Bencana Nurani

BENCANA NURANI

(Memaknai Bencana Banjir)
Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Hanya dalam waktu yang relatif singkat, negara kita dilanda dua bencana. Yang satu disengajakan. Tepatnya, wakil rakyat menginkan adanya ‘tunjangan’ komunikatif dan dana operasional pimpinan. Ia dikategorikan bencana nurani. Wakil rakyat (seakan) tidak mengetahui derita rakyat. (Batam Pos 30/1). Bencana lainnya adalah ‘air bah’. Ia begitu ‘berani’ memasuki bukan hanya warga di bantaran sungai, tetapi bahkan masuk sampai ke perumahan-perumahan elit. Perumahan yang selama ini terkenal ‘bebas’ banjir, kini harus akrab dengan banjir.

Bagaimana menafsir kedua bencana itu? Adakah pemerintah yang cukup ‘responsif’ menanggapi kedua bencana itu menandakan adanya ‘keberpihakkan’nya pada rakyatnya? Ataukah hal itu hanya menjadi luka baru, lantaran rakyat sebatas dihibur. Sementara itu permasalahan sebenarnya tidak terjamah.

Kacamata Kuda

Rasa tidak puas sangat nampak pada PP No. 37/2006. Wakil rakyat merasa bawha ‘pengorbanan’ yang diberikan (paling kurang dana yang dikeluarkan dulu waktu kampanye) tidak bakal tergantikan, bila mengikuti alur ‘gaji’ normal. Apalagi di tengah usaha yang semakin gesit memberantas korupsi, wakil rakyat sadar bahwa memperoleh ‘kompensasi’ melalui jalan tak normal sangat berbahaya. Rasa takut seperti inilah yang menjadikan wakil rakyat merasa, mengapa tidak, digunakan jalur legal? Mereka lantas ‘diberkati’ Peraturan Pemerintah. Hebat kan?

Rasa tidak puas, menyebabkan arah pandangan wakil rakyat hanya tertuju pada satu arah. Ibarat kacamata kuda, ia hanya memiliki satu sasaran yakni mendapatkan tunjangan yang ‘sepadan’. Karena itu, ketika palu diketuk, hampir semua wakil rakyat dengan begitu gesit mencairkannya. Ia ibarat orang yang sudah kehausan dan kelaparan. Saat disajikan makanan, mulut yang sudah terbuka lebar langsung melahap, tanpa menunggu. Itulah gambaran lebih dari 85% wakil rakyat yang secepat kilat mencairkan dana tunjangan.

Karena pandangan dengan arah tunggal, tidak ada alasan untuk melebarkan pandangan horizontal ke sekitar. Derita rakyat, terpaan bencana alam, ancaman penyakit DBD maupun Flu Burung, busung lapar, sekedar menyebut beberapa contoh, bukanlah hal yang menyentuh relung. Semuanya bagai tidak berarti apa-apa. Yang terpenting, menggapai apa yang diminta. Apalagi, sisa masa jabatan hanya kurang dari dua tahun. Sebuah jenjang waktu terlalu singkat untuk membuat wakil rakyat ‘cemas’. Hal itu kemudian dibalut dengan alasan ‘untuk semakin meningkatkan kinerja wakil rakyat’.

‘Laughinstock’

Pemerintah pada gilirannya seakan tidak mampu menahan desakan. Apalagi dalam politik, tawar menawar tidak bisa dilepaskan begitu saja. Apalagi wakil rakyat tahu, berhadapan dengan sebuah pemerintah yang ‘selalu dialogis’ suka ‘tawar-menawar’, bahkan terkesan penakut, peluang pun tercipta. Jelasnya, ia tidak bakal menolak secara frontal. Sebaliknya, usulan itu akan ‘dipertimbangkan’.

Pemerintah juga yang selalu ingin disebut ‘baik’ terhadap semua orang, tidak bakal membiarkan rakyatnya menderita. Ia akan sangat ‘sensitif’ mendengarkan protes rakyat. Karena itu bila akhirnya usulan itu tidak dipenuhi, pemerintah pun aman. Ia bakal meminta maaf kepada wakil rakyat. Dalam nada dialogis bisa dikatakan: ‘aku sih nggak apa-apa. Tetapi karena protes rakyat tidak bisa dikendalikan lagi, maka demi keamanan nasional, dengan terpaksa peraturan pemerintah itu dibatalkan’.

Pada sisi lain, relasi pemerintah-rakyat pun tidak jelek. Ia terkesan begitu mendengarkan. Bayangkan. Ketika ia berbicara, pemerintah begitu mendengarkan. Pembatalan itu adalah contohnya. Sungguh, sebuah teladan yang menguntungkan ‘pesona’ pemerintah di hadapan rakyat.

Contoh serupa nampak pada penanganan banjir di ibu kota. Pemerintah, baik pusat maupun DKI, tidak mudah dipersalahkan. Warga di sekitar bantaran sungai sudah diingatkan untuk pindah. Apalagi mereka berasumsi, sebagaimana biasanya, bencana itu tidak bakal lama. Sementara itu, bagi perumahan yang baru dilanda banjir pun tidak mudah mengklaim pemerintah sebagai ‘tersangka’. Bencana kali ini adalah ‘kiriman’ dari Bogor. Padahal sebagaimana kiriman pada umumnya, tidak dipaksakan untuk diterima. Resapan air, kanal tempat air mengalir, bila diberi tempat, tidak bakal mengganggu siapapun. Apalagi sebagaimana biasanya, air selalu mengalir ke daerah yang rendah. Ia tidak bisa ditahan, kalau tidak ada alasan yang begitu mendasar.

Sialnya, manusia yang sudah ‘hebat teknologi’ menyangkalnya. Daerah rendah ditimbun demi membangun perumahan. Apalagi kalau dana sudah berbicara. Apa pun dibuat, demi mendirikan bangunan bertingkat. Air sementara itu hanya diberikan tempat ‘seadanya’. Banjir karena itu, hanyala merupaka protes. Ia mempertanyakan dimanakah arah jalannya? Ia terpaksa masuk ke rumah-rumah, mencari tanggungajwab manusia.

Kedamaian Batin

Amukan alam, bukan datang sebagai sebuah ‘takdir’. Apalagi mengklaim Tuhan sebagai ‘pemberi bencana’. Tidak. Tuhan yang menciptakan segala sesuatu ‘baik adanya’, mustahil ingin memusnahkan semuanya hanya sekejab. Ia juga tidak bakal membiarkan manusia, makhluk yang merupakan ‘mahkota ciptaan’ hidup menderita, apalagi meninggal dihanyut banji dan aneka bencana lainnya.

Manusia, pada gilirannya telah diciptakan dengan akal budi dan kehendak, pikiran dan perasaan. Dengan akal budi yang arif dan perasaannya yang manusiawi, ia bakal merancang bumi ini sebagai tempat yang nyaman bagi semua orang untuk dapat hidup, bergerak, dan terutama ada bersama-sama dalam satu persaudaraan sejagat. Dengan kata lain, dibutuhkan kedamaian batin. Manusia merasa menemukan ketenangan batin. Ada harmonisasi internal yang menjadikannya selalu beryukur, dan mengadakan refleksi setiap saat tentang tata tindaknya dan apa yang dapat ia perbuat.

Bencana, yang kini melanda Ibu Kota, bukan mustahil menjadi tanda, betapa jauhnya kita dari rasa puas. Wakil rakyat merasa belum puas dengan apa yang ia terima. Ia merasa perlu ‘ditunjang’ dengan dana tambahan, biar lebih ‘gesit’ memperjuangkan kepentingan rakyat. Pemerintah, sebagai kekuatan eksekutif, belum puas menghibur rakyat dengan retorika ‘penenang’ sambil membiarkan rakyatnya hidup dalam penderitaan. Rakyat, terutama mereka yang sudah ‘berada’ belum puas dengan hunian di kota. Mereka merasa akan ada sesuatu yang kurang, bila belum membangun ‘villa-villa’ megah di daerah pegunungan (Bogor) sana yang katanya udaranya masih bersih. Rakyat pun belum puas, meneruskan kebiasaannya membuang sampah di sembarang tempat, sambil terus mengklaim pemerintah sebagai ‘pembersih kota’.

Keadaan seperti ini menggugah, kita semua untuk kembali ke diri sendiri. Kita menyadari bahwa bencana kini (dan barangkali masih banyak lagi di masa datang) adalah sebuah tragedi kemanusiaan, bencana nurani. Karena itu kita semua terpanggil untuk berbenah.

Lic. Robert Bala, MA.Pemerhati Ekologi. Staf Pengajar ‘Bahasa Spanyol’ Universitas Trisakti Jakarta.

Leave a comment