SURGA DI ATAS API NERAKA (Mengenang Bencana Waiteba 18 Juli 1979)

SURGA DI ATAS API NERAKA

(Mengenang Bencana Waiteba 18 Juli 1979)

Pada hari Minggu jam 10.32 WIB 11 September 2016, Pak Robert Bala lewat grup baru FB ”Cerita Tentang Waiteba “ menulis sbb: “Saya sudah masukan dan undang Pak Thomas Ataladjar untuk bisa memperkaya informasi jurnalistik tentang peristiwa Waiteba”.waiteba12Thomas B Ataladjar, Jurnalis-Peneliti. Terkenal sebagai wartawan peneliti dengan dokumentasi yang lengkap tentang aneka peristiwa. Sebuah peristiwa perlu diberi makna pembelajaran. 

Saya agak kaget, karena saat itu saya tengah menulis tentang kisah empat bencana gelombang pasang dahsayaat mematikan, yang berkaitan dengan Lomblen/Lembata masa silam; yakni bencana Lepan Batan (Keroko-Puken), kisah tenggelamnya Awololo,“Hari Bura” sebuah mitologi bencana di Kedang dan bencana Waiteba 1979. Semuanya sama-sama berkisah tentang “gelombang besar” (tsunami) dahsayaat mematikan sekaligus mengakibatkan “Kar Pana” atau pengungsian massal masa ke berbagai penjuru wilayah. Judul tulisan yang tengah digarap berjudul : “Kroko-Puken, Awololo, Pulo Lamalea’n dan Waiteba, Surga Di Atas Neraka“.waiteba8
Menanggapi undangan Pak Robert Bala tersebut agar bisa memberi masukan, saya langsung merasa begitu kesulitan untuk menulis ke FB soal Waiteba. Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, tidak mungkin naskah yang tengah saya garap panjang-lebar tentang bencana Waiteba 18 Juli 1979 itu saya masukan ke FB dengan lahan yang demikian terbatas. Kalaupun terpaksa ditulis, mungkin yang dilakukan adalah membuat cerita bersambung yang cukup panjang, sementara pembaca FB inginnya sih baca tuntas.

waiteba5Kondiri daerah bencana beberapa saat setelah longsor di Batanamang Bauraja

Kedua, menurut hemat saya, menulis kisah tentang bencana Waiteba itu sendiri tidak sekedar menulis tentang kisah bagaimana terjadinya peristiwa itu semata. Banyak hal yang saling kait-mengait dengan peristiwa ini yang perlu ditulis, baik situasi dan kondisi pra bencana, saat terjadinya bencana dan pasca bencana.

Tujuannya agar banyak hal bisa dipahami pembaca untuk diambil hikmahnya. Antara lain tentang kondisi alam dan struktur geologi Lembata umumnya dan Atadei khususnya, aspek topografi, geothermal dan vulkanologi. Juga tentang antropologi budaya masayaarakatnya. Juga tentang upaya preventif menghadapi kemungkinan terjadinya bencana, tentang peristiwa bencana itu sendiri, sebab-sebab terjadinya. Langkah antisipasi dan tanggap daruratnya, aneka kendala dan hambatannya.Tentang penanggulangan bencana. Juga tentang korban bencana serta berbagai dampak ikutannya, upaya evakuasi, tentang kios bencana dan upaya pengumpulan dan penyaluran dana untuk korban, terlepas dari bantuan itu benar-benar sampai ke tangan korban atau tercecer di jalanan. Juga tentang jurnalisme bencana, tentang makna dan hikmah mengenang bencana Waiteba, dan lain sebagainya.neraka2

Ketiga, kisah tentang bencana Waiteba 37 tujuh tahun silam itu sendiri, telah panjang lebar kami turunkan 34 tahun silam dalam buletin “Keniri Kenepar” edisi khusus No.2 tahun II/1983 (gambar terlampir) yang diterbitkan oleh Perkumpulan Gerie Gelekat, Jakarta khusus untuk mengenang peristiwa Waiteba tersebut. Sampai saat ini saya masih simpan rapi edisi khusus Keniri Kenepar berusia 34 tahun ini.

waiteba2Buletin Keniri Kenepar. Liputan khusus tentang Bencana Waiteba.

Perlu dicatat bahwa di Jakarta segera setelah peristiwa Waiteba, sejumlah warga asal Bauraja berinisiatip lalu mendirikan “Perkumpulan Gerie Gelekat” dengan Pembina P.Leo Laba Ladjar, OFM (kini Uskup Jayapura), yang kemudian bergabung juga warga asal Paroki Lerek dan Atadei lainnya. Selain berusaha membantu para korban yang mengungsi ke Loang akibat terjadinya Bencana Waiteba, juga untuk saling membantu di rantau Jakarta. Dengan demikian, lahir dan berkembangnya perkumpulan Gerie Gelekat menjadi besar dan bertahan hingga hari ini, tidak terlepas dari peristiwa bencana Waiteba yang turut melatar belakangi lahirnya. Perkumpulan Gerie Gelekat juga menerbitkan bulletin Keniri Kenepar.waiteba15-leo-labaUskup Leo Laba Ladjar. Waiteba jadi momen untuk menumbuhkan semangat hidup. 

Dalam edisi khusus no. 2 tahun II, 1983, Keniri Kenepar menurunkan topik utama Mengenang Bencana Waiteba. Laporan utama ditulis oleh Pak Viktor Nimo Wutun sekembalinya dari menyerahkan bantuan Waiteba berjudul “Bencana Waiteba, Sebuah Cuplikan Fakta”. Perlu dicatat bahwa Pak Viktor, segera setelah terjadi peristiwa Bencana Larantuka dan Waiteba 1979, diutus oleh Panitia Aksi Larantuka Atmajaya untuk menyerahkan bantuan bagi korban bencana. Selama dua minggu lebih sejak 21 Juli 1979 hingga 6 Agustus 1979 beliau melakukan tugas kemanusiaan di sana. Dalam laporan utama tersebut Pak Viktor tegas menulis bahwa apa yang ditulisnya, benar-benar bersifat obyektif, dan bukan sekedar data yang kebetulan dicatat selama bertugas ke Waiteba.THOMAS T ATALAJAR DAN ROBERT BALA

Jurnalisme makna menggali lebih jauh melampaui peristiwa.

Ia mencatat secara sangat rinci. Jumlah dan keadaan para korban bencana yang diungsikan. Jumlah penduduk dari 5 lokasi yang terkena bencana (Waiteba, P.Harapan, Labala, Lamatuka dan Baopana), jumlah yang meninggal, yang hilang, yang hidup dan yang menderita. Juga jumlah anak yatim–piatu. Juga catatan wujud bantuan, keadaan perumahan, makanan, pakaian, kesehatan, perlengkapan rumah tangga. Juga catatan tentang peralatan pertanian berkaitan dengan mata pencaharian penduduk, pendidikan, tentang perhatian pemerintah. Juga tentang kepanikan dan keresahan massal yang melanda masayaarakat, serta sedikit uraian berkaitan dengan kondisi alam bencana, geologi, vulkanologi, gelombang pasang bahkan tentang dampak ikutan dari bencana ini.neraka3

Sebuah laporan kunjungan langsung ke lokasi bencana yang cukup lengkap. Bahkan Viktor Nimo Wutun dalam buletin itu juga memuat lirik lagu gubahannya berjudul: ”Rintihan Yatim Piatu”. Sebuah rintihan hati bernadakan lagu ratap khas Atadei yang mencoba melukiskan derita, kegetiran, ketakutan, putus asa dan kepanikan mencekam yang melanda dan dialami para korban bencana, dalam kepasrahan total kepada Tuhan. Terutama anak-anak yang kehilangan ayah ibunya, kakak adiknya dan orang-orang yang dicintainya.

waiteba5
Dalam buletin Keniri Kenepar itu, Pater Leo Laba Ladjar,OFM, menulis dengan judul : Bencana Menelanjangi kita yang hidup”. Sementara Pater Paulus Boli Lamak, SVD menulis renungan berjudul “Mengenangkan Saudara-i korban Gelombang Pasang di Waiteba 18 Juli 1979. Pater Yosef Tote, OFM yang nyaris jadi korban bencana Waiteba menulis sebuah ”Renungan Kecil”. Bernard Bala Ladjar menulis :”Dari Bencana Waiteba sampai Yayasan Waiteba”

Manajemen Bencana dan Jurnalisme Bencana

Ke depan, belajar dari aneka bencana yang terjadi, media perluterus gencar melakukan kampanye waspada bencana secara kontinyu, mengingat Indonesia umumnya dan Lembata khususnya, merupakan kawasan rawan bencana. Medialah salah satu bagian terpenting dalam kontribusi early warning sayastem yang seharusnya bekerjasama dengan berbagai pihak terkait. Dengan demikian, masayaarakat akan selalu siap siaga menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.

Namun pemberitaan perlu dilakukan bertahap mulai dari pra-bencana, bencana sampai pasca-bencana. Karena pada dasarnya, jurnalisme bencana bukan hanya sekedar meliput berita bencana semata, namun semua yang berkaitan perlu dilaporkan secara proporsional dan tidak mendramatisasi.neraka5

Boleh jadi banyak pembaca menaruh harapan yang besar agar yang menulis atau menyampaikan kisahnya di FB “Cerita Tentang Waiteba” itu bisa menghadirkan masa lalu peristiwa Bencana Waiteba 1979 wie es eigentlich gewesen ist- sebagaimana sesungguhnya terjadi. Jelas hal ini agak tidak mudah. Terutama karena peristiwa tragis yang menghancurkan Waiteba itu terjadi di malam hari saat warganya tengah lelap tertidur, nyaris tanpa saksi mata dan sudah terjadi 37 tahun silam.

waiteba3

Thomas B Ataladjar, dari dekat tidak saja melaporkan bencana tetapi membuat refleksi tentang bagaimana  menyikapi bencana.

Setelah peristiwa yang terjadi malam itu barulah mulai mengalir berbagai kisah dan cerita tentang bencana mematikan itu dengan segala dampak ikutannya, baik yang bisa ditulis maupun yang tetap dituturkan tentu sepanjang ingatan petuturnya.
Walaupun ada sebuah mesin waktu yang bisa melambungkan kita ke masa tanggal 18 Juli tahun 1979, ia tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Karena serpihan kisah sejarahnya yang bisa dan sempat ditulis, adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah selalu diceritakan, ditulis kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh tentang masa lalu, akan selalu kurang, tidak lengkap dan terus memerlukan perbaikan.

Surga Di atas Neraka

waiteba

Waiteba di mata saya sejak kanak-kanak hingga tamat seminari adalah sebuah teluk yang tenang dan indah, terlindungi oleh pulau Rusa, Pantar dan gugusan kepulauan Merica,Tanjung Leur dan kawasan Bobu. Apalagi dilihat dari bukit Henoteng, sebelah Bauraja saat sunrise, sebuah pesona alam yag sungguh memukau.
Pasar Waiteba merupakan surga bagi nelayan dan penjual ikan dari Alor dan Pantar yag datang membarter ikan, telur dan daging penyu serta daging rusa dengan hasil bumi penduduk Painara dan Leralodo. Waiteba adalah surgaku semasa SMP-SMA pergi timbang (jual) kopra untuk dapat duit buat bayar sekolah.

waiteba10
Waiteba surga bagi Baba Giap yang membuka toko besar dan memonopoli perdagangan hasil bumi. Waiteba, bandar yang ramai di singgahi perahu-perahu phinisi dari Kendari, Binongko, Makassar dan Ambon. Waiteba merupakan surga masa kecilku untuk datang beli gula-gula, veku (pluit),kelereng (gunduh) dan untuk pilih buah asam dan kaha wueki.waiteba2
Waiteba surga kecilku saat ikut cebur ke laut tangkap ikan saat ”teban hewak” di tepi pantai. Dan Waiteba surga bagi banyak orang yang memilihnya menetap, termasuk pemerintah yang menjadikannya sebagai ibukota kecamatan dan………. ahhhhh terlalu banyak untuk dikisahkan. Waiteba, teluk yang indah, teduh, tenang, damai ini benar-benar sebuah serpihan surga yang tersembunyi……tapi tiba-tiba diamuk bencana dan namanya kondang ke seantero nusantara lantaran diberi presikat ”bencana nasional”.

waiteba11
Beberapa saat setelah terjadi bencana Waiteba, saya pulang ke kampung. Bukan untuk meliput peristiwa itu, walaupun sempat mengambil sejumlah gambar lokasi longsor Batanamang hingga Waiteba. ( beberapa foto terlampir dalam tulisan ini). Saya mendadak dipanggil pulang lantaran orang tua yang demikian panik dan ketakutan berkeras mengungsi ke Lewoleba hingga hari ini. Sebuah pengungsian massal penuh penderitaan dan pengorbanan ke berbagai tempat, mencari tempat yang dirasa lebih aman. waiteba-adowajo

Ile Werung – Adowajo sebuah pegunungan parasiter dengan gunung Gripe dan Hobal.

Kaitan dengan tulisan saya berjudul “Surga Di Atas Neraka” hanya untuk sekedar mengingatkan kembali ingatan kita akan fakta alam yang kita huni yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Sementara orang mengatakan, Lembata adalah The Hidden Island, surga yang tersembunyi. Panorama alamnya indah, budayanya kaya penuh daya pikat, alamnya subur, aman dan tenteram dan manusianya ramah. Namun di balik keelokan dan keindahannya, wilayah nusantara berjulukan zamrud khatulistiwa termasuk Lembata umumnya dan Atadei khususnya ternyata menyimpan potensi bencana alam yang sangat besar.neraka4
Pulau Lembata sebagai bagian dari gugusan kepulauan Solor khususnya dan Indonesia umumnya ini masuk dalam zona” ring of fire” atau cincin api dunia di mana terdapat gunung api aktif. Tercatat 130 gunung berapi mengitari wilayah Nusantara. Jalur “Ring of Fire” sendiri adalah rangkaian lempeng atau pa¬tahan besar yang menjadi ancaman potensial gempa.

waiteba-adowajo3
Atadei sendiri memiliki keunikan soal kegunungapian. Dari aspek vulkanologi Tanjung Atadei yang kecil itu, punya gunung gemunung. Di sana berdiri perkasa Gunung Mauraja dan Ile Adowajo sebagai “gunung api besar” yang terus menerus beranak pinak yang memunculkan G. Paugora, G. Kawanora dan G. Ili Monyet. Pada 1870 kawah Ile Adowajo meletus lalu membentuk kubah G. Ile Werung. Kemudian muncul kubah-kubah lava Ile Lusitobe dan Ile Penutuk. Pada tahun 1948 muncul kerucut-kerucut baru di lereng selatan dekat laut yakni Ile Gripe dan Ile Petrus. Dan terakhir Gunung Hobal yang merupakan gunung api di bawah laut yang selalu dikaitkan aktifitasnya dengan Bencana Waiteba.
Walaupun ke¬nya¬taan bahwa wilayah ini yang kaya sumber daya alam, ia bak “surga dunia di atas tungku neraka”. Ledakan gunung berapi, gempa bumi dan tsunami senantiasa mengancam. Ia ibarat sebuah “warehouse” atau “hypermart” alam yang menyimpan ancaman bencana. Pemahaman tentang ini perlu terus disosialisasikan kepada masayaarakat.

waiteba7
Tentang bencana Waiteba, sudah banyak kisah yang dituturkan orang, termasuk aneka serpihan kisah yang kini tengah berlanjut di Face Book. Itu baik, perlu dan penting untuk melengkapi dan memperkaya kisahnya.
Pencinta, penulis dan peminat studi sejarah bencana, khususnya di Lembata, rasanya kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada berbagai “misteri” akibat tidak terekamnya sejarah kebencanaan secara memadai, berkaitan dengan kejadian-kejadian sebelumnya yang harusnya menjadi soko guru bagaimana masayaarakat hari ini dan generasi penerus mendatang. Di lain pihak jumlah peneliti sejarah Lembata tidaklah banyak dan juga tidak membuat fokus cerita yang memadai pada aspek bencana. Mereka lebih berkutat pada antropologi budaya dan aspek lainnya.

waiteba11
Bencana Waiteba ini perlu ditulis mengingat bahwa memori masayaarakat manusia memang terbatas. Apa lagi ketika tahun kejadian telah beranjak melampaui angka dua tiga digit. Maka yang dibutuhkan adalah rekaman memori dalam bentuk tulisan. Karena tetap berkutat dan bertahan pada kisah tuturpun lambat laun akan mengalami pelapukan, bila tidak segera masuk dunia aksara. Apalagi mengingat bahwa dalam tradisi ketimuran “kita”, sering yang dianggap buruk itu, tidak boleh diungkit-ungkit alias……… tabu. ”Ake tutung bei…………klareken”.

Judul di atas “Surga Di atas Neraka”, sama sekali bukan merupakan sebuah lonceng peringatan, dentang genta kematian atau “alarm” akan bencana di masa depan untuk menakuti orang. Tulisan ini tepatnya lebih kepada sebuah ajakan untuk sebuah refleksi mendalam sekaligus untuk menziarahi para korban Ina, Ama,Tua Magu, Opun Makin, Kaka Waji, Nole Kwinei, Kneu Breung semua orang yang kita cintai yang dimakamkan di dan oleh alam tepatnya 18 Juli 1979 di Waiteba-Lembata.waiteba5
Hemat saya, bencana Waiteba perlu ditulis menjadi buku untuk melengkapi sejarah kebencanaan Indonesia, ketimbang membiarkannya berkutat dengan kisah tutur lalu beralih ke dunia mitos dan legenda seperti halnya mitos Tenggelamnya Lepan Batan–Kroko Puken, Legenda Tenggelamnya Awololo dan mitologi “ Hari Bura” di Kedang. Naro kie *** ( Thomas Ataladjar ).