Korupsi, “Bibir”, dan “Bubur”

Korupsi, “Bibir” dan “Bubur”

Ditetapkannya 3 tersangka (PN, AD, PML) dalam kasus korupsi pembangunan Gereja St. Maria Benneaux Lewoleba Keuskukpan Larantuka, menarik untuk disimak. Dana sebesar Rp 1 miliar untuk merampungkan pembangunan Gereja yang berasl dari hibah Kementrian Agama itu disinyalir disalagunakan.

Tapi, apakah hal yang sangat mencoreng Gereja itu sebaiknya diidiamkan saja? Bukankah orang-orang yang terlibat adalah ‘orang dalam’ yakni panitia pembangunan dan pejabat pembuat komitmen? Bukankah kasus itu ‘dipetieskan’ saja mengingat pelakunya bisa saja umat malah pemimpin gereja sendiri?

‘Buah Bibir’

Tragedi tak elok yang kini melanda, bagaimana pun sangat memalukan. Wajah korupsi yang melanda negeri ini, ternyata juga menjadi ‘duri dalam daging’ dalam Gereja itu sendiri. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua ‘itikad baik’ dalam kehidupan menggereja dapat netral dari intrik tak elok pribadi tertentu.buah bibirNamum membuka kasus itu tidak lantas menggeneralisir semuanya. Dalam bahasa Paus Fransiskus di sela-sela kunjungan Paus ke Rio de Janeiro (28/07/2013), kasus seperti itu bersifat langka. Ia ibarat pohon tumbang yang bunyinya lebih terdengar ketimbang sebuah hutan yang tengah tumbuh dalam kesunyian.

Dengan penegasan itu, Paus tidak berpretensi menutup rapat kasus yang terjadi di Vatikan sendiri. Uskup Nunzio Scarano, diduga terlibat dalam pencucian uang dengan dalih sumbangan untuk Gereja melalui Bank Vatikan.gereja lewolebaTetapi hal itu menunjukkan hal yang menyalahgunakan keuangan Vatikan hanyalah tanda kemanusiawian manusia (meskipun dia seorang uskup). Dalam bahasa Bergoglio (demikian nama aslinya), ‘Curia Romana’, sebagai institusi, lebih banyak orang suci yang konsisten. Meski demikian, tendensi ‘korup’ itu harus diakui, sebagai tindakan ‘curia humana’, tindakan pribadi oleh kecendrungan kemanusiawian.

Terhadapa hal ini, Paus punya kesimpulan yang sangat jelas. Baginya “Iglesia tiene que darle sanción” (Gereja harus memberikan sanksi). Dengan itu maka tendensi mendiamkan saja demi menjaga ‘image’, jauh dari praksis sang Paus. Proses yang mencoreng harus diguka, ditelusuri, dianalisis, dan tentunya dijadikan pembelajaran.

Dalam alur berpikir seperti ini, tidak ada pilihan selain dengan kerendahan hati mengikuti proses hukum. Di sana konsekuensi menjadi ‘buah bibir’ tidak bisa dihindarkan. Kerapuhan kemanusiawian, kepura-puraan dari segelintir pemuka gereja (baik umat maupun pastornya) tersibak.

Pada sisi lain, proses hukum itu bisa menjadi ajang pemurnian bila apa yang disangkakan itu sekedar rumor tak terbukti. Dengan demikian iklim kehidupan menggereja bisa dipulihkan.bubur korupsiDari Pinggir

Sebagai kasus hukum, tersibaknya kasus ini tentu tidak bisa dianggap sebagai klimaks. Ia bau pada tataran praduga hal mana terbuka untuk tidak terbukti. Umat misalnya merasa aneh bahwa bangunan yang hampir 75% sudah berjalan saat datangnya bantuan itu mestinya selesai. Yang terjadi, Rumah Tuhan itu belum rampung sebagaimana diharapkan.

Pada sisi lain, pembelanjaan terkesan tidak terukur. Kelebihan bahan bangunan untuk bagian tertentu dan kekurangan pada bagian lainnya hanya menunjukkan perencanaan tak profesional. Dalam perspektif ini, ketidakprofesionalan yang menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pembangunan Gereja itu harus ditelusuri.bubur korupsiYang dimaksud di sini, proses hukum yang kini dihadapi, akan melewati proses bak memakan bubur. Kisah kini yang tersikak baru (bisa saja) berada pada tataran pinggiran. Ada sebuah proses perlahan yang bisa saja berlabuh pada hal yang lebih jauh. Jelasnya, penyalahgunaan dana dalam pembangunan Gereja harus diusut. Siapa pun dia (entah umat atau pastor), perlu diminta pertanggungjawaban.

Namun bagi kita, bukan soal melibatkan lebih banyak orang yang lebih penting. Yang lebih urgen adalah melakukan pembelajaran dalam proses ini.

Pertama, bantuan eksternal yang mestinya wajar dalam proses penyelesaian sebuah proyek sekaligus bisa mendatangkan celah untuk penyelewengan. Hal itu terjadi karena pengawasan lebih bersifat ‘ vertikal’, nyaris bersifat horizontal.

Umat (yang profesional) dirasa tidak perlu dilibatkan dalam proses pelaksanaan karena ada asumsi, sumber dana tidak berasal dari mereka.

Di sini celah itu besar ketika panitia malah pastor lebih ‘sibuk’ mengatur pertanggungjawaban agar diterima tetapi lupa akan efektivitas dan efisiensi kerja. Di sana, secara administratif pertanggungjawaban itu bisa saja diterima apalagi sesuai dengan jenjang waktu kerja tetapi secara nyata meninggalkan keanehan di lapangan hal mana baru disadari kini.

Ke depan, pengalaman berhaga kini harus dijadikan pembelajaran. Dana bantuan harus disertai pelibatan umat. Upaya ‘mengejar target’ dengan bahaya pembelian yang tidak efisien apalagi dilakukan oleh orang yang tidak profesional dalam bidangnya harus menjadi pembelajaran penting.

Kedua, konsep Gereja Umat Allah mesti juga membangun kesadaran bahwa dalamnya setiap orang punya peran masing-masing membentuk satu kesatuan utuh. Dalam kesatuan ini, profesionalisme menjadi hal yang penting. Dalam kaitan dengan pembangunan, banyak sekali ‘awam’ yang perlu diikutsertakan.  Dalam hal konstruksi, mereka adalah ‘profesional’, sementara pastor meskipun ‘ahli’ dalam bidangnya, tetapi dalam kaitan dengan pembangunan, ia adalah ‘awam’.  Yang dimaksud, pastor bisa saja ahli dalam bidang keagamaan, tetapi ia harus sadar, soal pembangunan, ia adalah ‘awam’.

Hal itu memungkinkan adanya pengawasan, efisiensi, dan efektivitas baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan. Fenomen ‘pastor sakramen’ yang dalam arti tertentu bisa diterima, tetapi tak jarang memunculkan celah hal mana tengah dialami kini.

Ketiga, proses pembangunan harus bersifat bertahap. Menatap wajah bagunan katedral Paris “Notre Dame”, yang kesan terpotong memberi inspirasi bahwa tiap generasi dengan jenjang waktu seratusan tahun diberi tugas untuk membangun satu bagian Gereja.notre dameKatedral Notre Dame terkesan ‘terpotong’, hasil pembangunan dari beberapa generasi yang kemudian gambar dasarnya hilang sehingga katedral menjadi seperti itu.

Yang terjadi, kerap, ‘umat’ atau lebih tepat ‘pemukanya’ tidak ‘sabar’ dan segera mengklaim diri ‘tak sanggup’. Begitu mudahnya ‘menyerah’ dan begitu mudahnya menjadikan umat di ibu kota sebagai ‘sasaran’, meskipun hal itu dianggap ‘wajar’ dalam konteks Gereja universal, tetapi hal itu tidak bersifat mendidik.notre dame2

Keempat, perlu transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Tuntutan seperti ini makin terasa di tengah era keterbukaan dan kedewasaan umat. Paham ini kerap tidak ditonjolkan dengan menonjolkan kemurahan hati pemberi (umat atau donatur lain). Paham ‘memberi dengan tangan kiri tidak diketahui tangan kanan’ yang sebenarnya positif kerap dijadikan lahan manipulasi.

Kemurahan hati pemberi dengan mudah diselewengkan hal mana menuntut adanya pertanggungjawaban. Dengan itu, siapa pun tidak sekedar diberi kepercayaan ‘buta’ seakan untuk urusan gereja, yang ada hanya kejujuran dan ketulusan mengabdi jauh dari godaan korupsi.

Singkatnya, tragedi yang terjadi di Lewoleba, yang kasusnya menjadi ‘buah bibir’, harus dijadikan pembelajaran selain mengusut masalah ini mulai dari pinggir ke tengah (seperti bubur), tetapi juga menjadi bahan pembelajaran berharga yang tidak boleh dilewatkan.

Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.

 Pos Kupang 24 Maret 2015

Leave a comment