(5) ADOWAJO, DARI PUSAT VULKANOLOGI BANDUNG


(5) ADOWAJO,

DARI PUSAT VULKANOLOGI BANDUNG

Pusat VuLkanologi Bandung sebenarnya sudah sangat akrab di telinga saya sejak kecil. Waktu itu, para insinyur dari Bandung terus berdatangan di rumah dan menginap di rumah Kepala Desa saat itu, Pius Kedang Tolok.

Saya teringat ada anekdot lucu. Saya yang belum terbiasa dengan bahasa Indonesia harus melatih untuk bisa bicara dengan orang Jawa. Saya ingat betul ajakan saya pada para insinyur untuk makan: “Insinyur, mau makan atau tidak mau”, pertanyaan polos.

Hari ini saya dapat kesempatan masuk ke Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam (Center for Volcanology and Geological Hazard Mitigation) Bandung. Ia merupakan sentral pengamatan gunung api seluruh Indonesia. Sebuah cita-cita yang terwujud karena kebetulan jarak antara Kopertis IV tempat saya mengurus beberapa hal tidak jauh.

Semua Gunung Api

Memasuki ruangan Badan Vulkanologi yang 4 lantai, saya langsung diterima Satpam. Saya memperkenalkan diri dari Lembata NTT (agar mereka lebih cepat layani soalnya orang jauh-jauh datang dari NTT).

Setelah perkenalan, ketika Satpam masih menginformasikan kepada petugas perpustakaan, saya iseng-iseng lihat lobby. Di sana ada beberapa layar dan gambar. Layar itu mencatat kondisi gunung api di Indonesia secara online. Apabila terjadi gerakan dan getaran bumi sedikit saja, langsung mereka tahu di mana dan kapan.Gambar sebagian besar gunung api di Indoensia (terlihat Ile Boleng, Kelimutu, Ile batutara, Ile Lewotolo (Ile Ape), Ebulobo, dan lain-lain. 

Saya menekan layar besar itu. Iseng-iseng saya cari informasi tentang Hobal dan Adowajo, hal mana menjadi masalah oleh karena nama. Saya juga iseng-iseng cari 4 artikel terakhir yang saya tulis di blos http://www.bertoamigo.wordpress.com. Karena layar besar, saya bisa foto selfie.

Saya lalu berpindah ke layar lainnya lagi yang menginformasikan tentang semua gunung api seluruh Indonesia. Sangat terlihat begitu padatnya gunung api di daerah NTT. Pantas saja, di bagian vulkanologi, ada orang yang khusus menangani gunung api di NTT.

Dari layar, saya ke gambar dalam bentuk flyer besar, selebar dinding yang berisi gambar seluruh gunung api seluruh Indonesia. Saya langsung cari nama gunung api Adowajo atau Ile Werung. Tidak ada. Yang ada dalam foto Lewotobi, Ebulobo, Kelimutu, Ile Lewotolo (Ile Ape), Ile Batutara), Ile Boleng.

Saya lalu iseng-iseng tanya petugas, mereka sampaikan bahwa gunung Ile Adowajo lagi tidak terlalu aktif sehingga tidak menjadi perhatian. Juga ile Hobal suka ‘ngumpet’ dalam laut. Tetapi kalau ada aktivitas, pasti didahulukan (Jangan lah suruh gunung aktif nanti orang Lerek dan Dulir bagaimana?).

Perpustakaan

Dari lobby depan saya ke ruang perpustakaan yang berada di lantai yang sama (lantai dasar). Di sana saat menyebut ‘Ile Werung’ dengan cepat petugas perpustakaan (maaf saya lupa namanya), langsung mencari data. Dia ambil di lemari buku warna pink, tentang ile Werung, tetapi di sana yang terulis ‘ili werung’.

Kemudian ia mengambil beberapa peta terakhir dari tahun 2010 dan 2015. Baginya, peta itu yang memberikan informasi akurat. Saya coba perhatikan.

Di peta itu ada informasi yang membingungkan. Ile Werung adalah nama yang diberikan untuk
Ile Adowajo. Pada peta 2010, ditulis ketinggiannya mencapai 1080 mdpl. Sementara pada peta 2015, ketinggiannya 500meter. Saya lalu ajukan protes bahwa informasi seperti inilah yang membingungkan orang. Hemat saya ketinggiannya hanya 500 meter, hal itu kemudian diperkuat pa Bambang yang pernah ke Lerek – Lamaheku (dan menginap di rumah Bapa Gaspar Hare Geromang).

Dari informasi di perpustakaan yang saya peroleh dalam kunjungan kurang dari 20 menit, saya memperoleh informasi yang menarik tentang deretan gunung yang berada dalam satu garis lurus mulai dari Ile Mauraja, Ile Kedang (Watuwawer), Ile Benolo (Bauraja). Saya temukan juga ile Lamakeba yang harus saya konfirmasikan lagi (harusnya terletak antara Bauraja dan Atalojo, sekitar daerah longsoran).

Saya coba merekam dengan foto sambil meminta petugas perpustakaan untuk bisa scan dan saya bisa bawa. Kebetulan tidak bawa flash disk. (Nanti saya akan minta supaya dikirim via email saja).

Penanggungjawab Gunung Api NTT

Dari pertemuan di perpustakaan, saya berkesimpulan bahwa memang benar rujukan Ile Werung adalah Adowajo yang disebut masyarakat. Lalu kemana saya harus pergi? Dari perpustakaan di lantai dasar saat mengemukakan permasalahan tentang nama gunung, saya secara kebetualn ketemu pa Bambang.

Waktu menyebut saya dari Lerek, dia langsung menyebut nama pa Gaspar Hare, pa Boli (anaknya pa Gaspar) yang sekaang mengawasi pusat pengamatan gunung di Keneping – Waiwejak. Pa Bambang cerita panjang lebar bahwa pada tahun 1996 dia ke Lerek untuk membawa peralatan yang perlu dan sempat ke Ile Werung (yang disebut Adowajo).

Keadaan makin akrab dan familiar. Pa Bambang langsung mengantar saya ke lantai 3 untuk betemu PIC gunung api di NTT. Sangat kebetulan dalam satu lift kami bersama petugas vulkanologi dari Jepang. Saya kagum dan tahu betul bahwa orang Jepang karena hidup di daerah gunung api, sangat peka dan ahli dalam mengamati gunung. Tanpa kata, tetapi dalam lift itu saya hanya kagum.

Di lantai 3, saya hanya ketemu pa Octory. Dia menjadi bagian dari team gunung di NTT. Hanya beliau pernah sampai di Ile Batutara yang sangat aktif. Sebagai vulkanolog, dia sempat ke lereng Batutara (untuk wisatawan biasa tidak diperkenankan). Gunung Batutara ini sangat aktif dan menjadi obyek penelitian yang luar biasa.

Pa Oktory kemudian memberikan beberapa informasi selain saya sampaikan’polemik’ tentang nama gunung Adowajo. Dia menggeleng-geleng kepala sambil berkata: “Informasi seperti ini kami selama ini tidak tahu”. Saya lalu janjikan akan mengirimkan sedikit riwayat gunung api agar dapat dipertimbangkan dalam data-data informasi. Hanya dengan demikian masyarakat tidak keliru dalam menamakan gunung dan kalau terjadi letusan, identifikasi masyarakat setempat cepat dan jelas dan jalur evakuasi dapat dilewati dengan cepat dan cekatan.

Saya berjanji pada pa Octory akan segera mengirimkan informasi gunung api setelah tiba kembali di Jakarta. Selain itu pa Octory juga memberikan saya email dari pa Ubang, penanggungjawab gunung api NTT. Saya menyimpannya dan segera menyampaikan janji saya untuk menyampaikan hal ini.

Tindak Lanjut
Agar informasi ke Pusat Vulkanologi tidak selesai, saya segera menulis informasi ke pa Octory dengan tembusan ke pa Ubaing tentang informasi yang diperoleh. Berikut bunyi penyampaikan email saya:

Pa Ugan dan Pa Oktory Yth.

Saya Robert Bala, puter asli Lerek – Lembata. Semasa kecil, karena orang tua saya Kepala Desa hampir 20 tahun di Lerek, sudah akrab dengan para vulkanolog yang ke Lerek untuk meneliti gunung api.

Beberapa tahun terakhir saya bergerak di bidang pendidikan (guru dan dosen). Banyak menulis artikel opini di Kompas (artikel saya bisa dilihat di http://www.bertoamigo.wordpress.com). Di Blog saya, saya juga membuat empat tulsian bersambung tentang ‘misteri nama gunung’.

1. https://bertoamigo.wordpress.com/koran-umum/undercover/pesona-ile-werun/ile-werun-atau-adowajo-bagian-1-dari-3-tulisan/
2. https://bertoamigo.wordpress.com/koran-umum/undercover/pesona-ile-werun/ile-hobal-gunung-bawah-laut-teraktif-di-indonesia-bagian-2/
3. https://bertoamigo.wordpress.com/koran-umum/undercover/pesona-ile-werun/3-adowajo-ibu-para-gunung-bagian-3-dari-3-tulisan/
4. https://bertoamigo.wordpress.com/koran-umum/undercover/pesona-ile-werun/4-literasi-barisan-gunung-atadei

Dari beberapa riset saya dan terakhir riset ‘singkat’ di perpustakaan Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Bandung, saya berani mengirimkan tulisan ini menggugat kebenaran pemberian nama untuk ‘ILE WERUNG’ yang bagi saya problematis.

Selamat membaca.

DI BALIK GUNUNG ‘ILE WERUNG’

Bulan Oktober 2018 akan didakan Festival 3 Gunung Api di Lembata (Ile Batutara, Ile Ape (Ile Lewotolo) dan Ile Werung). Festival ini menjadi momen literasi gunung. Dengan demikian aneka kekeliruan dapat diperbaiki pada saat ini.

Penamaan festival tersebut sempat memunculkan kebingungan masyarakat karena nama itu ‘asing’ bagi masyarakat setempat. Mengapa?

1. Masyarakat setempat menamakan gunung yang disebut ‘ILE WERUNG’ oleh literature sebagai ILE ADOWAJO.
2. Penggunaan nama ILE WERUNG, hemat kami tidak tepat. Ia merupakan sebuah kekeliruan yang terjadi dari awal oleh salah tafsir. Nama ‘Ile Werung’ artinya ‘gunung’ (ile, bukan ili), werun(bukan werung) yang artinya baru. Pemberian nama ini bisa ditafsir sebagai konsekuensi dari sebuh gunung parasite yang bisa selalu muncul gunung baru (ile werun) setiap saat.
3. Dari segi tata bahasa pun nama tersebut keliru. Yang seharusnya adalah ‘ILE WERUN’ (yang artinya gunung (ile) dan baru (werun). Tetapi penamaan itu pun hanya sebuah istilah untuk menggambarkan hadirnya ‘gunung baru’ sebagai konsekuensi dari gunung parasiter.

Sekilas Sejarah

Dari sejarah letusan, ILE ADOWAJO, dicatat bahwa ia meletus pertama kali pada tahun 1870. Dari sana muncul magma yang mengaga sampai saat ini. Sebagai gunung parasiter, kita mengakui bahwa ia merupakan ‘induk’ gunung.

Sebagai induk, pada tahun 1948, kembali terjadi letusan di pinggir gunung parasiter. Masyarakat menamakan itu sebagai ‘ile werun’ (dalam baru Atadei artinya gunung baru, bukan ‘werung’). Penamaan ini tepat karena muncul gunung baru. Gunung baru ini kita sebut sebagai Ile Geripe (Petrus Geripe).

Pada tahun 1972, kembali terjadi letusan tapi di bawah laut yang disebut sebagai Ile Hobal. Jaraknya sekitar 3 km dari ‘Ile Adowajo’. Letusan terjadi beberapa kali dengan munculnya puncak baru di atas laut (sampai 7 puncak). Kemudian perlahan-lahan menghilang.

Jelasnya, penamaan ‘werun’ bisa dipahami dalam konteks gunung parasiter dengan hadirnya ‘gunung-gunung baru’.

Melalui tulisan ini kami ingin menghimbau BADAN VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA, khususnya kepada penanggungjawab gunung di NTT untuk bisa mempertimbangkan hal ini.

1. Memberikan nama resmi ‘ILE ADOWAJO’ pada puncak gunung besar yang ada sekarang dan TIDAK MENYEBUT LAGI ILE WERUNG berdasarkan alasan yang dikemukakan yakni: masyarakat setempat menamakannya sebagai Ile Adowajo dan bukan Ile Werun.
2. Penggunaan ‘Ile Werun’ dipakai sebagai terjemahan atas gunung baru. Dalam literatur gunung baru itu harus diberi nama dan bukan digunakan ‘Ile Werun’ sebagai sapaan begitu saja. Jelas, Ile Werun itu kemudian bernama ‘Ile Gripe’, ‘Ile Hobal’, dan siapa tahu akan muncul lagi ‘ile werun’ alias gunung baru.
3. Dengan mengembalikan nama ILE ADOWAJO, maka di daerah kaldera Lerek terdapat 3 gunung aktif yakni: ILE ADOWAJO (induk), ILE GERIPE, dan ILE HOBAL. Pemberian nama ini diharapkan menjadi solusi karena ke depan masih akan ada gunung yang muncul lagi sebagai konsekuensi gunung parasiter.
4. Pemberian nama ‘ILE ADOWAJO’ akah memperjelas karena dalam beberapa literatur terdapat kerancuan bahkan tentang tinggi gunung. Ada yang menulis tinggi gunung Ile Werung (baca Adowajo adalah 1080 mdpl, atau 1400mdpl, ata 500mdpl. Hemat kami tinggi gunung Adowajo (yang disebut Ile Werun adalah 500 meter).

Demikian usulan kami. Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan pengambil keputusan.
Salam hormat. Robert Bala.

Demikian kisah perjalanan. Semoga kunjungan singkat ini bermakna demi mengembalikan ADOWAJO pada nama sebenarnya demi literasi. Harapan juga semoga pemda Lembata dapat menindkalajuti penelitian sederhana ini dalam penamaan Festival Gunung Api (bukan festival gunung) di Lembata.

Salam hormat.