(10) ILE LEWOTOLOK ‘MURKA’ (Menjernihkan Pemahaman tentang Ritual Adat 13/1)

APAKAH RITUAL ADAT BISA MEREDAM  ‘MURKA’ ILE LEWOTOLOK?

(Mencermati Ritual Adat 13/1/21 di Puncak Ile Lewotolok)

Terhadap bencana alam mahadasyat seperti letusan Ile Lewotolok, terlihat ketakberdayaan manusia. Manusia lalu mereka-reka dan coba mengajukan alternatif solusi (seperti ritual adat) sekadar melerai murka alam.

Ritual adat 13/1 merupakan salah satu model tafsiran dan jalan keluar. Menurut penerawangan Bele Raya atau penguasa kampung, demikian Humanitarian Jurnal 16/1. letusan gunung merupakan ‘murka’ penguasa Ile Lewotolok atas perlakuan manusia membuka Kawasan puncak sebagai obyek wisata.

13 orang melakukan ritual adat di puncak Ile Lewotolok 13 Januari 2021 (sumber Legan TV) 

Tafsiran (atau lebih tepat penerawangan) sperti ini sah-sah saja. Kedahsyatan alam membuka aneka interpretasi. Tetapi upaya kritis mesti menjadi penyeimbang, hal mana menjadi maksud tulisan ini. Mengakui satu tafsiran saja sambil media (terutama online) secara serampangan memuat berita bisa memunculkan aneka tafsir yang bisa menjerumuskan.

Antropomorfisme

Memandang gunung, pohon, danau, laut memiliki kekuatan, bahkan bisa ‘bereaksi’ seperti manusia pada umumnya, secara sangat sederhana disebut antropomorfisme.

Antropomorfisme adlaah atribusi karakteristik mausia ke makhluk bukan manusia (hewan, gunung, matahari) yang bisa berpikir, berbicara, merasa, dan bereaksi seperti manusia. Jelasnya, alam atau hewan akan bereaksi (berbicara) mewakili jagat raya mengungkapkan ketidakberesan akibat perlakuan manusia. Pandangan seperti ini telah ada sekitar 40.000 tahun lalu.

Cara pandang seperti ini dianggap wajar dan diterima terutama di era masyarakat primitif. Mereka melihat dua kejadian yang terjadi hampir secara berurutan lalu menimpulkan bahwa kejadian sebelumnya menjadi penyebab untuk sesudahnya. Pembukaan jalan ke puncak Ile Lewotolok terjadi sebelum letusan gunung maka yang sebelumnya menjadi pnyebab atau yang dalam logika disebut sebagai fallacy atau kerancuan berpikir yang disebut sebagai Post hoc ergo propter hoc.

Salah satu ritual adaat gunung Merapi sebagai ilustrasi 

Korelasi seperti ini masih dianggap wajar ribuan tahun lalu. Perkembangan ilmu pengetahuan masih sangat rendah. Penyibakan rahasia alam dengan metode ilmiah masih jarang untuk mengatakan tidak ada. Tafsiran itu dianggap sesuatu yang wajar-wajar saja.

Namun apa yang terjadi 40 ribu tahun kemudian seperti kini dengan meletusnya Ile Lewotolok? Apakah letusan gunung terjadi karena pembukaan jalan ke puncak? Bila kita sejajarkan maka cara berpikir itulah yang terjadi. Ritual adat 13/1 dengan memberikan sesajen dianggap dapat melerai amukan Ile Lewotolok.

Yang jadi pertanyaan: apakah dengan ritus, ‘amarah’ Ile Lewotolok akan redah? Apakah pembuatan ritual adat yang hanya berjarak ratusan meter dari puncak tidak akan beresiko terhadap keselamatan nyata para ‘molan’ (dukun)? Atau, apakah Ile Lewotolok (atau gunung lainnya), ketika ada ‘amukan’ seperti ini, dengan menerima sesajen akan meredah’?

Pertanyaan ini tidak bermaksud menilai bahwa pembuatan upacara adat adalah sebuah kekonyolan. Itu adalah model tafsiran masyarakat sederhana terhadap fenomena alam. Tewasnya Mbah Maridjan pada 26/10/2010 mestinya menyadarkan bahwa kita perlu merevisi pandangan antropomorfistik yang masih kita miliki.

Kajian ilmiah sudah cukup untuk meyakinkan bahwa di satu pihak memang kita tidak menerima perilaku manusia yang tidak senonoh yang dipertontonkan secara vulgar terhadap alam. Tetapi tindakan itu tidak bisa dijadikan sebagai penyebab dari sebuah fenomena alam seperti letusan gunung. Letusan gunung merupakan sebuah aktivitas alamiah yang akan berjalan secara alamiah pula. Selagi kekuatan magma masih kuat dengan volume gas vulkanik yang masih banyak (seperti menjadi ciri erupsi eksplosif), maka letusan itu akan terus ada.

Letusan gunung itu kalau dianalogkan (meskipun analogi ini bisa dirasa tidak tepat) seperti seorang ibu hamil yang sedang menunggu saat untuk partus. Ia bisa berhenti cepat kalau melahirkan hanya satu anak. Tetapi untuk anak kembar (bahkan lebih dari dua), maka sang ibu masih akan terus mengeluarkan anak yang ada dalam rahimnya. Upacara adat, ritus, termasuk upacara agama pun tidak bisa dilakukan untuk menghentikan kelahiran (gunung meletus). Secara alamiah, rangkaian anak kembar masih akan keluar (bayangkan kalau fenomen anak kembar 5 sampai 7).

Menjernihkan Pemikiran

Penjernian model tafsiran seperti dihadirkan di sini sama sekali tidak merendahkan ritus adat. Adat sangat penting dalam menjaga warisan budaya yang berisi kebijakan yang merupakan hulu dari aneka norma. Tetapi di era modern, tafsiran adat perlu dijernihkan agar ia tidak dianggap sebagai tafsiran tunggal yang bisa menjerumuskan bahkan menelan korban karena tidak dikritisi.

Pada sisi lain, ritual adat yang dilakukan secara tepat dengan pemikiran yang jernih bisa ‘nyambung’ dengan generasi milenial kini. Mereka tidak bisa menerima sesuatu hanya karena biasa dilakukan tetapi membutuhkan penjernian. Di sana nilai-nilai ritual akan lekang waktu karena sanggup masuk dan diterima oleh setiap generasi pada masanya.

Peran seperti inilah yang diharapkan dari orang berpendidikan yang bisa menjernihkan pemahaman adat. Yang kita sayangkan, media (terutama online) begitu ‘vulgar’ memberitakan upacara adat. Ritual adat yang dilakukan saat larangan mengadakan aktivitas pada jarak 3 km adalah tindakan yang tidak bijaksana, terlepas dari apapun penerawangan siapapun termasuk Bele Raya.

Tapi kalaupun ritual adat yang dilakukan dan kemudian diikuti dengan meredahnya amukan gunung pun tidak bisa dijadikan kesimpulan bahwa ia berhenti karena ritual adat. Ia memang berhenti karena ‘persediaan’ lava dan gas vulkanik sudah habis. Jadi yang ada hanya kejadian selesainya letusan dan ritual adat memang terjadi secara berurutan tetapi yang sebelumnya bukan penyebab dari yang sesudahnya.

Pada sisi lain, upacara adat dan ritual apapun (termasuk ritual agama) tidak bisa dilaksanakan dengan membesar-besarkan ketakutan hanya demi mendapatkan ‘pertobatan’. Model seperti ini kerap merupakan pilihan yang sangat ampuk. Lihat saja, setelah sebuah bencana (seperti letusan gunung), rumah ibadah akan penuh. Orang merasa wajib beribadah karena dalam tafsirannya, bencana alam itu disebabkan oleh ketidakdisiplinan malah keengganan untuk beribadah.

Penuhnya rumah ibadah atau bahkan makin giatnya doa dan upaya melaksanakan upacara adat tentu saja baik. Setiap makhluk ciptaan perlu sadar bahwa ia berasal dari Tuhan pencipta semesta alam. Ia perlu terus bersyukur atas segala anugerah yang diterima. Tetapi peningkatan kuantitas ritual atau bahkan perubahan tingkah laku yang terjadi karena ketakutan tidak akan lama bertahan. Ia hanya dilakukan karena ketakutan bukan karena kesadaran.

Praksis agama dan adat dalam suasana seperti ini tidak mendidik. Orang hanya akan rajin ibadah dan raji melakukan ritual selama ada ancaman bencana alam. Setelahnya, ketika suasana menjadi aman, ritme hidup sebelumnya akan diulang lagi.

Penjernian cara berpikir terutama terhadap model antropomorfisme seperti ini sangat penting di saat-saat seperti ini. Kaum cerdik pandai yang diharapkan turut menjernikan pemikiran diharapkan lebih menghadirkan pemikiran yang menyejukkan. Tujuannya agar bencana alam tidak diperparah oleh kesalahan berpikir yang akhirnya bukan membantu tetapi malah menjebak.

Kembali ke Ile Lewotolok, ia ‘tidak murka’ seperti pemikiran antopomorfistik. Ia adalah bencana alam yang terjadi oleh ritme alam yang harus meletus. Yang perlu dilakukan manusia adalah meningkatkan solidaritas, saling membantu dan mengingatkan bahwa di tengah alam yang kian renta, ia rentan pada aneka bencana. Karena itu saling mengingatkan, saling berbagi ilmu, saling memperhatikan tanda-tanda alam adalah tindakan bijak yang sangat dinantikan. Kita pun berdoa atau membua ritual pun bukan karena mau melerai amarah ‘gunung’ tetapi kalau harus dilakukan, kita ingin melerai emosi kita yang kerap kurang sabar dan bijak menafsir fenomena alam.

Robert Bala. Pemerhati Sosial-Budaya. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid Spanyol.