PELAYAN DALAM SUNYI (In Memoriam P. Servulus Isaak, SVD)


PELAYAN DALAM SUNYI

(In Memoriam P. Servulus Isaak, SVD)

Saya cukup terkejut saat mendengar hari ini, Senin, 1 Pebruari 2021, P. Servulus Isaak, SVD wafat. Putera Manggarai yang lahir di Rekas, 23 Desember 1944 itu, wafat pada usia 76 tahun. Usia yang belum terlalu tua sekali. Masih ada banyak hal yang mau dikerjakan, terutama melayani tanpa henti orang-orang sakit dan menderita yang ia geluti 6 tahun terakhir setelah pensiun. Namun covid-19 mempercepat dan menjemputnya.

Apakah orang hebat ini harus pergi dalam sunyi seperti semua yang wafat karena covid-19? Ya. Mengikuti protokol Kesehatan, maka kepergian mereka dalam sunyi. Tanpa tangis orang-orang dekatnya. Tanpa sanjungan dan seremoni untuk orang yang begiu berjasa bagi para imam dan awam. Peti jenasahnya tidak bisa dipikul oleh ratusan malah ribuan imam yang merupakan muridnya. Ia pergi sendiri dalam kesunyian.

Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi pengantar buat pastor yang ditahbiskan pada tanggal 25 Juni 1974, yang sebenarnya kalau masih hidup, maka hanya tiga tahun lagi ia akan merayakan emas imamatnya (2024).

Nama pastor yang pernah belajar di belajar Kitab Suci di Roma (1976-1980) ini sudah saya dengar saat berada di Seminari Hokeng.  Minimal pernah disebut-sebut oleh para pastor tamatan Ledalero dan frater TOP di Seminari Hokeng bahwa ia seorang ekseget Kitab Suci Perjanjian Lama.

Selama berada di Hokeng (1984-1988), kami sebenarnya lebih kenal Sr Columba SSpS, saudari kandung Paer Servulus yang saat itu merupakan provincial SSpS Flores. Kami mengenal bagaimana Sr Columba berbicara dengan keyakinan sebagai seorang pembesar.

Saya kemudian juga tahu bahwa P. Yan Menjang, SVD yang pernah menjadi Rektor UNWIRA Kupang juga adalah kakak kandung. Jadi Pater Servulus berasal dari keluarga yang kecerdasan dan kebijaksanaan tentu berada di atas rata-rata.

Saat masuk di Ledalero, ternyata nama yang dulu disbut-sebut tidak ada. Ia sudah berangkat ke Yerusalem untuk studi doktoratnya. Ia berangkat ke sana setelah 7 tahun mengajar tidak saja di Ledalero, tetapi karena kekurangan dosen mata kuliah Perjanjian Lama, maka ia juga diminta mengajar di Pineleng (Manado), Pematang Siantar (Sumatera Utara) dan Abepura (Papua).

Dari Ledalero, ia belajar di Yerusalem 2 tahun (1987-1989) dan kemudian pindah ke Roma (1990 – 1994).

“Workholic”

Tahun 1994, rupanya Pater Servulus dipanggil pulang ke Ledalero. Saat itu dia tengah pada tahapan akhir penyusunan disertasinya.  Saya mendapat informasi bahwa tadinya diperkirakan bahwa saat berada di Indonesia ia bakal merampungkan disertasinya dan hanya kembali ke Roma untuk ujian.

Namun rencana itu nampaknya tidak terjadi seperti yang direncanakan. Minimal sampai ijazah saya ditandatangani, masih tertulis: Servulus Isaak, Lic. in re Biblica. Semuanya itu tentu tidak bisa dilepaskan dari tugas dan tanggungjawab yang diembannya.

Saat tiba, ia langsung diminta untuk menangani STFK Ledalero. Sebuah tugas yang tentu tidak ringan. Suasana tidak mudah oleh karena gempa yang melululantahkan Maumere dan sekitarnya termasuk Ledalero. Kantor STFK yang sebelumnya di atas Gedung Yohanes rubuh total. Karena itu ia harus menata ulang, tentu banyak yang dari nol.

Pater Servulus melewati waktunya dengan menata administrasi. Kalau kerja, ia benar-benar tenggelam dalam kerja, seorang ‘workholic’, sangat keranjingan kalau sudah bekerja.

Banyak kali ia terlambat makan baik siang maupun malam. Ia maunya supaya semua bisa ditangani dengan tuntas. Tetapi juga, dengan makan terlambat, ia pun bisa dapat sisa makanan yang ia siapkan untuk kucing yang berliaran. Di situlah terlihat kepeduliannya pada hewan yang nyaris diperhatikan orang lain.

Tugas seperti ini menyerap hampir seluruh tenaganya sampai lupa untuk kembali ke Roma lagi. Ia merasa, kehadirannya dalam menata pendidikan jauh lebih dibutuhkan ketimbang ijazah doktoralnya. Apalagi kalau semua ilmu sudah diperoleh, maka ia rasa cukup (itu penafsiran saya tentunya).

Waktu di Ledalero terlewatkan dengan sangat baik. Ia bisa tarik napas stelah 2 periode jadi Ketua Sekolah  (1994 – 2003). Tetapi ternyata tidak demikian. Hanya 2 tahun sesudahnya ia diminta berpindah ke Ruteng. STKIP Santu Paulus Ruteng tengah mengalami prahara. Kehadiran Pater Servulus dianggap solusi yang tepat. Semua imam (baik SVD maupun projo) adalah muridnya. Dengan demikian ia hadir benar-benar sebagai bapa bagi semua, Prahara itu pun perlahan  menuju akhir yang baik.

Di STKIP Ruteng, pastor yang tamat di SMP Kisol (1957-1960) dan SMA Seminari Mataloko (1960 -1964) bisa melakukannya perannya dengan baik. Dua periode (2005 – 2011) ia berikan bekasdengan tangan dinginnya  meletakkan dasar yang kuat agar Sekolah Tinggi yang kini telah menjadi Universitas Santu Paulus.

Tidak hanya itu. Setelah selesai tugas yang mahaberat itu, ia masih dipilih jadi provincial SVD Ruteng. Kali ini hanya satu periode (2011-2014) karena ia merasa sudah terlalu tua. Ia berumur 70 tahun dan 40 tahun imamat, sebuah periode di mana ia bisa lebih fokus pada pelayanan yang ia senangi.

Sangat Perhatian

Secara pribadi saya kenal Pater Servulus di awal-awal setelah tiba di Ledalero tahun 1994. Tahun setelahnya, 1995, sebagaimana tradisi, STFK Ledalero mengadakan pertukaran mahasiswa dan dosen dengan Sekolah Teologia (calon pendeta) Kupang. (Program ini dimulai tahun 1975 (?) oleh Paer Henrich Heekern, SVD, dosen Kitab Suci STFK Ledalero yang kemudian terpilih jadi superior general. Maksudnya agar para calon imam dan calon pendeta sejak awal bisa bekerjasama). 

Untuk program pertukaran tahun 1995, Dari Ledalero, Fr Marcel Lamury mewakili Ritapiret dan saya  dari Ledalero, didampingi P. Servulus. Di situ saya kenal secara pribadi. Terasa sangat dekat, hal mana berbeda kalau masih di Ledalero. Karena harus hidup dan bergabung dengan mahasiswa lain di loss seperti asrama, maka Pater Servulus memberikan tambahan uang saku (dia berbisik: kamu 2 wakili Ledalero sehingga tidak dianggap ‘miskin-miskin amat’)

Bagi kami yang hanya dapat uang saku pas-pas dibagi akhir bulan Rp 7.500, mendapatkan uang dari Pater Servulus itu sebuah berkat luar biasa. Kami bisa lewati hari-hari bersama para calon pendeta dengan tanpa canggung. Bukan soal uang. Tetapi perhatiannya sangat besar terasa.

Dalam kebersamaan sebulan, terlihat Pater Servulus yang sangat human. Itu kami saksikan ketika mengikuti kegiatan calon pendeta di perbaasan TTU – TTS. Di sana para calon pendeta tinggal di hutan tetapi ditata dengan tempat tinggal yang cukup baik. Para mahassiwa bisa sekolah alam di sana di bawah bimbingan dosen.

Saat itu terlihat kedekatan Pater Servulus dengan para dosen teologia dan mahasiswa. Ia begitu disenangi. Lebih lagi ketika memberikan kuliah tentang Perjanjian Lama, Penguasaan bahasa Ibrani dan Yunani dan penjelasannya begitu detail tentang Kitab Suci membuat para calon pendeta berdecak kagum.

Di Kupang, saat kami sempat bertemu ke rumah Pendeta Radja Haba, di rumahnya. Terlihat mereka berdua begitu intens berdialog. Kami hanya duduk mendengar dan kagum, sambil menimbah sedikit pengetahuan dari dua orang hebat itu.

Hanya Mengabdi

Saat merayakan 70 tahun hidup dan 40 tahun imamat, saya membayangkan, kerinduan yang terpendam selama ini adalah melayani secara tulus. Itulah yang dicari dan dirindukan oleh banyak orang bebas. Setelah mereka berkarya di level yang ‘tinggi’, mereka merasa ada keharusan untuk menyentuh yang sederhana: orang-orang biasa. Itu yang saya bayangkan dari 6 tahun sebelum wafatnya.

Ia bisa menyelami bahwa belajar Kitab Suci pada akhirnya bertujuan selain untuk mendalami lebih dalam kasih Allah secara nyata. Ia bukan hanya ‘buku’ tetapi sebuah narasi tentang kasih tak berkesudahan. Kasih itulah yang mau ia hidupi di masa tuanya.

Pengalaman kasih itu pula yang barngkali menjadi salah satu sebab kejangkitan virus covid-19. Ia melewati hari-hari mendoakan, menjamah, memberikan pengobatan kepada orang yang sakit. Dalam proses itulah mungkin saja terjadi transmisi virus.

Tetapi inilah sebuah resiko. Ia sendiri pasti tahu tentang proses terjanjangkitnya virus. Tetapi yang jauh lebih ia risaukan adalah bagaimana mendekati orang meski hal itu bisa berakhir dengan kematian seperti yang ia alami pada akhirnya.

Yang paling penting baginya, melalui pelayanan itu, ia mewujudkan apa yang ada dan ia hidup. Lebih lagi karena dengan melayani secara tulus orang-orang paling bawah, ia menunjukkan dirinya sebenarnya. Ia adalah ‘Servulus’ yang dalam bahasa Latin “Servus” atau dalam bahasa Spanyol “Siervo) yang artinya ‘pelayan’ atau abdi. Ia hanya mau melayani dalam sunyi dan berbakti dalam hening.

Karena itu, meski kematiannya meninggalkan duka, tetapi itulah kematian bermankna, meski kami yang hidup sebenarnya menginginkan kematian model lain. Kami ingin agar kematianmu bisa ditangisi dan bisa dirayakan. Minimal saat itu mau mendengar aneka kesaksian. Tetapi barangkali itu tidak sejalan denganmu yang lebih memilih bekerja dalam keheningan dan ingin wafat dalam kesunyian pula, sebuah kematian yang dimahkotai oleh pelayanan penuh.

Kasih dan doa seperti ini lah yang tentu ia lanjutkan di Surga. Karena dari Surga (tenpa rokok tentunya) ia bisa terus melayani, melihat dan mendoakan semua orang yang masih berziarah, terutama agar covid tidak menelan begitu banyak korban lagi. Terimakasih Pater (Robert Bala, murid 1994-1996).