31. Larantuka, KOTA SUCI?

LARANTUKA, KOTA SUCI?

Tidak ada yang bisa menyangkal, Larantuka adalah kota suci. Tak segan, dalam sebuah pertemuan dengan duta besar se Amerika Latin, seorang tokoh Flores menyebut Larantuka bak ‘Vatikan’nya Indonesia.

Bukan berlebihan. Tidak ada tempat seperti Larantuka yang kaya dengan budaya religiusitas populernya: semana santa., pekan suci. Ribuan wisatawan rohani mendekat ke kota Reinha Rosari. Mereka datang untuk mengecap ‘sedikit’ berkat di kota nan suci ini.

Tetapi, apakah nilai keagamaan itu juga terserap dalam praksis kehidupan? Apakah julukan itu berlebih-lebihan? Perlu bertanya demikian. Sebuah kesangsian bisa saja merupakan pemacu untuk perbaikan.

“Mengecewakan”

Menyebut Larantuka bagi para penumpang kapal Laut seperti Sirimau (dulu) dan Umsini (kini), atau perayaan PELNI lainnya, sangat berbeda. Ada yang merasakan sebagai sebuah beban penderitaan yang sangat berat. Bagi yang pernah menjadikan Larantuka sebagai pelabuhan tuju, bisa saja mengganti rutenya karena tidak ingin hal yang sama terjadi.

Di Larantuka, kota yang (katanya) sangat suci itu, portier sangat jauh dari pelayanan minimal. Mereka bak mengambil paksa barang dengan tanggungjawab yang sangat minim. Sebuah pemandangan yang agak jarang malah sulit ditemukan contohnya di kota lain yang barangkali lebih besar seperti Maumere, Ende, malah Kupang.porter

Artinya, bila hal itu jarang terjadi di kota yang tidak sesuci Larantuka, maka semestinya di kota ini pelayaan lebih baik. Minimal adanya perlakuan manusiawi bukan berebut barang dan penumpang seperti yang selalu terjadi.

Peristiwa tidak selesai di situ. Kehadiran LKF Mitra Tiara dengan nasabah belasan ribu dengan simpanan 1,7 triliun rupiah menjadi kisah lain. Di kota ‘sesuci’ ini, orang begitu mudah terpesona dengan ‘tipuan muslihat’ untuk menjadi ‘kaya’ tanpa kerja. Mereka ‘berlipat tangan’ dan menunggu hujan berkah 10% per bulan.

Sebuah keanehan yang mestinya tidak terjadi. Dengan dana Rp 1,7 triliun berarti setiap bulan “si Niko Ladi” harus membayar Rp 170 miliar rupiah. Dari mana dia ‘mendapatkan’ uang sebesar itu? Dari usaha pemeliharan sapi? Dari dana bantuan luar negeri entah dari Swiss atau Korea? Dari permainan saham? Itu semua dipercaya dan ‘diimani’ sebagai kebenaran.

Yang lebih mengherankan, umat sederhana dengan simpanan yang sedikit pun terkecoh. Bagaimana tidak. Petingggi di daerah, mulai dari pegawai pemerintah hingga rohaniwan biarawan-biarwati juga ‘menyimpan’ duitnya biar bisa digunakan untuk ‘membangun gereja’. Sebuah pembanguann di atas ‘bunga’ aneh yang dipercaya itu untuk “Dei gloriam” (demi kemuliaan Allah).NASABAH

Kisah tragis itu belum selesai. Ketika tercium ‘bau busuk’, biasanya si pelaku ditangkap. Itu yang terjadi di seluruh nusantara. Bahkan di Jakarta, Bogor, Sumatera, pelakunya sudah ditangkap. Yang terjadi di Larantuka dengan si (biangke) Ladi, adalah menghilang sampai sekarang. Ia seakan ‘dipelihara’ oleh yang punya tabungan besar agar ia ‘rela’ mengembalikan dana mereka. Sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa dianggap sepeleh.

Kenyataan ini tentu bisa dijadikan alasan menggeneralisir Larantuka tidak sesuci dulu. Tetapi ia hanya gambaran kekecewaan yang bisa saja kian meluas dan menjadiakn kesucian Larantuka bisa ternoda.

Perlu Membumi

Dua contoh tentu tidak bisa dijadikan dasar untuk menilai Larantuka sudah tidak ‘sesuci’ lagi. Lebih lagi kalau mengaitkan dengan tragedi tenggelamnya kapal saat prosesi Jumat Agung kelabu. Sebuah kesimpulan yang tentu tidak kuat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa kisah itu bisa terjadi di Larantuka? Mengapa pelayanan yang menyeramkan justeru terjadi di kota sekudus Larantuka? Mengapa orang begitu percaya pada kebohongan? Mengapa setelah jatuh, tidak sedikit pejabat masih lebih memilih memelihara Niko Ladi ketimbang memprosesnya sekalian?

Pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab. Tetapi yang pasti, mengutip teolog pembebasan, Leonardo Boff, kepincangan sosial terjadi karena antara agama yang (katanya) diyakini dan praksis hidup berseberangan. Padahal keduanya mestinya menjadi bak simpul yang sama. Orientasi ‘ke atas’ tidak bisa dipisahkan dalam relasi horizontal dengan sesama.

Boff, teolog asal Brazil justeru menggunakan dua analogi yakni elang (aguila) dan induk ayam (gallina). Agama mesti mengarahkan pandangan ‘ke atas’, terbang di ketinggian, karena secara analog dipahami Tuhan berada ‘di atas’. Ia juga mencakup impian, harapan, cita-cita yang harus digantungkan setinggi langit.

Harapan inilah yang memberi hidup dan bobot pada kehidupan. Sebuah harapan yang mendorong semangat untuk bangun dan maju setalah setiap kejatuhan dan kemunduran. Harapan yang memberi semangat untuk terus melangkah meski realitas berseberangan.

Tetapi agama tidak bisa tinggal di ketinggian dan lupa ‘mendarat’. Gambaran tentang induk ayam yang selalu di tanah mengandaikan agama perlu juga memiliki dimensi horizontal. Ia perlu ada di bumi dan mewujudkan apa yang diimpikan dalalam keseharian.

Gambaran ini bisa jadi alat ukur. Peristiwa yang terus terjadi di Larantuka menunjukakn bahwa antara ‘elang’ dan ‘ayam’, terdapat jurang pemisah. Jelasnya, agama masih ingin tinggail di ketinggian dan lupa mendarat. Akibatnya sudah pasti, apa yang dirayakan di Gereja dan Mesjid tidak terwujud dalam keseharian.

Pada sisi lain, menjadikan Larantuka benar-benar kota suci tentu butuh perjuangan. Pertama, agama perlu terus mempertahankan dua dimensi yakni nilai ketuhanan dan nilai kemanusiaan. Keduanya saling mengandaikan. Hadirnya Tuhan memberi inspirasi tetapi ia akan lebih bermakna ketika nilai ketuhanan itu diwujudkan dalam nilai kemanusiaan. Kenyataan Tuhan menjadi manusia dalam inkarnasi sangat jelas. Tuhan jadi manusia agar manusia bisa mencapai dimensi paling tinggi. Ini yang mesti terus dipertahankan.

Kedua, perlu pemimpin yang merakyat. Kesemrawutan yang terjadi di Larantuka adalah contoh tentang perlunya pemerintah yang bisa mengatur dan menata kembali Larantuak. Hal ini perlu karena masyarakat merupakan sebuah kekuatan yang sudah bergerak. Peristiwa Semana Santa adalah keterlibatan umat yang sangat menonjol. Kini tinggal ditunjang oleh pemuka yang bisa mengumat dan merakyat. Mereka yang baik gembala yang baik, ketika tantangan datang, mereka yang membela dan bukannya lari menyelamatkan diri (seperti yang terjadi dalam kasus Mitra Tiara).

Kepemimpinan ini yang sangat kita nantikan.

Flores Bangkit 24 Juli 2014

Leave a comment