“CERDASNYA’ SI (biangke)LADI

 

“CERDASNYA” SI (Biang Ke)LADI

Di jejaring sosial, seorang nasabah yang barangkali juga pengagumg Niko Ladi, si pemilik Mitra Tiara, menulis berikut ini dengan bahasa Facebook: “emang sya punya om mau bayar…tpi kalian stop omg dy px nama biar dy mau plg…dy artis baek u omg..” (Memang saya punya om mau bayar., tapi kalian stop omongin dia biar dia mau pulang. Dia artis baik untuk omong”.

Ungkapan polos yang bisa saja mengungkapkan keikhlasan dan keinginan luhur. Tapi juga bisa saja mengungkapkan ketidaktahuan. Nasabah yang merupakan sebagian besar masyarat, sangat ‘polos’ saat menyimpan uangnya, tanpa dugaan akan terjadi seperti kini.niko ladi

Hal ini memunculkan pertanyaan: apa sebenarnya yang terjadi di baliknya? Apakah itu karena ‘kecerdasan’ superlatif alias luar biasa dari si “Ladi”, ataukah ada biang keladi lainnya yang mesti ikut bertanggungjawab?

Harapan sia-sia

Mengharapkan agar uang yang disimpan dapat dikembalikan adalah keinginan yang wajar. Ada niat tulus menyimpan dana tersebut yang bisa saja bukan saja milik pribadi tetapi milik kelompok, kegiatan arisan, Anggur Merah, dan bisa saja dana gereja (siapa tahu).

Semuanya ‘termakan’ dengan janji 10%, dan memang ada yang sudah merasakan ‘manfaatnya’. “Torang tinggal goyang kaki po, … Ktorang sudah rasakan manfaatnya”, demikian pengakuan nasabah lama yang memang sudah menikmati hasilnya.

Dengan menggunakan sedikit saja pikiran logis, sebenarnya proses di atas sudah bisa diterka. Dalam 10 bulan, seorang nasabah sudah ‘selesai’ memakan dirinya yang ia sebut bunga itu. Setelahnya, yang membuatnya bertahan karena sesudahnya, ia bisa memakan nasabah baru yang semakin banyak.

Yang menarik, bahkan nasabah lama karena ‘ketagihan’, akhirnya terus menambah tabungan. Dalam waktu dekat angka mencapai miliaran, bahkan (kalau tidak tersibak pada September lalu), MT sudah menjadi lembaga dengan triliunan rupiah.

Permasalahan muncul  ketika ternyata proses itu bolong. Pemerintah Daerah yang semestinya menangkap hal aneh ini bahkan diam (bisa saja karena tidak sedikit pejabatnya juga ikut menikmati). Tidak terdeteksi sedikit pun keanehan. Memang ada nasehat dari petinggi pemerintah agar ‘berhati-hati’, tetapi apa artinya nasihat itu ketika rakyat sudah ‘dimabuk’ bunga tinggi.

Mengikuti proses di atas maka tidak bisa diharapkan adanya pengembalian uang nasabah. Meskipun si Niko Ladi cukup cerdas dan bisa ‘bermain valuta asing’, tetapi itu tidak seberapa. Belasan atau puluhan miliaran, bisa saja. Tetapi itu tidak seberapa dengan dana yang sudah ‘dikembalikan’ ke nasabah dalam bentuk bunga. Logisnya, uang itu mungkin saja proporsi kecil (puluhan miliar) ada pada si (biangke)LADI. Tetapi sebagian besar untuk tidak mengatakan semuanya, sudah dikembalikan dalam bentuk bunga.

Mati Perlahan

Apa yang menjadi akar tragis dalam semua proses yang berakhir pada kehampaan seperti yang terjadi kini? Tentu kita tidak mempersalahkan orang lain, kalau hal ini bersifat ‘bebas’, tidak ada ‘paksaan’ siapa pun untuk menabung di MT.

Tetapi mengurai ke belakang, maka semua proses itu bisa saja memiliki akar yang harus diakui berkaitan satu sama lain. Pertama, kegandrungan masyarakat menyimpan uangnya dengan mimpi menjadi ‘jutawaran’ merupakan faktor penting. Masyarakat terlalu ingin kaya sesaat dengan cara pintas.

Tetapi nasabah tidak bisa dipersalahkan. Keadaan ekonomi jadi alasannya. Pertanyaannya, mengapa bisa demikian padalah para pemimpinnya dalam siklus pemerintahan, telah menjanjikan kesejahteraan? Yang pasti, biaya politik mahal. Si politisi yang sudah ‘goal’ masih sibuk mengembalikan pinjaman saat kampanye dulu, akhirnya rakyat ditelantarkan.

Kedua, minimnya pengawasan pemerintah. Keanehan dalam pemberian bunga yang sangat tinggi sebenarnya sudah menjadi indkator bagi pemerintah daerah agar segera ‘menutup’ MT. Bayangkan saja. Kalau nasabah menyimpan 400 miliaran maka setiap bulan dibutuhkan 40 miliar untuk membayar bunga. Pertanyaannya: usaha apa di Flores yang begitu ‘rentable’ sehingga mendatangkan keuntungan begitu besar?

Jawagannya jelas tidak ada. Yang ada dan memungkinkan keuntungan besar hanya  investasi bodong, hal mana MT merupakan contohnya. Sayangnya, hal ini tidak dianggap berada di bawah tanggungjawab pemerintah. Paling kurang dengan kecerdasannya yang lebih (itulah alasannya kita memili mereka), dapat membimbing sehingga tidak terjadi seperti sekrang ini.

Yang terjadi, mereka hanya berbuat secara standar, artinya sejauh tidak melanggar aturan dan sesuai peraturan. Yang dibuat adalah memberikan izin, akte pendirian kepada MT, sejauh itu tuntutan formal dan tidak melanggar aturan.

Di sini bisa dimengerti, ketika datang surat dari Otoritas Jasa Keuangan melalui surat: No S-525/PM-04/2013 dan Kementrian Koperasi dan UKM (1270/Dep 2.5/IX/2013), pemerintah daerah terkejut. Tidak disangka, hal itu merupakan ‘masalah’, dan tentu tidak dipersalahkan karena telah melakukan apa yang dituntut (jauh dari kecerdasan dan tanggungjawab yang lebih luas).

Ketiga, kendala di atas tentu hanya merupana ekses luar, tetapi hal itu tidak akan terjadi tanpa ada insiator dari sang pendiri, Niko ladi. Ia tak pelak menjadi ‘biang keLADI’ utama dalam proses ini. Kecerdasannya dan pengalamannya bekerja di perbankan sebelumnya dan pengenalan akan realitas masyarakat, telah membuatnya ‘sangat cerdas’ dalam menangkap peluang.

Ia mengenal, masyarakat Flotim terutama dan Flores pada umumnya terkenal sangat hemat dan kuat menabung. Banyak yang tersimpan di bank, tapi dengan bunga kecil.  Hal itu belum terhitung dana bersama yang tersimpan di ‘bawah bantal’. Uang inilah yang adalam waktu singkat terserap di LKF Mitra Tiara: 400 miliaran rupiah, sebuah angka fantastastis, malah bisa menjadi Rp 1,7 triliun dengan bunga.

Kecerdasan si (biangke)ladi tidak sampai di situ. Oleh kelincahannya dan ‘kedermawanannya’ ia sanggup juga meluaskan pengaruhnya hingga ke tokoh masyarakat dan tokoh agama. Dalam waktu singkat dana dari mesjit dan gereja terkumpul dengan berkat dan dukungan kaum berjubah.

Semuanya belum cukup kalau tidak disertakan dengan strategi bisnis mendirikan hotel (katanya bintang lima) yang kalau pun jadi, tentu saja keuntungannya tentu tidak bisa mencapai miliaran. Jutaan saja tentu sulit. Tetapi kalau itu pun terjadi, taktik licik belum cukup. Siapa kira kalau biaya pembangunan itu diperoleh dari sistem ‘tabungan’. Artinya biaya pembangunan dihitung sebagai ‘tabungan’. Jadinya, si pemilik tidak mengeluarkan apa-apa selain ‘buku tabungan’ sebagai ‘jaminan’.

Kelicikan tidak sampai di situ. Ketika semua kebohongan dan pembodohan itu terjadi dan ketahuan, ia tidak kehabisan akal. Janji akan mengembalikan dana membuat harapan masyarakat itu terus muncul. Lihat saja, dari Oktober, November, Desember, Januari, dan katanya lagi Maret. Nasabah dibuat berharap, sementara ia berada di luar dengan maksud yang tentu saja tidak masuk akal.

Di sana rakyat dibaut berharap. Tetapi kalau pun harapan itu tidak terwujud, bagusnya, si (biangke)Ladi sudah menyiapkan ‘soft landing’. Artinya, nasabah tidak dibuat ‘terkejut’ sekaligus yang bisa berimbas kepada dampak yang lebih luas. Ia buat mereka ‘mempersiapkan’ tragedi yang kini datang perlahan. Meski demikian, semestinya ‘soft landing’ itu lebih kejam, seolah-olah orang mati perlahan. Kejam.

Terhadap proses di atas, tentu konklusinya jelas. Derita itu tidak mesti diperpanjang kalau segera ditindaklanjuti dengan proses pengadilan penangkapan. Tidak perlu lagi ‘tawar-menawar’, apalagi dilakukan oleh nasabah ‘luar biasa’, untuk paling kurang mendapatkan kemblai uangnya, sementara nasbah lainnya dibiarkan ‘rugi’ sama sekali. Tindakan tak elok karena ibarat sudah terjatuh, kini tangga masih juga menindih mereka.Mitra-Tiara

Pada gilirannya, proses di atas sekaligus disertai dengan sebuah tekad kembali, baik nasabah maupun pemerintah, agar pengalaman ini dijadikan pembelajaran luar biasa, sambil kita berharap, agar tidak lagi muncul pribadi lain yang atas nama janji muluk, memerdayai masyarakat. Lebih lagi, tentu sangat kejam karena penderitaan itu disebabkan oleh orang sendiri: pemerintah sendiri dan sesama sendiri seperti Niko (si biangke)Ladi.

Robert Bala. Pengamat Masalah Sosial. Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Kolumnis pada Harian Kompas.

Flores Pos Januari 2014

Leave a comment