Kecelakaan Homiletis

Kecelakaaan” Homiletis

Mingguan Hidup Januari 2010

DI HARI NATAL 26 Desember 2009, di sebuah paroki elit di pinggiran Jakarta (Tangerang) ada sebuah kejadian yang ‘menarik’ pada saat khotbah. Seorang pastor muda, yang memimpin ekaristi Hari Natal, dengan semangat ingin memberi ‘warna’ lain dari homilinya dengan mengundang sebuah keluarga untuk berdialog.

Setelah ditunggu beberapa saat, akhirnya sebuah keluarga ‘merelakan diri’. Sang ibu yang lagi hamil, ditemani suami, dan anak mereka berumur 2 tahun. Pastor pun mulai ‘interview’. Kapan anak itu lahir dan mengapa tidak direncakanakan agar lahir pada saat Natal. Sang ibu, dengan tersipu mengatakan, itu adalah sebuah ‘kecelakaan’. Pada awalnya tidak direncanakan.

Mendengar itu, pastor pun yang tidak menyangka jawaban (sepolos) itu mulai mempertanyakan mengapa dilihat sebagai ‘kecelakaan’. Arah homili pun menjadi kabur. Ada nasihat-nasihat yang praktis, tetapi kelihatan tidak punya kaitan sama sekali dengan bacaan hari itu “Sabda Menjadi Daging”. Ia malah sempat menyentil  KB Alamiah, pentingnya mengekang diri, dan beberapa konsep lain yang diambil secara acak.

“Pendengar Terbatas”

‘Nuansa demokratis’ dari Konsili Vatikan II, membawa pengaruh dalam homili. Kesadaran bahwa ciri monologis yang selama ini menjadi ciri dari homili perlahan diberi elemen dialogis. Orang pun mulai ramai-ramai menjadikan homili secara lebih ramah dan dialogis.

Dokumen remis gereja tentang hal ini terdapat dalam Direktorium Misa dengan Anak-Anak tahun 1973. Di sana ditekankan pentingnya menerapkan dialog. Pada bagian lain, disebutkan bahwa dalam komunitas kecil, ha ini akan menjadi efektif, demikian Casiano Floristan, dalam Teologia Practica, 1988.

Penekanan ini sebenarnya sudah cukup jelas.  Anak-anak yang masih polos dengan jawaban yang sebenarnya sudah bisa ‘diantisipasi’, sangat mudah menerapkan hal itu. Mereka dapat ‘digiring’ untuk menemukan jawaban yang sudah disiapkan oleh pengkhotbah. Selain itu, dalam komunitas kecil, dimana semua peserta ‘sederajat’ dalam mengharingkan pengalaman, akan mudah diarahkan agar bersumber pada bacaan Injil, mereka dapat menemukan mutiara berharga.

Itu berarti, sangat riskan menerapkan homili dialogal pada perayaan ekaristi ‘massal’. Ia akan menjadi hambar bahkan tak terarah, ketika jawaban yang muncul sangat berada di luar dugaan seperti yang terjadi dalam perayaan ekaristi Natal itu. Hal yang bisa adalah menyiapkan orang terlebih dahulu. Umat yang akan tambil memberikan kesaksian tentang pengalaman imannya. Tentu saja, hal ini sudah disampaikan terlebih dahulu.

Hal ini sangat nyata dalam dunia televisi. Wawancara atau kesaksian bisanya sangat ragam. Bila ingin mendengarkan kesaksian orang, biasanya bersifat siaran tidak langsung. Hal itu diikuti dengan ‘revisi’ agar hanya menampilkan hal-hal yang mendukung. Kadang-kadang ada elemen kontradiktif tetapi sengaja ditampilkan sebagai bagian kecil. Akhir dari dialog diarahkan pada sebuah tema yang sudah diantisipasi.

Dialog Interior

Dialog dalam homili tidak berarti ditiadakan sama sekali. Ia harus menjadi bagian dari setiap homili. Tetapi, dialog yang dimaksud tidak bisa dipahami secara hurufiah dengan memanggil orang secara spontan untuk maju ke mimbar. Hal itu kelihatan sangat ‘demokratis’ dan ‘merakyat’ karena umat juga ‘berbicara’ dalam homili. Tetapi risiko seperti yang terjadi di hari Natal itu bisa saja muncul.

Dialog yang dimaksud harus bersifat interior. Artinya, tanpa harus memanggil orang untuk meju ke depan, pengkhotbah yang tentu saja sangat ‘dekat’ dengan umat bahkan mengalami secara nyata realitas umat, menemukan butiran refleksi hasil pergulatan bersama. Ia mengangkat hal itu dalam homilinya. Umat pun yang mendengar hal itu merasa terwakilkan. Ia mengalami bahwa apa yang dialami kini diangkat dan diabahasakan dalam homili.

Di sini menjadi jelas, bahwa yang umat kehendaki adalah sebuah refleksi yang kerigmatis, demikian Luis Maldonado dalam El Menester de la Predicacion. Artinya, pergulatan umat diangkat dan selanjutnya ditemukan tentang apa yang Tuhan sedang buat di dalam diri umat. Pengkhotbah membuka mata bahwa ‘Tuhan ada” (immanuel). Ia tidak asing dan menjauh dalam penderitaan, tetapi justeru hadir dan berjuang. Umat pun merasa kuat untuk melanjutkna perjalanan. Deritanya tidak dianggap sebauh sebuah ‘halangan’ melainkan kesempatan untuk terus melanjutkan perjuangan itu.

Yang terjadi justeru lain. Begitu banyak khotbah lebih bersifat moralis. Umat yang sudah hadir di Gereja dengan aneka beban, masih ditindih lagi dengan anjuran-anjuran moralistik. Homili pun tidak membahasakan apa yang Tuhan sudah kerjakan dalam diri kita sebagai manusia melainkan apa yang harus dikerjakan umat dalam dirinya. Beban pun menjadi tinggi.

Pada sisi lain, penekanan akan apa yang harus dibuat tentu saja bersifat monologis-vertikal. Sang pengkhotbah akan menyampaikan secara ‘sepihak’ apa yang harus dikerjakan. Dan seperti biasa, sebuah bahasa yang bersifat ‘atas – bawah’ ketiadaan daya gugah. Ia mengatatakan hal-hal yang barangkali saja sangat bagus, tetapi ketiadaan daya gugah untuk mendorong perwujudan dalam perbuatan.

Tidak hanya itu. Dalam dunia yang semakin sekuler, dimana elemen ‘rohani’ kian absen tetapi kerinduan akan kebermaknaan hidup semakin tinggi, tidak ada pilihan ketika homili itu mendarat dalam dialog interior. Di sana, orang disapa dengan kata-kata penuh ramah tamah yang tentu saja menggairahkan hidup, Lord Byorong (1788-1824): Keep thy smooth words and juggling homilies for those who know thee not.

Bila homili seperti ini, perayaan ekaristi kita akan menjadi lebih bermakna dan tidak perlu cedera oleh ‘kecelakaan’ yang tidak perlu.

Robert Bala. Pemerhati Homili

Leave a comment