MENYIKAPI EUFORI PALSU ‘MEDSOS’ DALAM PILKADA LEMBATA

MENYIKAPI EUFORI PALSU ‘MEDSOS’ DALAM PILKADA LEMBATA

Beberapa saat menjelang pilkada, saya membaca beberapa postingan di media sosial. Ada yang cukup ‘anteng’, ‘tenang’, dan penuh kebijaksanaan. Tetapi ada yang terkesan ‘liar’, bukan saja tidak sopan tetapi dengan bahasa yang begitu menggelikan. Sebuah group yang menamakan dirinya ‘DELTA’ (Demokrasi Ala Lembata) menghadirkan tidak jarang cacian dan bahasa binatang.medsos4

Bukan maksud saya membahas salah satu group medsos. Sebagai pengamat atau barangkali lebih tepat pemerhati media (demikian saya menamakan diriku), saya merasa perlu membagi sharing. Tinggal seminggu lagi, postingan perlu dibaca dan dimaknai secara bijaksana. Minimal menyadarkan bahwa apa yang ditulis belum tentu mewakili sebuah kebenaran.

Eufori Palsu

Apa yang terjadi ketika membaca media penuh provokasi yang menguntungkan satu (paslon) pihak dan merugikan orang lain? Secara alamiah, orang yang merasa ‘diuntungkan’ akan tergerak untuk membacanya. Minimal ia akan terhibur karena orang yang ia jagokan, disanjung juga di dalamnya.medsos1

Pertanyaannya: siapa yang menyanjung? Apakah sanjungan itu datang dari orang yang netral atau justru datang dari timses? Apabila berasal dari orang netral sudah pasti ia menggunakan bahasa yang santun dan bersifat mencerahkan. Ia akan memberikan pendapat secara seimbang, dengan memberikan pertimbangan dari dua sisinya.

Tetapi hal itu berbeda kalau ‘ciutan’ itu berasal dari paslon. Ia akan menekankan pada keterlibatan perasaan. Yang dikemukakan adalah apa yang ia ‘pikirkan’ dan berusaha untuk memengaruhi orang lain. Data dan fakta dipinggirkan. Ia sekedar memberikan apa yang ia rasakan dan bukan kenyataan ilmiah.

Dalam sebuah postingan misalnya saya membaca: “Di kecamatan ‘anu’, paket A 100%, lainnya 0%. Hal itu terjadi di kecamatan B juga paslonnya 100% dan lainnya 0%. Rasanya terlalu bombastis. Atah menampilkan sebuah foto dengan seorang kandidat meletakkan kakinya di atas meja. Sebuah foto yang secara logis tidak bisa dilaksanakan oleh siapapun, sejauh ia masih waras. Artinya, tidak langsung berpikir bahwa foto itu bisa saja merupakan rekayasa. Sialnya, karena bertujuan menjerumuskan orang lain, maka dengan cepat diberikan komentar dan dijadikan ‘tagline’ dalam postingannya.

Ada hal yang lebih menggelikan lagi. Sesudah menderetkan makian yang begitu membuat bulu kuduk berdiri karena begitu vulgar menyebut sampai ‘alat kelamin’, si pendukung langsung menitip pesan di akhir posingannya: “jangan lupa pilih paket C” dan lain-lain.

Yang jadi permasalahan, sejauh mana berita ‘murahan’ itu bisa dipercaya? Tidak hanya itu. Apa yang terjadi ketika berita yang ‘murahan’ itu mendapatkan respons dari tidak sedikit pembaca? Sebenarnya sedikit banyaknya respons tidak menjadi ukuran. Kembali ke masalah yang di atas, sudah pasti, orang yang ‘sepaham’ akan lebih tergoda untuk memberikan komentar yang sama. Dengan demikian raingkaian komentar itu pada umumnya berasal dari sesama pendukung.medsos2

Di sana mereka ‘bergembira’, ‘berteriak’, dan tenggelam dalam eufori, tetapi lupa bahwa apa yang menjadi kesenangan itu artificial belaka. Mengapa? Karena pembaca yang kritis akan diam. Mereka adalah ‘silent majority’ yang diam sekaligus memilih mundur entah dengan tidak memberi komentar hingga mundur untuk tidak memilih orang yang dijagokan.

Yang paling disayangkan, eufori palsu itu justru membuat orang tidak kritis. Kelemahan diri timses hingga paslon itu sendiri tidak disadari. Mereka terlalu berbangga diri dengan kelebihan sehingga lupa menyadari bahwa apa yang dilakukan justru merugikan diri sendiri. Rugi karena di satu pihak mereka bergembira di atas perlakukan ‘najis’ yang dilakukan tetapi juga karena orang yang netral akan mundur dari perbincangan yang tak sehat itu.

Percaya

Semestinya tinggal seminggu pilkada, tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan. Trik yang dilaksanakan niscaya memberikan dampak yang luar biasa. Dengan demikian apa yang mestinya dilakukan dalam kondisi seperti ini?

Pertama, media sosial perlu menjadi lebih ‘anteng’ dan tenang. Ibarat masa inkubasi ide, waktu seminggu mestinya diisi dengan permenungan yang lebih menyejukkan. Mengapa? Begitu banyak berita (bohong) yang dilansirkan telah memunculkan kejenuhan. Hal itu sudah melewati batas toleransi yang wajar.

Dengan demikian media sososial akan menarik kalau dihadirkan dalam kondisi yang mencerahkan. Kata-kata bijak yang menenangkan dan menyejukkan akan mudah diterima dan siapa tahu kebijaksanaan itu justru dianggap sebagai cerminan dari paslon yang diajukan.

Kedua, medsos perlu terbuka untuk melihat kekurangan diri dan keunggulan lawan. Dalam setiap pelaku medsos perlu menyadari bahwa dari 5 paslon, kemungkinan untuk menang masing-masing hanya 20% saja. Hanya ada satu kandidat dari 5 paslon yang akan menang. Sebaliknya kemungkinan untuk kalah lebih besar.

Dengan demikian pada proses ini tidak ada salahnya ketika pelaku medsos terbuka melihat keunggulan lawan dan mengakui kekurangan diri. Pemahaman ini akan menjadi ‘persiapan’ menerima kenyataan yang akan terjadi. Dengan demikian ketika gembira ia tidak tenggelam dalam eufori berlebihan. Tetapi ketika kalah, ia tidak patah semangat sambil memersalahkan orang lain.

Ketiga, medsos yang terbuka seperti ini akan terlihat lebih ‘anteng’ pasca penghitungan sementara suara. Dengan cepat ia akan menerima kenyataan entah sebagai pemenang atau sebagai pihak yang kalah. Jelasnya, ia tidak akan memperpanjang dukau dengan melansirkan ungkapan curiga terjadinya manipulasi.

Manipulasi bisa saja terjadi. Tetapi dengan membesar-besarkan manipulasi, secara psikologis, orang yang kalah sama sekali tidak akan mudah bangkit. Ia hanya sekedar mempersalahkan orang lain dan ia kembali terjatuh dalam kekecewaan dobel. Ia sudah kalah tetapi masih juga tidak mau berdiri.

Hal ketiga ini merupakan hal yang nyaris terpikirkan, malah orang tidak mau berpikir. Terlalu mengangankan kemenangan (palsu) menyebabkan yang ada dalam pikiran adalah merayakan kemenangan dengan harga berapapun. Secara logis bisa dibenarkan, tetapi ia tidak realistis. Perjuangan apapun memang baik adanya tetapi orang perlu terima kenyataan bahwa tidak semua orang akan mencapai kemenangan. Hanya ada satu orang dalam pertandingan ini yang akan keluar sebagai pemenang. Yang lain, harus menerima kenyataan.medsos3

Keempat, meningkatkan rasa percaya. Medos perlu membangkitkan optimisme dan kepercayaan. Perlu ada sikap untuk membangun sebuah harapan yang riil. Sebuah harapan yang didasarkan pada fakta agar tidak menjadi harapan kosong.

Tetapi juga perlu percaya. Percaya bahwa dari kelima paslon, semuanya adalah putera dan puteri terbaik Lembata. Mereka telah melewati proses seleksi, telah susah payah keliling Lembata, dan sudah begitu banyak mendengar keluhan dan harapan dari masyarakat.

Itu berarti siapapun terpilih harus diberi kepercayaan. Kita percaya bahwa dalam 5 tahun ke depan, senang atau tidak senang, dia yang akan memimpin. Dengan segala kekurangan dan kelebihan (seperti manusia pada umumnya), mereka yang mempin. Dengan demikian tidak bisa kia mengambil jarak atau asal mengkritik hanya karena dia yang sukses ‘dicurigai’ ‘ini’ dan ‘itu’. Ia pun manusia biasa (sama seperti kita) yang bisa dicurigai tetapi perlu juga diberi kesempatan untuk memimpin (kalau Tuhan yang menghendaki dia menang, sedikit mengatas namakan Tuhan hehehe).

Intinya, medsos di Lembata perlu memainkan peran cerdas. Ia harus beralih dari aneka sajian murahan dan palsu yang membuat eufori palu tetapi kembali realistis. Di sana kita menerima untuk menang tetapi juga lupa menerima kekalahan dan bertekad bahwa siapapun yang menang adalah pilihan terbaik untuk lewotana.

Robert Bala. Pemerhati Media. Diploma Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian Fakultas Ilmu Politik Complutense Madrid.