PENTINGNYA ETIKA MEDIA SOSIAL


PENTINGYA ETIKA MEDIA SOSIAL

Pos Kupang 6 November 2017

Beberapa saat lalu, hampir semua pelaku media sosial diingatkan pesan berikut: “Admin WhatsAPP boleh dipenjara”. Dijelaskan: ‘Admin WhatsApp yang gagal bending penyebaran maklumat tidak benar, fitnah, hasut, menipu akan dihukum”.

Ditambahkan pula bahwa sesuai Pasal 28 ayat 2 UU ITE ditekankan bahwa setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dapat dihukum.

Beberapa hari berselang kembali ditampilkan sebuah ‘INFO TERKNI’. Intinya disampaikan bahwa sejak 31 Oktober 2017, sesuai peraturan terbaru, semua panggilan, rekaman panggilan, wahatsApp, Twitter, Facebook, dan semua media sosial akan dipantau.

Ada apa di baliknya? Mengapa pemberitahuan itu mestinya tidak dianggap sekadar sebuah peringatan atau sungguh sebuah ancaman? Apa yang bisa dibuat agar kita tidak terjebak dalam perangkap tersebut?

Menggoda

‘Whats on your mind (apa yang sedang anda pikirkan), demikian media sosial membuka kontak di halaman utama. Sebuah frase penuh godaan. Ada aneka pikiran yang mengemuka, terutama pikiran yang menyenangkan tetapi juga yang memunculkan kegalauan.

Permasalahan, sebuah kegembiraan atau kegalauan selalu kontekstual. Ia tekait sebuah situasi, melibatkan orang lain sebagai penyebab, dan tentu saja ketika diungkapkan dapat memunculkan aneka interpretasi.

Sekilas orang merasa, media sosialku bersifat pribadi, hal mana benar adanya. Ia adalah ‘bilik privatku’. Yang tidak disadari, betapapun media sosial bersifat pribadi, telah dikunci, tidak memiliki follower (pengikut), tetapi di media sosial sudah terdapat linimasa. Ia akan menangkap semua unggahan terbaru dari semua penggunanya. Artinya, komentar apa pun di media sosial akan ditemukan walaupun sebuah akun sudah diubah lebih pribadi.

Bagi orang yang memiliki masalah, tidak sulit memantau lawan. Cukup dengan menangkap ekspresi. Meski diungkap lewat bahasa berbunga, puitis, apalagi ironis, tidak dilihat sebagai ungkapan hati yang bisa memicu pertikaian. Lebih lagi, ketika ekspresi hati sesaat diungkap dengan sangat lugas, emosional, dan provokatif. Sudah pasti, akan mendapatkan tanggapan.

Di sinilah bahayanya. Media sosial hadir begitu kejam. Ia bisa mengekspresikan hati hingga diketahui begitu banyak orang. Kedangkalan hati dan etika bisa dipanatu. Lebih lagi, ketika dalam posisi apapun, seseorang akan mudah terbaca kematangan diri, hal mana menjadi sebuah evaluasi.

Lebih lagi, ekspresi yang keluar. Shiv Khera misalnya tidak melihat ekspresi negatif yang keluar sebagai  hal terpisah. Baginya, Your positive action combined with positive thinking results in success. Artinya, ketika aksi positif dikombinasikan dengan pikiran positif akan menghasilkan sukses. Sebaliknya, mengungkapkan pikiran negatif tentang diri dan terutama tentang orang lain akan terkombinasi tanpa disadari dengan perbuatan yang mernedahkan diri yang mengacarahkan kegapa kegagalan.

Korelasi seperti ini umumnya disadari oleh siapappun yang memiliki tanggungjawab. Ia akan bijak berkata-kata. Godaan media sosial yang memintanya mengungkapkan pikirannya tidak akan dituangkan serta merta. Ia akan berpikir dua kali sebelum bertindak karena tahu ketika pikiran negatif dikeluarkan, kedalaman diri diketahui. Dan ketika perasaan diri diungkap, ia akan juga menjadi sebuah konsumsi publik.

Mikrofon

Mudahnya menulis di media sosial serta dampaknya yang bisa sangat besar menjadi sebuah awasan untuk selalu menjadikan etika sebagai payung pelindung diri. Tetapi bagaimana memahami etika medsos itu?

Hal paling sederhana adalah menyadari dan selanjutnya membangun mindset menganggap HP sebagai mikrofon. Mikrofon (HP) akan menyebarluaskan suara (tulisan) dan dapat didengar oleh orang lain. Di sini ungkapan melalui HP tidak lagi bersifat pribadi tetapi telah disebarluaskan ke orang lain. Orang yang mendengar pun akan menanggapi ‘celotehan’.

Kesadaran ini diharapkan menumbuhkan etika dasar agar seseorang lebih berhati-hati. Apa yang disampaikan akan diseleksi karena apa yang diungkapkan berdampak luas. Di sini dibutuhkan etika dasar yang disebut sebagai hukum emas “Lakukan apa yang Anda ingin dilakukan orang lain terhadap Anda dan jangan melakukan apa yang Anda tidak suka orang lain lakukan terhadap Anda”.

Lebih jauh, etika yang berasal dari kata ‘ethos’ (ta etha, jamak), yang berarti adat kebiasaan, cara berkipikir, akhlak, sikap, watak, cara bertindak, pada akhirnya diukur dalam enam hal yakni: keindahan, persamaan, kebaikan, keadilan, kebebasan, dan kebenaran.

Dalam kaitan dengan media sosial, apakah apa yang saya tulis (perasaan saya) mendatangkan keindahan diri? Apakah tulisan saya terasa indah yang mendatangkan kebahagiaan bagi diri saya dan orang lain? Yang perlu dipahami, kebahagiaan bersifat universal. Karena itu ketika kebahagiaan bersifat personal dan membiarkan orang lain menderita di atas kegembiraan (semu) ku,maka tentu saja tidak menghasilkan keindahan dalam arti sebenarnya.

Apakah juga kata-kata yang diungkapkan tidak merendahkan orang lain sambil menonjolkan diri? Apakah suku, agama, ras, antargolongan tidak tersinggung dengan bahasa saya?  Selain itu, apakah tercipta kebaikan? Apakah ungkapan saya tidak menyinggung yang akhirnya menyebabkan ketidakbaikan?

Prinsip keadilan perlu juga mengacu pada keadilan. Sebuah ungkapan di media sosial tidak bisa sekedar mengutamakan kepentingan diri tetapi berdiri pada pihak lain untuk membayangkan tuntutan yang sama dari mereka.

Dua prinsip terakhir tentang kebebasan dan kebenaran juga jadi takaran. Media sosial memberi kebebasan untuk berbuat apa saja, tetapi mesti dilakukan dengan mempertahankan kebenaran. Apa yang diungkapkan perlu diletakan dalam prinsip bebas untuk melakukan sesuatu yang positif dan tidak sekedar bebas dari ikatan yang mengekang.

Singkatnya, media sosial akan kian berguna ketika pengguna selalu kembali memeluk etika sebagai penuntun. Dalam bahasa DH Lawrence, etika harus bersifat abadi (juga dalam media sosial) “Ethics and equity and the principles of justice do not change with the calendar.

Penekanan etika inilah pengendali kita saat memasuki media sosial. Kita sadari bahwa hanya dengan etika, bahaya negatif medsos yang bisa menjerumuskan penggunanya dapat terhindarkan. Tanpa pengendalian etis, bahaya keretakan sosial menjadi hal yang sangat nyata. Mari kita kembali pada etika.

Robert Bala. Diploma Public Speaking (Hablar en Público) Universidad Complutense de Madrid, Pelaku Medai Sosial. Penyelenggara SKO San Bernardino Lewoleba – Lembata.

Sumber: Pos Kupang 6 November 2017 halaman 4