(8) ARTI PULANG KAMPUNG


(8) Arti ‘Pulang Kampung’

Setelah acara Natal Bersama Keluarga Besar Lerek, saya seesungguhnya sudah mau menulis topik ini tentang PULANG KAMPUNG. Lebih lagi ketika seorang peranakan Jakarta bertanya lebih lanjut tentang istilah “GEUT TUAK PAN MANUK” (yang artinya: iris tuak dan beri makan ayam).

Saya janjikan untuk menulis hal itu, tetapi tertunda sampai semalam, muncul itu dari anak saya sendiri. Pasalnya, setelah pulang dari Sekolah ia mengeluh sakit (demam). Lalu dia sampaikan bahwa tadi di Sekolah ia sudah cek panasnya dan mencapai 35,7 (saya kira dia salah sebut, mestinya 37,5). Badannya sedikit hangat.

Terhadap panas badannya itu dia bilang: Pak, setelah cek panas, kelihatan tidak apa-apa. Nampaknya kalau tidak ada penyebab seperti ini, maka kelihatan saya harus pulang kampung deh?”. Kata-kata lepas itu buat saya tersentuh untuk menulis apa kaitan antara sakit dan ‘pulang kampung’.

Home Sick

Orang tua kita, oleh karena kondisi bencana alam, agar hidup lebih tenang,  anak-anaknya harus merantau jauh. Di sana mereka bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Apalagi untuk ukuran Lerek, bencana itu silh berganti. Sejak meletus pada tahun 1870, setiap 20 tahun selalu ada letusan dengan letusan terdahsyat terjadi pada tahun 1948-1952.

Sejak saat itu orang berpindah secara massal. Letusan gunung pada tahun 1973 telah menghadirkan Hobal sebagai gunung baru. Lalu diikuti bencana tahun 1979, saat tsunami di Waiteba. Dan terakhir, kisah di Tobilolong. Kampung itu harus kosong dan pindah ke tepat yang cukup jauh dari tempat asal mereka.

Kembali kepada bencana, meski diizinkan untuk pergi merantau, tetapi kepada semua perantau selalu dipesan hal ini: Mio mei geut tuak pan manuk (kalian hanya pergi iris tuak dan beri makan ayam).

Itu berarti tempat rantau ibarat hanya sebuah ‘pondok’ kecil. Ia tidak menggantikan rumah. Rumah tetap ada di kampung halaman.  Rumah utama dan bahkan disebut ‘une rajan’ (rumah besar) itu berada di kampung.

Disebut ‘une rajan’ bukan karena rumah itu besar secara fisik. Bukan dari sisi bangunannya yang megah. Une rajan karena di sana ia jadi saksi besar tentang sejarah, perjalanan hidup, pergulatan, susah dan senangnya. Ia merekam semua kisah hidup dan menjadikannya ‘besar’.

Sebagai rumah besar maka di sana tersimpan kata-kata, petuah, pesan yang merangkai sejarah hidup tersbut. Sementara rumah lain di perantauan, sebesar apapun dengan bangunan setinggi apapun, tetap ‘rumah kecil’. Disebut rumah kecil karena hanya merangkai kisah yang singkat.

Kalau demikian maka setiap perantau diwajibkan untuk pulang kampung karena di sana adalah tempat yang sebenarnya. Di sana ada ‘une rajan’. Di sana seseorang merasakan apa artinya ‘home’, kembali bergabung tidak saja dengan sanak keluarga di kampung (yang memilih bertahan bertahun-tahun) tetapi juga untuk menengok nenek moyang yang sudah mendahului.

Semua kisah dan pengalaman itu terjadi dan terekam dalam banyak kisah. Dengan demikian hadir kembali di ‘une rajan’, adalah sebuah kebahagiaan tak terkata. Di situ kita bisa mengerti, banyak orang mengalami kedahsyatan yang luar biasa yagn tidak bisa diungkapkan dengan kata.

Mungkin ini pula yang dialami banyak orang dan mau disampaikan anak saya. Ia mau sampaikan bahwa sejauh-jauhnya kita berada, tetapi ada satu tempat yang menjadi pijakan awal bagi kita. Ia adalah ‘une rajan’. Yang lain hanya ‘rumah kecil’, ‘bewar’ (pondok) dan mote (tempat istirahat). Di atas ada tempat yang harus membuat kita kembali.

Dalam arti ini kita juga bisa mengerti yang namanya ‘rindu kampung halaman’ atau yang kita sebut dengan ‘home sick’. Kita mau kembali mengalami suasana kekeluargaan, kesederhanaan, dan menghidupkan kembali seluruh pengalaman yang pernah ada.

“Sense of Root” (Memiliki rasa atas akar dari mana kita berasal)

Adanya asumsi terhadap sumber sakit berasal dari rumah adat tentu bukan sesuatu yang mengada-ada. Setiap orang punya akar, asal usul dari mana ia berasal. Ia tidak ada secara tiba-tiba dan kebetulan tetapi telah melwati sejarah. Dalam sejarah itu ada komitmen, ada janji yang diucapkan secara turun-temurun. Inilah yang disebut dengan rasa terikat pada akar di mana kita berasal.

Janji yang diucapkan biasanya ‘dimeteraikan’ dengan darah hewan (ayam, kambing, babi). Hal itu hanya menguatkan bahwa kita berasal dari tempat di mana orang tua kita dilahirkan dan dibesarkan). Sebuah janji yang sangat kuat yang tidak bisa dihapus dan dilupakan.

Janji itu diyakini harus dipenuhi suatu saat karena gerak kehidupan kita (dalam kepercayaan adat) itu bersifat sirkular. Artinya meskipun kita berjalan jauh tetapi suatu saat kita akan kembali lagi ke lingkaran itu, dikehendaki atau tidak.

Ini beda dengan orang Barat yang melihat kehidupan itu seperti anak panah, sekali pergi, akan pergi terus. Tidak. Kita percaya sebagai sebuah lingkaran. Artinya, meski orang tua kita mengingatkan (atau bahkan lupa mengingatkan), maka suatu saat anak-anak dan cucu akan memperoleh tanda itu untuk harus kembali.

Kita yang tinggal di Jakarta, mungkin sudah generasi kedua tau bahkan ketiga. Ada yang sudah berada di generasi ke-4. Di ujung generasi itu semua kita sama, bahwa kampung asal kita adalah Lerek. Di sana orang tua, nenek-moyang kita dilahirkan, dibesarkan. Di sana mereka sudah buat perjanjian dengan darah hewan bahwa anak-anak dan cucu hanya pergi untuk ‘geut tuak-pan manuk’ (iris tuak dan beri makan ayam).

Tempat tinggal sekarang di Jakarta memang rumah, tetapi dalam tataran adat, ia hanya ‘rumah kecil’. Disebut rumah kecil karena sejarah dan kisah masih terbatas hanya sekecil keluarga kita. Ia hanya sebuah tempat persinggahan atau disebut ‘bewar’ ‘mote’ (tempat sementara). Rumah kita tetap di suku yang ada di Lerek (Robert Bala, 30 Januari 2020).