), konflik tanah sangat nyata di Flores. Ia bak surga konflik. Konflik terendah adalah 6,67 persen tetapi ada wilayah yang konfliknya bisa mencapai 50%. Malah di daerah tertentu bahkan mencapai 60%.

Konflik yang terjadi dengan PT Rerolara hanya membenarkan latennya konflik akibat perebutan tanah. Dalam kaitan dengan PT Rerolara dengan luas lahan hampir 300 ha maka peluang klaim itu terbuka. Perkebunan kopi bak sebuah danau kekayaan yang dikelilingi begitu banyak warga. Selama periode sesuai ketentuan Hak Guna Usaha, pemerintah (Kabupaten Flotim), telah menyerahkan hak ini kepada PT Reinha Rosari Larantuka (PT Rerolara) untuk mengelola perkebunan kopi dan arela pertanian lainnya.

Oleh keunggulan SDM (para bruder SVD profesional) dan sarana yang dimiliki termasuk bantuan luar negeri dalam proses pengelolaan, maka perkebunan kopi menjadi juga lapangan kerja bagi banyak orang, tidak saja daerah Wulanggitang dan sekitarnya tetapi bahkan sampai Adonara, Solor, dan Lembata, selain wilayah Sikka.

Namun seirama berjalannya waktu, seiring munculnya kesadaran tentang hak ulayat, masyarakat di sekitar tentu punya pandangan lain. Terlepas adanya provokasi, seperti hadirnya LBH yang membangunkan kesadaran, hal itu akan menjadi sebuah bahaya laten yang tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Serbuan warga Pululera di satu pihak dan ‘tandingan’ dari warga Boru dan Nawokote yang bisa merebak menjadi konflik horizontal. Antisipasi penanganan yang cukup cepat dengan segera melokalisir sumber konflik, patut diacungi jempol. Tetapi mestinya hal itu bukan sebuah penyelesaian masalah.  Dari sisi teori konflik, ia hanyalah signal yang dikirim untuk memperdalam refleksi sekaligus mengantisipasi terjadinya gejolak yang lebih besar di masa yang akan datang.

Hal ini hanya menyadarkan bahwa surga konflik seperti diawaskan Yando Zakaria adalah hal nyata. Lebih lagi, luas lahan ratusan hektar yang melibatkan Gereja akan menjadi sebuah masalah lain. Di satu pihak upaya penguasaan tanah oleh masyarakat yang adalah umat sendiri berhadapan dengan Gereja sebagai institusi tempat di mana umat itu ada. Sebuah perjuangan yang apabila dilakukan oleh sekelompok pihak pengklaim akan secara horizontal berhadapan dengan umat lain dari desa lain yang justru akan melawan.  Bagi mereka, upaya itu merongrong Gereja.

Resolusi

Masalah PT Rerolara adalah sekadar contoh yang bisa menjadi pembelajaran. Pertama, merujuk pada Pasal 28 ayat 1 UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), maka Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan (HGU).  Hal yang sama ditekankan kembali dalam Peraturan Pemerintah no 40 tahun 1996  tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (“PP No. 40/1996”).

Itu berarti masalah ‘perebutan tanah’ sebenarnya bukan antara PT Rerolara dengan pihak masyarakat tetapi antara masyarakat dengan pemerintah. Di sini pemda Flotim menjadi penguasa telah memberikan hak pengelolaan itu kepada Keuskupan melalui PT Rerolara. Dengan demikian protes yang diberikan tidak bisa dimaknai sebagai upaya melawan Gereja sebagai institusi, tetapi lebih kepada pemerintah.

Selanjutnya pemerintah sebagai pemegang tanah, memberikan kepercayaan kepada PT Rerolara sebagai pengelola. Sebuah pemberian yang tentu bukan kebetulan. Dalam kaitan dengan pembangungan tidak bisa dibatasi pada hal-hal fisik tetapi juga hal spiritual. Dengan melanjutkan pengelolaan pada PT Rerolara, hanya dipastikan bahwa keberadaan misi sangat penting dalam pengembangan iman umat di Flores Timur dan Lembata pada khususnya.

Sampai di sini, semestinya upaya provokatif yang dilakukan tidak mesti terjadi. Masyarakat mestinya dibuka wawasannya untuk berpikir bahwa apa yang dimiliki oleh Gereja adalah juga diperuntukkan bagi masyarakat umum. Gereja tidak pernah memiliki sesuatu untuk dirinya sendiri.

Kedua, upaya menguasai tanah sebagai klaim tanah ulayat di atas 24 ha mengindikasikan adanya pengelolaan profesional dengan menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai perkembangan zaman. Pada prose situ maka izin sekitar 25-35 tahun dan dapat diperpanjang tersebut perlu melihat efektivitas dan profesionalisme dalam pengelolaan.

Hal ini memunculkan pertanyaan tentang profesionalisme dan investasi modal yang layak sesuai tuntutan zaman telah dilaksanakan oleh PT Rerolara. Apakah tidak terjadi penelantaran tanah dan manfaat yang tidak maksimal yang terus disaksikan juga oleh warga sekitarnya.

Pandangan masyarakat itu tentu saja tidak kebetulan. Selama periode puluhan tahun yang lalu, kehadiran bruder profesional dari Eropa telah memberi warna khusus. Lingkup perkebunan kopi, perkebunan kelapa, lahan pertanian dikelola secara profesional, dalamnya masyarakat sekitar juga diturutsertakan sebagai pekerja.

Proses itu mestinya semakin ditingkatkan kini. Perlu adanya inovasi yang lebih kreatif sambil adanya suntikan modal profesional yang memungkinkan pengelolaan yang lebih baik dan tidak sekadar meneruskan dan merarat pohon kopi yang sudah tua. Penelantaran tanah atau penggunaan yang tidak maksimal dapat menjadi pemicu untuk mempertanyakan efektivitasnya.

Dalam perspektif ini maka resolusi yang ditawarkan dan lebih urgen adalah penanganan yang lebih profesional, ketimbang persoalan hukum / pengadilan. Masyarakat Pululera tersapa dan tersadarkan bahwa manfaatnya masih ada tidak saja bagi Keuskupan melainkan juga bagi mereka oleh pertimbangan atas potensi kepemilikan yang secara logis bisa saja benar adanya.

Itu berarti pada langkah paling dasar, Keuskupan perlu membuktikan profesionalisme dalam pengelolaan. Dengan modal yang cukup dan pengelolaan profesional, maka keuntungan yang diperoleh terasa. Sementara penelantaran tanah dan sekadar melanjutkan pola perkebunan lama maka akan memunculkan kesan penelantaran tanah darinya muncul upaya pengklaiman.

Pada sisi lain, pengelolaan profesional akan memunculkan manfaat lain bagi masyarakat sekitar. PT Rerolara akan menjadi juga sumber hidup. Mereka tidak saja mengelilingi sebuah areal luas tetapi diuntungkan oleh manfaat ekonomis oleh pengelola profesional. Di sinilah akar sebenarnya. Tuntutan akan kepemilikan tanah sebenarnya bukan akhir sebuah perjuangan. Ia hanyalah ketukan hati untuk melihat realita di sekitar sebagai wacana mewujudkan sebuah kehidupan yang lebih baik hal mana menjadi PR penting bagi PT Rerolara.

Jelasnya, bila kemiskinan di sekitar masih nyata, maka ancaman dan gangguan itu akan terus ada.

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.