JADI DOKTOR KARENA PINGGANG MAMA

JADI DOKTOR BERKAT PINGGIANG MAMA

(Inspirasi hidup Dr. Damianus Dai Koban, M.Pd)

HARI KAMIS, 6 Agustus 2020, di depan 5 penguji, promovendus, Damianus Dai Koban dinyatakan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan. Para penguji, di bawah promotor Prof Dr I Made Putrawan dan Dr Diana Vivanti Sigit, M.Si, mengumumkan bahwa disertasi dengan judul: SIKAP SISWA TERHADAP LINGKUNGAN, STUDI KORELASIONAL: Locus of control, Sikap, dan tanggungjawab menjadi variabel penentu sikap siswa terhadap lingkungan.

Para penguji mengakui bahwa peneliian yang dilakukan pria kelahiran Lerek, 8 Mei 1965 ini membawa hal-hal baru. Peneliti sebelumnya melihat sikap lingkungan lebih pada orang dewasa. Padahal, menurut lulusan Master Pendidikan pada Unindra, 2015, sikap anak / remaja justru harus dibina sejak dini. Hal ini tentu sejalan dengan program pengenalan lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta. Secara aklamasi para penguji menyetujui sebagai doctor Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Andalkan Pinggang

Kisah masa kecil Damianus tidak dilewati dengan mudah. Ketika duduk di SD kelas 3 SD, ayahanda tercinta, Petrus Kia Koban meninggal dunia. Dami pun bersama 8 saudaranya hanya mengandalkan ‘pinggang’ ibudang, Teresia Ero Wutun.

Pinggang sang ibu adalah andalan dalam menenun. Ia bisa menenun sarung pesanan orang. Orang di kampung Lerek sudah paham. Hampir setiap orang punya motif tetapi kadang tidak bisa menyelesaikan hasil tenunan itu tepat waktu. Di situlah orang tahu, ina Ero bisa melakukannya dengan sangat rapi dan tepat waktu.

Hasil tenunan cukup membantu membiayai anaknya untuk sekolah. Ditambah dengan hasil kebun yang tidak seberapa, ina Ero melewati hari-harinya dengan menggerakan semua anak agar bisa saling membantu.

Empat dari 9 anaknya yaitu: Gaspar, Dami, dan Frans, Piter (Piter hanya sampai kelas 3 SMA dan tidak tamat). Gaspar, bisa menamatkan SGO Kupang. Dami pun pada masa itu harus melanjutkan SMAnya di Kupang. Frans (kuliah sampai S1) dan Piter pun mengikuti jejak sang kakak dengan melanjutkan Pendidikan di SMA.

Anak lainnya terpaksa hanya sampai SD bahkan ada yang tidak tamat (Sisko, Sinta, Melda, dan Lina). Mereka berusaha membantu mamanya sebisanya. Ada yang membantu kerja kebun Yang lain bekerja di toko orang Cina. Dengan itu mereka bisa mengirim sedikit uang untuk membiayai SPP saudaranya. Kisah penderitaan, hidup apa adanya, dan harus berbagi di tengah keterbatasan, merupakan hal yang selalu jadi pengalaman riil mendebarkan.

Pada tahun 1987, setelah tamat SMA, Dami putuskan untuk pulang kampung. Sebagai lulusan SMA jurusan IPA, ia pun mengabdi sebagai guru di SMP Tanjung Kelapa Lerek. Dami cukup gembira bisa bekerja di kampung. Tetapi ia pun sadar, hanya berbekalkan ijazah SMA, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa untuk memperbaiki hidup. Alternatif satu-satunya dan dapat dicapai adalah melanjutkan Pendidikan.

Mempertimbangkan situasi keluarga, Dami berencana untuk menambah satu tahun Pendidikan di PGSLP Kupang. Dami merasa dengan sedikit dana yang ia kumpulkan, ia masih bisa membiayai kuliah yang hanya setahun itu. Apalagi semasa SMA sudah dilewati di Kupang sehingga ada peluang mengongkosi dirinya dengan pekerjaan apapun.

Tetapi sial. Saat mau berangkat ke Kupang, ada kabar bahwa PGSLP ditutup. Dami pun mengubah haluan menuju Makassar. Tahun 1989, selama 6 bulan Dami bekerja di Unilever sekadar menyambung hidup.

Enam bulan kemudian, datang kabar bahwa bapak kecil yang ada di Jakarta berpesan agar Dami ke Jakarta melanjutkan Pendidikan di sana. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Ia pun hijah ke Ibu Kota.

Dari Bawah

Di Jakarta, Dami segera mendaftar untuk kuliah. Tidak muluk-muluk. Dami merasa cukup mendaftar di program D3. Setelahnya bisa melanjutkan kalau bisa. Tetapi kalaupun tidak, diploma itu sudah bisa memberinya bekal.

Tentang pembiayaan kuliah, Dami berujar, Pamannya hanya mampu membayar selama 3 bulan saja. Dami pun bekerja pada malam hari di proyek mengawasi kendaraan yang memuat pasir dan kerikil.

Kesempatan kerja malam itu Dami isi juga degan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Dengan berbekal sebuah mesin ketik tua, ia membuat tugas-tugasnya. Beruntung juga. Di proyek, Dami juga bisa berkenalan dengan komputer dan bisa menggunakan juga kemudian untuk mengerjakan tugasnya.

Pengalaman yang sangat berarti itu mengantar Dami melewati Pendidikan 3 tahun D3 MIPA di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Dami tidak berani mengambil S! karena tahu akan kekuatan dirinya. Baginya, D3 itu cukup. Setelahnya baru ia pikirkan untuk melanjutkan kalau ada dana. Tahun 1993, ijazah D3 digenggamnya. Dengan itu ia pun mulai mengajar. Awalnya di SMP/SMA Kristen Berkat, SMP Cicilia dan SMP Marsudirini.

Di tahun yang sama, ia mulai jadi tenaga honorer di SMP Vincentius. Setahun kemudian, tahun 1996, Dami pun langsung menjadi tenaga pengajar tetap. Di sekolahan Vincentius ini pula ia mengenal gadis Bali, Chatarina Niwayan Tirtawati (Wayan) yang kini jadi istri dan ibu dari dua anaknya, Jeanne Niluh Desiana Ero Koban dan Innosensia Niluh Lastri Koban.

Pada tahun 1998, setelah menikah, Dami mulai melanjutkan ke jenjang S1 MIPA di Universitas Negeri Jakarta yang diselesaikan tahun 1999.Baginya, Ketika anak masih kecil, masih mudah untuk mengatur belajar, meski diyakini bahwa kadang terasda berat karena anak yang masih kecil membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Setelah 13 tahun mengajar, tepatnay pada tahun 2013, muncul ide untuk melanjutkan ke jenjang S2 MIPA. Jadilah selama 2 tahun Dami meniti Pendidikan dan sukses meraih gelar Master Pendidiakn pada tahun 2015 di Universitas Indraprasta PGRI (Unindra).

Saat menyelesaiakn Pendidikan, muncul tawaran untuk melanjutkan ke tingkat doktoral. Sebuah tawaran yang tidak membuat Dami jerah untuk terus mencoba. Jadilah sejak 2017 Dami memulai program doktorat hingga selesai tepat waktu seperti diprediksikan tahun 2020.

Ingin Mengabdi

Apa yang akan dilakukan Dr. Damianus Dai Koban, M.Pd setelah meraih gelar tertinggi dalam bidang pendidiakn ini? Bagi Dami, apa yang akan dilaksanakan di masa depan tidak terlepas dari perjalanan yang sudah dilewati. 

Bagi Dami yang rencananya akan pensiun guru tahun 2021, telah menyusun strategi. Memasuki usia 56 tahun nanti, Dami akan fokus pada pengajaran di Perguruan Tinggi. Telah banyak perguruan Tinggi di Luar Jawa yang telah memintanya untuk menjadi dosen di daerah, hal mana merupakan hal yang menantang.

Dr Dami bersama teman-teman dalam Yayasan Koker Niko Beeker, mengundang penerbit nasional Erlangga untuk ikut mendukung kegiatan Workshop guru di Lembata. 

Tapi baginya, inilah kesempatan untuk mengabdi. Gelar yang ada bukan untuk dijadikan penghias tetapi sungguh menjadi sebuah tanggungjawab. Selain itu, pengabdian di luar daerah, bukan hal baru. Pada tahun 2016, Dami dan beberapa temannya dari Lembata sudah mendirikan sebuah Yayasan bernama Koker Niko Beeker, di mana Dami merupakan Wakil Ketua. 

Dengan ruang gerak yang lebih bebas nanti, Dami akan fokus juga untuk membesarkan sekolah keberbakatan olahraga yang belokasi di Lewoleba Lembata NTT.   Menyambut rencana baik itu, Wilem Lojor yang merupakan teman guru semasa mengabdi sebagai guru di SMP Tanjung Kelapa Lerek mengatakan bahwa Dami adalah sosok pekerja keras. Ia tidak pantang  mundur meski ada kendala menghadang di jalan. 

Kristina Tere Pukai, anggota Yayasan lain mengharapkan bahwa figur Dr Dami menjadi inspirasi bagi generasi muda di Lembata. Harusnya kendala tidak jadi halangan tetapi peluang agar bisamaju. 

Pengalaman Diri

Penelitian yang dilakukan Damianus tidak bisa lepas dari kehidupannya, khususnya ketika membahas tentang ‘Locus of control’. Penelitian membuktikan bahwa factor kendali diri internal mestinya menjadi penentu keberhasilan dan kesuksesan seseorang dalam bersikap terhadap lingkungan. Dengan control diri yang baik dalam diri maka memungkinkan orang bisa mengendalikan sikap eksternalnya.

Yang disayangkan dan itu terjadi, ternyata dalam perilaku, banyak orang lebih membiarkan diri dikuasai oleh factor eksternal. Faktor kerusakan lingkungan misalnya dengan mudah muncul sikap mempersalahkn orang lain (faktor eksternal) dan tidak melihat dirinya sebagai orang yang seharusnya bertanggungjawab.

Penelitian ini benar karena merupakan pengalaman hidup dari Dami dan keluarga besarnya. Melihat kondisi eksternal mamanya yang hanya mengandalkan pinggianng untuk menenun, tidak bisa diharapakan apa-apa. Tetapi justru Dami memberi warna baru. Ia justru memiliki kemauan internal yang kuat dan mendorongnya untuk keluar dari ketidakmungkinan. Hal itu bisa mengantarnya ke jenjang tertinggi dalam Pendidikan, meraih doktor.

Terhadap pengalaman ini, Demi berujar bahwa penderitaan bukannya membuat orang putus asah. Ia mendorong orang untuk harus keluar dari keterbatasan. Semuanya hanya bisa dilakukan dengan keberanian dan kerja keras.

Tidak hanya itu. Bagi ayah dari dua puteri ini, tanggungjawab merupakan elemen yagn sangat penting dalam hidup. Tuhan meberi kita masing-masing dnegan segala tantangan. Tetapi dia butuh dari kita tangugngjawb untuk mempertanggungjawbkan semuanya dengan baik. (Robert Bala di Jakarta, 6 Agustus 2020)