Canción de la Selva

CANCIÓN DE LA SELVA*)

Juan Diego de la selva
de los pájaros que cantan
rompiendo el silencio de la espera
tanto tiempo en el infinito
nadando en los ríos vírgenes
cuando la primera palabra aun no hecha carne
y has venido delante de la aurora
antes de que el sol brille en los bosques
tú cantas llorando
y nosotros lloramos de alegría.
Así Juan Diego
habitaste en el seno
de tu madre Guadalupe
mientras contamos los días
cuándo se acabe los llantos
dejando lugar a los pájaros de la selva
a cantar una canción de la vida
contigo, con tus padres.

Martín Bhisu, Paraguay

NYANYIAN RIMBA

Juan Diego dari rimba raya

Dari tempat burung berkicau

Kau hadir memecah sunyi penantian

Yang tak terhitung entah berapa lama

Kau berenang di sungai perawan

Bahkan ketika kata pertama belum menjadi daging

Engkau telah datang mendahului pagi hari

Sebelum matahari bersinar di rimba

Engkau menyanyi sambil menangis

Dan kami menangis gembira

Demikianlah, Juan Diego

Engkau diam di rahim Bunda Guadalupe

Sementara kami menghitung hari

Ketika berakhir air mata

Membiarkan burung-burung hutan

Menyanyikan lagu kehidupan

Bersamamu dan orang tua mu.

Martín Bhisu, Paraguay.

*) Puisi ini merupakan kiriman , Martin Bhisu, seorang sahabat, kakak, rekan seperjuangan.  Secara kebetulan atau memang ‘takdir’ dari Dia yang di atas, saya hampir selalu bersama Martin. Sewaktu masih mahasiwa, kami sudah bersahabat.  Majalah VOX, milik Seminari Tinggi Ledalero mempersatukan kami. Sejak saat itu saya bleajar banyak dari Martin tentang menulis (meski saya tidak pernah mencapai ‘style’ Martin dalam menulis yang begitu alamiah, mengalir apa adanya).
Saat selesai belajar, Martin mendaului saya di Paraguay Amerika Latin.  Ternyata tiga tahun kemudian, kami bertemu di Paraguay, negara yang dijuluki: “corazon de america” (jantung Amerika). Tempat misi ini juga yang akhirnya memisahkan kami secara fisik.
Kebersamaan dengan Martin selalu inspiratif. Awalnya, rasanya dia cukup ‘acuh’ dan sama sekali ‘tidak bersahabat. Singkatnya tidak simpatik. Tetapi dalam ‘keasliannya’ ia menyimpan sesuatu yang luar biasa yang terus kami jaga dan pupuk sampai sekarang. Meski kenyataan, kami sudah tidak lagi ‘sejalan’ dalam panggilan,  tetapi dalam ide, kami semakin bersatu.
Mendengar kelahiran putra saya yang pertama, Martin dengan spontan mengirimkan sebuah puisi dengan isi utama berkisah tentang  misteri kehidupan, yang awalnya hanyalah ‘benih’ dalam bentuk sel yang menari-nari mencari pasangannya hingga akhirnya menghasilkan sebuah kehidupan. Sangat analogis, bila Martin membandingkannya bagi sebuah sungai perawan, di hutan rimba yang ‘berenang’ dalam kebebasan, membiarkan dia terbentuk oleh sang Empunya kehidupan.
Tidak hanya itu. Di keheningan itu, pecahlah tangisan yang membawa gembira. Ia hadir di tengah sebuah misteri, yang hanya Dia yang punya hidup bisa memberi jawaban pasti.

Leave a comment