Otonomi Pedagogis

OTONOMI PEDAGOGIS

(Bagian Akhir dari Dua Tulisan)

Batam Pos 2 Februari 2006

Ujiang Negara, bila akhirnya dilaksanakan, maka bakal dimajukan ke bulan April (17-19 untuk SMA, dan 24-26) untuk SMP. Sebuah penetapan yang tidak sedikitnya membuat stress, bukan saja siswa, tetapi juga orangtua dan guru. Di sini muncul pertanyaan: mengapa UN dilaksanakan? Bagaimana dengan amanat kurikulum 2006 maupun kurikulum sebelumnya, maupun UU Pendidikan No 23 tahun 2003 yang sangat menekankan kreativitas guru dan prakarsa pemerintah daerah dalam mengembangkan pendidikan?

Overlapping

UN, demikian pendapat pro dilihat sebagai momen mengukur mutu pendidikan secara nasional. UN karena itu dilihat sebagai sebuah keharusan. Dari sana kita dapat mengukur, sejauh mana wajah pendidikan kita. Apalagi ketika standar kelulusan itu dinaikkan dari tahun ke tahun. Sebuah tanda bahwa negeri ini sangat serius memperhatikan kualitas atau mutu.

Masalahnya, apakah konsep seperti itu tidak kontradiktoris dengan pelbagai kebijakan atau arah pendidikan sebagaimana tertera dalam kurikulum maupun UU Pendidikan? Mustahil bertanya demikian. Menurut Kurikulum 2006, guru diberi ‘keleluasan’ untuk menjabarkannya dengan memasukan aneka muatan lokal yang lebih cocok.

Itu berarti kreativitas guru sangat diandalkan. Melalui penelitian, refleksi pedagogis, penemuan dalam proses waktu, guru akhirnya menghadirkan sebuah perubahan yang  berpijak pada kebutuhan lokal. Masalahnya, apakah guru benar-benar siap? Apakah ia sungguh kompeten untuk menghadirkan sebuah penelitian? Apakah daya risetnya begitu kuat hingga menjadikannya begitu telaten? Bukan rahasia lagi kalau hanya ‘segelintir’ guru yang masih bisa bergaul dengan buku lain, selain buku pelajaran. Kalau demikian, bagaimaan ia dapat menghasilan pengembangan kurikulum?

Tetapi itu adalah pengandaian terburuk. Di negeri yang sangat besar ini, tidak sedikit terdapat guru yang berkualitas. Mereka punya komitmen terhadap pendidikan. Ada kesadaran untuk mengembangkan kurikulum sehingga lebih tepat sasar. Masalahnya, apakah pengembangan itu ‘tidak mengganggu’ (atau lebih tepat tidak diganggu) pelaksanaan UN? Inilah masalahnya. Guru yang kreatif, bakal berpikir dua kali sebelum akhirnya sadar bahwa kebebasan yang diberikan ternyata tidak sebesar bunyinya. Dalam kenyataan ia masih akan terpasung oleh UN. Dengan demikian, apabila memang ia kreatif, maka hal itu bakal hanya dilaksanakan dua bulan. Selebihnya ia bakal kembali ke ‘lagu lama’ untuk dapat ‘memantapkan’ siswa-siswi sehingga pada saat UN nanti mereka bisa ‘terampil’ menjawab soal-soal.

Demi dana………

Kesimpangsiuran dalam pendidikan, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari segi ‘dana’. Mengadakan perubahan, tidak bisa tidak harus ‘memakan korban’. Dalam konteks ini, UN, adalah sebuah momen penuh berkah. Bayangkan saja kalau anggaran untuk UN SMP dan SMA setiap tahun mendekati 250 miliar. Sebuah angka yang sebenarnya masih terlalu rendah, bila akhirnya anggaran pendidikan 20% benar-benar terealisir. Jelas, menghilangkan UN, berarti mengilangkan berkah di akhir tahun. Dan mengapa tidak? Dinas terkait bakal ‘berkongkalikong’ dengan pengusaha penghasil/distributor kertas, tinta, untuk terlibat dalam proyek ‘gemuk ini’. Tidak sedikit percetakan daerah dilibatkan. Kemudian, dibuat ‘sandiwara’ seakan bahan itu dikirim dari Jakarta. Padahal (demikian menurut informasi yang dapat dipercaya), bahan dikirim dalam bentuk file dan dicetak di tiap provinsi.

Pemikiran seperti ini kalau memang ada, merupakan ekspresi kepicikan dalam pendidikan. Tuntutan agar menjadikan pendidikan sebagai basis menempa generasi mendatang sehingga menjadi lebih siap dan kompetitif dalam dunia yang semakin mengglobal, telah menjadikan bangsa ini sadar bahwa anggaran pendidikan perlu ditambah malah hingga menjadi seperlima dari seluruh APBN. Luar biasa. Sayangnya, tuntutan itu, ternyata dengan mudah dimanipulasi. Sudah terlintas di benak para sesepuh negeri dalam bidang pendidikan untuk mengalokasikan dana demi pelaksanaan UN, yang katanya dilaksanakan demi meningkatkan mutu pendidikan. Di sini sekali lagi tujuan jangka pendek, maksud terselubung lebih memikirkan ‘bagaimana memanfaatkan dana’ ketimbang menghasilkan strategi yang lebih jitu untuk menghasilkan generasi mendatang yang lebih siap.

Kembali ke Proses

Lalu bagaimana keluar dari dilema pendidikan kita? Pertama, kembali ke amanat kurikulum dengan memberikan otonomi pedagogis kepada sekolah. Guru, dengan segala kekurangan dan kelemahan, bila diberi ruang gerak untuk berkreasi, ia bakal lebih tenang dalam merancang pengajarannya. Sejak awal tahun, melalui pembuatan Program Tahunan, ia sudah mengalkulasi alokasi waktu, materi dan sasaran, serta aneka muatan lokal yang menurutnya menjadi bagian inheren dari program pendidikannya. Sebaliknya, otonomi ‘akal-akalan’ dimana di atas kertas diberikan otonomi tetapi pada saat yang sama dilaksanakan ‘UN’ maka hal itu akan sangat meragukan masa depan pendidikan kita.

Kedua, prakarsa dan inisiatif guru perlu diarahkan oleh tenaga ahli yang kompeten. Dalam konteks ini, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) perlu diberdayakan dengan kehadiran ahli yang memberikan orientasi tentang arah pendidikan. Dalam konteks ini, para pengawas di Dinas Pendidikan, perlu orang-orang ahli, konseptor, pemikir, dan bukan orang yagn coba mengisi kekosongan. Orang speerti itu, hanya akan begitu lincah membawa aneka ’CD’ yang berisi kurikulum dari pusat, dan menjadi ‘pembicara’ lincah menyampaikan amanah dari atas, tetapi sama sekali tidak punya konsep tentang pendidikan lokal.

Kenyataannya, kita masih sangat jauh dari harapan. Sertifikasi guru yang diupayakan menjadi medium ‘pembelajaran’ kembali bagi para guru untuk lebih siap, dalam kenyataannya masih menyimpang kebingugan. Selain itu, para pegawai dinas pendidikan, masih menjadi ‘anak manis’ yang coba taat pada pusat, sambil kehilangan kreativitas pedagogis.

Ketiga, guru perlu ‘dibuat tenang’ untuk dapat berkonsentrasi pada pengembangan pendidikan. Ia harus memberikan seluruh dirinya terhadap proses pendidikan. Pikirannya tidak bisa ‘terbagi-bagi’ mencari-cari les tambahan di luar rumah, hanya karena ‘dapurnya’ tidak mengepul. Kenyataan memang tidak terjadi demikian. Kesejahteraan guru masih di bawah tuntutan minimal untuk sebuah kehidupan yang baik. Karenanya tidak ada pilihan selain mencari ‘partai tambahan’ di luar rumah yang kadang-kadang hasilnya lebih ‘aduhai’. Karena itu tidak sedikit guru yang menanggapi perubahan kurikulum dengan perasaan skeptis. Atau, supaya tidak didepak, mereka ‘terkesan’ profesional dengan membuat silabus yang disertai muatan lokal. Padahal itu semua hanya persyaratan administratif. Apa yang dilaksanakan di atas kertas, jauh dari realisasi.

Keempat, perlu peran serta orang tua. Kenyataan, tidak sedikit gebrakan dalam pendidikan bakal terjadi ketika semua orang tua bersatu. Aneka protes, demonstrasi, menuntut dibubarkannya UN akan membuat pemerintah berpikir. Apalagi, SBY-JK, terkenal ‘sensitif’ dalam menanggapi aneka demo dan kritikan. Dengan demikian, wajah angker UN tidak menjadi momok yang merusak pendidikan itu sendiri.

Orangtua juga perlu menyadari bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Karena itu, mereka tidak perlu terlalu cemas mencari model pembelajaran ‘instan’ yang kini begitu marak melalui bimbel atau ‘les-lesan’. Kecemasan seperti itu hanya akan memberikan tempat terhadap UN dan memberi dukungan terhadap pemerintah karena mereka lihat, betapa orangtua cemas dan mempersiapkan UN.

Robert Bala. Staf Pengajar “Bahasa Spanyol’ pada Universitas Trisakti Jakarta.

Staf PT Karya Sejahtera Semesta (Outsourcing).

Leave a comment