MENGAPA JONAN DAN BASWEDAN?

Mengapa Jonan dan Baswedan?

‘Resuffle’ kabinet pada 27/07, dengan pergantian 8 Menteri diganti dan 4 pindah posisi, tentu saja telah melewati pertimbangan yang matang nan bijak. Ada harapan bahwa sang pengganti akan lebih baik dari yang digantikan.JONAN IGNATIUS4

Tetapi beberapa kalangan justeru mempertanyakan figur inspiratif. Sebut saja Anies Baswedan dan Ignatius Jonan yang cukup populer di NTT. Jonan malah langsung digulirkan secara spontan oleh beberapa kalangan untuk jadi calon gubernur NTT. Sebuah harapan yang tentu tidak sia-sia. Baswedan dikategoriakn figur muda memesona. Bahkan tersebar kabar, ia bakal jadi ‘gangguan’ bagi Jokowi di 2019, saat pilpres.BASWEDAN3

Lalu mengapa dua figur inspiratif ini didepak dari kabinet?

Kalah Cepat?

Kepemimpinan di tengah sebuah bangsa dengan problematika nan menggungung, tidaklah mudah. Dari mana harus memulai, mana yang menjadi prioritas, dan siapa yang harus menjadi pelaksana serta sasaran yang mau dicapai, antara lain menjadi pertanyaan yang mengindikasikan kegalauan serius.

Hal ini tentu berpengaruh terhadap target pencapaian maksimal dan optimal seperti yang mau dicapai. Secara umum, apa yang dicapai tentu saja baik. Malah dalam arti tertentu, apa yang dicapai keduanya melampaui banyak menteri lain (sebut saja Puan Maharani dan Sofyan Jalil) yang kali ini tidak dapat giliran ‘diganti’. Mereka itu tidak ‘tesentuh’ resuffle, bukan karena kompetensi personal tetapi justeru menjadi menteri yang begitu mengidentikkan orang yanga ada di baliknya.JONAN IGNATIUS`1

Di sini kesan ‘like’ dan ‘dislike’ bisa saja sangat menjadi alasan utama. Profesionalisme presiden seakan dipertanyakan. Dalam kasus Mendikbud, inilah salah satu kisah yang nyaris terjadi dalam aneka resuffle dalam kepemimpinan presiden yang sama. Baru kali ini, seorang mendibud diganti di tengah jalan. Padahal selama 20 bulan, aneka landasan telah disiapkan dan menunggu ‘timing’ untuk eksekusi aneka kegiatan.

Lalau apakah asumsi seperti ini benar? Terlampau sederhana ketika mengaitkan dengan pilpres 2019. Yang terjadi, pergantian kini tentu saja berkaitan dengan irama kerja sang presiden dan kecekatan sang pembantu (menteri) dalam menginterprestasi dan mengaktualisir dalam kebijakan.BASWEDAN1

Penegasan Presiden dalam pelantikan 28/07 bahwa hanya ada visi dan misi Presiden / Wapresi dan tidak ada visi dan misi Menteri mengindikasikan bahwa menteri ada untuk presiden. Dengan demikian, ketika sang komandan sudah mengatakna ‘ya’ atas sesuatu dan telah pasang layar siap berlayar, maka sang menteri harus beberapa langka antisipatif di depannya.

Tentu saja itu tidak berarti secara terburu-buru dan menabrak aturan. Yang ada, aturan mestinya diutamakan tetapi aturan ada untuk pemerintah dan bukan pemerintah ada untuk aturan. Langkah cepat inilah yang harus dilakukan. Sebaliknya berhenti pada aturan sebagai kendala, akan memunculkan kesan bahwa telah terjadi pelambatan. Malah sang menteri bisa saja tidak ‘sejalan’ dengan sang ‘komandan’ (presiden).

Di sini hemat saya menjadi alasan di balik pencopotan Jonan. Masalah kereta cepat Jakarta-Bandung yang terkendala pada perizinin menhub, adalah hal yang benar adanya. Menteri tidak bisa meanbrak aturan, hal mana sangat disadari Jonan. Ia tidak mau sekedar ‘beo’ yang melompat aturan. Ia butuh proses. Pada sisi lain, Kartu Indonesai Pintar (KIP) mesti secara berani diimplementasikan secara masif dengan bahaya tidak efektif. Tetapi dalam dua contoh di atas, terkesan langkah progresif itu tidak terukur dengan jelas.JONAN IGNATIUS3

Tidak hanya itu. Dalam kaitan dengan menteri yang terlanjur populer bagi masyarakat, ada hal implementatif yang masih jadi celah. Di tengah masyarakat yang masih bergnatung pada komando mengingat tingkat kedewasaan masih jauh dari perwujudan, maka standar operasi di lapangan sangat penting. Kasus ‘brexit’ saat mudik mengindikasikan bahwa ide bagus pada tataran atas belum disusun secara implementatif dalam pelaksanaan. Ada kesan masyarakat diberi kebebasan mengatur diri (saat masuk tol) tanpa sebuah batasan, hal mana baru disadari kemudian.

Untuk kemendikbud, ide besar nan inspiratif dari Baswedan kerap mandek di lapangan. Banyak guru masih merupakan ‘pelaksana aturan’. Dengan demikian ketika mereka sekedar ‘dihibur’, ‘dianjurkan’, maka niscaya terjadi pembaharuan. Urusan sertifikasi, UKG, terkesan diatur sendiri tanpa tata pedoman implementatif.

Suara Lain

Menjadi pemimpin, tidak saja menteri di era Kabinet Jokowi-JK, membutuhkan sebuah keberanian. Namun hal itu tidak serta merta. Ia perlu didasarkan pada pengenalan lapangan. Model ‘blusukan’, misalnya menandakan gerak cepat untuk mengenal lapangan. Seorang pemimpin yang tentu sudah punya jaringan birokrat memadai meski memastikan perwujudan di lapangan. Dari realisasi itu dapat terlihat kemampatan yang bisa terjadi yang menjadi kendala tidak tercapainya sesuatu.JONAN IGNATIUS2

Upaya blusukan seperti ini bisa saja sudah dilakukan para menteri. Baswedan dan Jonan sudah pasti telah melakukan hal itu. Yang menjadi pertanyaan, apakah laporan di lapangan telah sesuai ataukah lebih merupakan laporan ‘ABS’, Asal Bapak Senang? Dalam perspektif ini telah terjadi kepincangan. Meminjam Wooddrow Wilson, telinga seorang pemimpin harus peka dengan suara orang lain. Artinya, ia perlu punya ‘telinga’ yang siap mendengar semua masalah yang terjadi sebeanrnya.

Pola ini telah dilakukan secara tepat oleh Ahok. Minimal dengan pengalaman pernah bekerja secara khusus sebagai wagub di DKI, Ahok telah menunjukkan idealisme seorang pemimpin yang bisa bekerjasama dengan Jokowi. Di DKI, Ahok bahkan punya ‘mata-mata’ sampai ke tingkat RT/RW, bahkan sampai ke Tempat Pemakaman Umum (TPU). Ketika terjadi kepincangan, dengan cepat sampai ke telinga Jokowi.rainbow_PNG5574

Dari perspektif ini, kita tentu saja menyesal bahwa pergantian Baswedan dan Jonan mesti tidak terjadi kalau telah diimbangi dengan kecepatan menerima informasi langsung dari orang yang dipercayai. Jaringan di Kemenhub mestinya bisa sampai ke level yang paling rendah, hal mana mestinya diperkuat lagi oleh Menhub kini. Untuk pendidikan, Kemendikbud mestinya dapat punya ‘orang kepercayaan’ hingga di kampung. Kemendikbud punya guru ‘luar biasa’ yang punya kredibilitas dan diakui masyarakat. Mereka inilah yang dalam sehari bisa mengakses berita segar kepada sang menteri dan menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Pembelajaran di balik Jonan dan Baswedan pun bisa hadir untuk para pemimpin lain baik di level nasional maupun di daerah. Di era kepemimpinan kini, potensi itu terbuka bagi siapapun yang selain punya integritas diri (seperti Jonan dan Baswedan), tetapi perlu disertai jaringan yang kuat. Jaringan yang membantu mengakomodir informasi tepat demi keputusan yang tepat. Atas dasar itu, keputusan berani bisa dilakukan karena sudah ada keyakinan akan ketepatan dalam sasaran yang dicapai.BASWEDAN2

Untuk itu, Baswedan dan Jonan tidak sekedar jadi pertanyaan (mengapa) tetapi sekaligus jadi pembelajaran bagi pemimpin siapapun.

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik dan Penciptaan Perdamaian Universidad Complutense de Madrid Spanyol.