JALAN SENI SANG ‘GAIYABI’


Jalan Seni Sang ‘Gaiyabi’

(Eulogi Uskup Timika John Philip Saklil)

Opini Kompas, 12 Agustus 2019

Wafatnya Uskup Timika John Philip Saklil, 3 Agustus yang lalu sempatkan memviralkan kembali sebuah cuplikan video. Di sana, sang uskup kelahiran 20 Maret 1960 itu menari ‘seka’ begitu lincah, bebas, seperti tanpa beban.

Video yang kembali ditonton kian banyak orang lagi setelah wafatnya ‘sang gembala’, mendorong pertanyaan yang melatarbelakangi tulisan ini: mengapa uskup yang memakai nama samara ‘Gaiyabi’ itu memilih seni sebagai media perjuangan?

Mendengar Alam

Sebagai putera kelahiran Papua (Kokonao Mimika), Saklil paham sekali tentang peran bakipiare yang artinya orang yang memperoleh ilham dari alam semesta. Alam memberikan aneka sinyal dalam bentuk simbol yang hanya bisa ditangkap oleh manusia. Di sana jeritan alam sekaligus mengungkapkan kerinduan akan transformasi yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut.

Alam sebagai makrokosmos tentu tidak terlepas dari manusia sebagai mikrokosmos yang mendiaminya. Pergulatan, penderitaan, jeritan, kerap terungkap secara simbolis. Hal itu mendorong para pemimpin untuk menyelaminya, lalu membahasakannya dalam bentuk syair dan lagu, hal mana dilakukan Saklil.

Dalam ‘Tuhan Biarkanlah’, lagu yang digubah sang uskup yang memakai nama samara ‘Gaiyabi’ diaransemen oleh Laurens Kerowe Hokeng, mengungkapkan realitas Papua yang keras. Bagi sang gembala, Papua dijuluki ‘kering’, ‘gelap’, ‘tanpa hiasan’ seakan sebagai sebauh keterberian. Di sana berkecamuk aneka potensi konflik dengan yang bila tidak diantisipasi bisa berakhir fatal.

Terhadap potensi yang ada, gembala hanya menengada ke langit, memohon kepada ‘Amo’oipuaro’ (Tuhan) untuk membiarkan hujan membasahi, matahari menyinari, bintang menghiasi bumi. Hanya Dia yang bisa menurunkan kesejukan menyikapi aneka tensi yang selalu ada.

Mengapa seni (musik) menjadi pilihan? Tidak mudah menjawabnya. Tetapi hal itu barangkali terjawab juga secara simbolis oleh Lao Tzu: music in the soul is can be heard by the universe (musik dalam jiwa dapat diengar oleh alam semesta).

Uskup Saklil seperti kebanyakan orang Kamoro pada umumnya memiliki keahlian memahami bahasa alam. Ia seperti ‘bakipiare’, yang artinya orang yang memperoleh ilham dari alam semesta. Sebuah kerinduan sekaligus mengandung imperatif tentang jalan damai dan pengampunan yang perlu diambil sebagai bagian dari solusi.

Sebagaimana sebuah lagu, ia hanya bisa enak didengar ketika dinyanyikan dalam kebesamaan. Di sana jenis suara: Tapare Mimika Iwoto, Korani, Nikya Yesus dipadukan sambil diitingi oleh ‘dnikiarawe’ (pengiring lagu) dan ‘jagwari pikara’ (penegas atau penutup lagu). Hal ini menjadi simbol tentang solusi yang hanya bisa ditemukan dalalam kolaborasi demi mengikis pergi egoisme dan nafsu sesaat yang tentu saja sesat juga.

Tanpa Kata

Kepergian sang gembala terlalu cepat. Dua hari sebelumnya, ia baru kembali dari Merauke, melaksanakan tugas baru sebagai Administrator Apostolik untuk Keuskupan Agung Merauke. Tugas dan tanggungjawab yang tentunya menanti dari sang ‘Gaiyabi’ untuk diatasi.

Tetapi ‘Amo’oipuaro’ (Tuhan) Empunya kehidupan punya rencana lain. Ia memanggil ‘Gaiyabi’ yang artinya sang inspirator dan pemikir yang yang memiliki moto Parate viam Domini (siapkan jalan bagi Tuhan) untuk pergi menghadapNya.

Sebuah kepergian terlalu cepat itu mengingatkan kita akan kaa-kata Khalil Gibran: In the depth of my soul, there is a wordless song (di kedalaman jiwaku, ada lagu tanpa kata). Sebuah kepergian tanpa kata yang tentu hanya bisa dipahami dalam keheningan.

Teladan tanpa kata dari sang gembala yang selalu mengajak umatnya untuk menjadikan ‘Tungku Api’ sebagai indikator mengukur realitas hidup umat. Di atas tungku api terbaca kehidupan dan pergulatan nyata. Yang terserap dalam pergulatan akan terbukti melalui apa yang dimakan, hal mana ia mengajak setiap pemimpin untuk tidak terkecoh dengan tampak depan rumah yang kerap tidak terbaca secara utuh. Justru di atas tungku api terbaca perjuangan riil hal mana perlu diselami setiap pemimpin.

Jalan sunyi tanpa kata juga ditinggal pergi tetapi perlu terus digali dalam menyikapi permasalahan sosial sehubungan dengan perjuangan masyarakat berhadapan dengan masalah Freeport. Sang gembala selalu jadi ‘sandaran’ semua pihak yang bekonflik. Peran pemersatu yang sekaligus ‘diplomat’ yang harus menjaga keseimbangan dan tarik menarik berbagai pihak.

Meminjam Simon Fisher dkk dalam Working with Conflict, Skill & Strategies for Action, 2000, sang gembala tahu tentang potensi konflik yang mengancam. Kian sering prakonflik sudah sering terekspresi melalui aneka konfrontasi (berupa demonstrasi bahkan pertikaian sporadic) yang bila tidak disikapi, akan menjadi konflik terbuka dalam bentuk kekerasan yang nota bene tidak diinginkan. Ia tahu, ketidakadilan ada secara nyata tetapi perjuangan revolusioner bahkan bisa menghadirkan realitas ekstrem. Untuk itu panggilan untuk seimbang menjadi sebuah imperatif.

Foto kiri – ke kanan:
Laurens K. Hokeng, Yosep Yopi Kilangin, Mgr John P Saklil

Tak hanya itu, ia juga retas jalan sunyi dialog antaragama dan kepercayaan. Sebagai pemimpin dari agama mayoritas, ia tidak hentinya merangkul dalam persaudaraan para peziarah seperti kaum Kristen Protestan dan Islam. Baginya, keunggulan dan kelebihan tiap agama denga cara berbeda mengungkapkan keindahan yang menggambarkan tentang ‘Amo’oipuaro’ yang tidak dibatasi pada satu format tetapi terbuka terhadap dimensi plural yang kian menggambarkan keagungan Tuhan yang melampaui semua sanjungan.

Kini, teladan sang ‘Gaiyabi’ (inspirator dan pemikir) menyadarkan bahwa jalan seni yang ditinggal dalam sunyi tidak saja menginspirasi tetapi perlu menyata kini.

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Politik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.