ANTARA ‘ANAK KANDUNG’ DAN ‘ANAK TIRI’


Antara ‘Anak Kandung’ dan ‘Anak Tiri’

(Mencermati Dinamika Politik PDIP NTT)

Pos Kupang 12 Januari 2018

 Kisah mundurnya petinggi PDIP NTT menarik untuk disimak. Ray Fernandez (RF) Kristo Blasin (KB) Honing Sany (HS), yang selama ini cukup merepresentasikan PDIP NTT dalam praksis politik, mengundurkan diri dari partai yang telah membesarkan (dan dibersakan mereka).

Keputusan itu tentu bukan hal sepeleh apalagi dikategorikan ‘infantil’.  Mereka yang kini telah ‘berdarah-darah’ membesarkan PDIP di NTT. Di saat krisis melanda PDI(P), mereka justru berada di samping Megawati. Logikanya ada harapan bahwa seorang ‘anak kandung’ dijadikan putera mahkota di kampungnya sendiri.Namun peralihan ke figur yang bukan dari tubuh PDIP, yakni Marianus Sae/MS), memunculkan pertanyaan hal mana menjadi latar belakang tulisan ini: Begitu tegakan seorang Megawati ‘menyusui beruk di hutan sambil melepaskan anak kandungnya sendiri?’ Atau apa sebenarnya makna yang akan dipetik kemudian?

Praksis Ideologis

Dalam Kongres PDIP 2010 di Sanur-Bali, wacana ‘anak kandung’ dan ‘anak ideologis’ mengemuka. Saat itu terjadi duel antara Megawati dan Guruh Soekarno Putra. Ada kesan, ketua PDIP hanya bisa dari ‘trah’ Soekarno sebagai anak kandung sang proklamator.

Tetapi saat bersamaan semakin kuat wacana bahwa bukan sekadar putera mahkota tetapi lebih pada putra ideologis. Artinya, sejauh ideologi Bung Karno dipraktikkan oleh siapa pun politisi, dia yang sebenarnya berhak atas kepemimpinan dari PDIP.  Mulai terbuka tafsiran tentang anak kandung dan anak ideologis yang melampaui sekat personal apalagi sekadar hubungan darah.

Sebagai narasumber dalam kongres, penulis mengambil contoh Amerika Latin. Praktik sosialisme Abad XXI semakin menghadirkan kepemimpinan yang prorakyat. Dari sana terdisain pemimpin negara yang telah terbukti di level paling rendah, menaiki anak tanggap promosional hingga diberi kepercayaan untuk kepemimpinan nasional. Mereka adalah putera dan puteri ideologis yang terpilih bukan karena telah memproklamirkan ideologi tertentu tetapi telah membumikan ideologi itu dalam praksis yang membebaskan.Kesadaran ini telah mengantar penulis sebagai pemateri menekankan pentingnya mengedepankan figur PDIP dalam kepemimpinan di daerah untuk diorbitkan ke jajaran yang lebih tinggi. Dari sini muncul Jokowi, yang bagi saya yang awam politik belum mengenalnya, sampai pemilukada DKI.

Intinya, pemahaman anak ideologis hadir secara nyata. Jokowi yang tidak lebih dari seorang pengusaha meubel yang kebetulan telah mempraktikkan politik bermartabat diangkat tidak hanya jadi gubernur DKI tetapi bahkan menjadi presiden. Kini terbukti bahwa Jokowi anak ideologis dalam arti sebenarnya.

Pemahaman ini yang barangkali tengah diangkat oleh politisi PDIP NTT seperti RF, KB, HS. Dalam jabatan yang telah diemban (legislatif atau eksekutif), mereka telah menghadirkan ideologi Bung Karno. Di sana  kesederhanaan (KB) kerja keras keterbuktian berkarya dan sudah ‘berdarah-derah membesarkan PDIP’ (RF) ketaklelahan menyerap kerinduan konstituen (HS), adalah contoh yang tidak bisa disangkal. Pengakuan eksternal maupun komitmen personal telah menderetkan (atau merasa dideretkan) dengan orang PDIP dalam arti yang sebenarnya.

Permasalahannya, apakah indikator pencapaian pribadi menjadi ukuran yang memaksakan seseorang untuk harus menjadi pemimpin? Atau, apakah fungsi rekrutmen parpol hanya diartikan sebagai upaya menjadikan dan mempersiapkan setiap anggota menjadi pemimpin?

Tentu saj atafsiran seperti ini perlu diperluas. Dalam arti ini pula, rekrutmen tentu tidak terbatas pada internal partai tetapi melebar. Dengan demikian yang datang kemudian, meski di ‘tikungan terakhir’ tidak sekadar dikategorikan ‘anak tiri’ atau ‘anak haram’. Hal ini terbukti dalam diri Jokowi yang dari keheningan Surakarta, bisa ‘membungkam’ Ibu Kota, bahkan NKRI. Itu hanya terjadi karena ia mendalami anak ideologis dalam arti sesungguhnya.

“Anak di pangkuan dilepaskan, beruk di hutan disusui?”

Memang pengabdian dalam organisasi mestinya diperhitungkan. Pemimpin tidak saja mengambil orang lain oleh pertimbangan praktis: bermodal dan populer sambil menyingkirkan yang kalah bersaing. Tetapi dialektika pemilihan antara kader terbaik, pada akhirnya harus berakhir pada pilihan terbaik, sejauh ideologi itu diwujudkan secara nyata.

Akan Terbukti

Aneka asumsi entah yang benar adalah deretan politisi yang menyatakan mengundurkan diri atau Megawati sebagai pimpinan tertinggi, tidak bisa dibuktikan sekarang. Terlalu dini untuk menilai reaksi pengunduran diri sebagai hal infantil atau mengklaim PDIP telah terhanyut dengan keharusan menang serta dukungan finansial kuat sambil menyepelehkan calon sendiri.

Kebenaran akan ‘duel’ ini baru akan terbukti pada pilkada dalam kemenangan yang akan diperoleh. Apabila duet MS-EN akhirnya kalah, maka menjadi pembelajaran bahwa kondisi NTT dikenal lebih mendalam oleh politisi yang telah ‘berdarah-darah’ membesarkan PDIP di daerah. Suara hati mereka mewakili rakyat kebanyakan yang telah tersentuh oleh keteladanan politisi. Di sinilah Megawati harus merendah dan belajar. Ia pun tahu bahwa sangat mungkin politisi dipercayakan selama ini ‘memantau’ peta politik NTT (AP, HH) telah salah dalam merancang strategi dan perlu bertanggungjawab atas analisisnya yang keliru.

Kekalahan PDIP di NTT akan menjadi evaluasi terhadap kekeliruan fatal. Pada gilirannya, politisi yang kini ‘hengkang’ sebagai protes akan dicari kembali oleh PDIP karena telah sadar bahwa anak yang terbuang harus kembali sebagai pemenang.

Tetapi peta dapat berbeda hal mana harus disadari. Kehadiran MS dan EN yang harus ‘berjuang sendiri’ di tengah minimnya dukungan politisi PDIP bisa menjadi sebuah pembelajaran lain. Yang dimaksud, apabila hengkangnya petinggi PDIP justru tidak diikuti oleh rakyat hal mana diketahui bahwa masyarakat memiliki logika berbeda dari elitenya, maka di satu pihak terbukti bahwa ‘anak ideologis’ tidak diukur dari lamanya bergabung dengan partai tetapi sejauh mana praksis membebaskan itu telah diwujudkan dalam diri pemimpin yang dibidik di lintas akhir.

Tidak hanya itu. Politisi yang kini hengkang akan disebut sebagai politisi yang gagal total. Di satu pihak, selain figur usungan mereka dari partai lain itu gagal, tetapi juga karir pribadi akan terhambat, malah gagal juga.  Kepercayaan baru akan sulit dibangun karena masyarakat menjadi sadar, klaim ‘anak ideologis’ yang selama ini diyakini hanya sekadar wacana. Kehidupan berpartai sekadar upaya menjagokan diri tetapi tidak secara bijaksana memandang melampaui sekat individual. Praktik ini seakan tidak keliru untuk menempatkan politisi seperti ini bak ‘anak tiri’. Mereka yang menjadi anggota PDIP tetapi disertai intrik personal serta jauh dari kebesaran hati mengakui orang yang lebih potensial darinya. Mereka pula bahwa sebenarnya dari awal mereka juga adalah ‘anak tiri’ yang ‘diadopsi’ oleh ideologi tetapi kurang meresap karena yang paling dominan adalah kepentingan pribadi bukan kepentingan yang lebih luas.

Tetapi semuanya ini hanya pengandaian. Bukti akhir dalam pilkada masih akan terbukti 21 Juni 2018. Di sana akan terbukti siapa ‘anak kandung’, ‘anak ideologis’ dan ‘anak tiri’.

Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.