DI BALIK (KABAR) PERCERAIAN AHOK – VERONIKA

 

DI BALIK (KABAR) PERCERAIAN

AHOK – VERONIKA

(Bercerai demi (karena) negeri tercinta?)

Banyak orang terkejut dan tak percaya dengan berita rencana ‘perceraian’ Ahok – Veronika. Bagi banyak orang, terutama yang sudah menjadikan Ahok sebagai idola, terlalu murah isu itu. Dengan cepat disinyalir sebagai ‘hoax’. Tidak mungkin akan terjadi bahwa figur “Ahok-Veronika’ harus mengakhiri bahtera perkawinan mereka. Lebih lagi karena antara keduanya, ada 3 anak yang sudah dipercayakan Tuhan.

Tetapi apakah itu benar terjadi? Sebelum ada kabar pasti, kita hanya bisa menafsirnya, tentu saja dalam batas-batas argumentasi dan praduga. Di sana selalu ada kemungkinan mengais makna, meski yang terjadi sekalipun bahwa  kabar itu sungguh hoax. Selalu ada makna yang bisa dikais.

Tafsiran kita tentu bertolak dari  pernyataan yang pernah diucapkan Veronika serta dan ekspresi yang ditampilkan. Singkatnya, Veronika yang tidak menginginkan  agar Ahok berpolitik lagi. Tantangan yang dihadapi terlalu kejam. Ia sendiri merasakan perjuangan suaminya dari dalam. Segala pergulatan hidupnya adalah untuk rakyat.

Tetapi lingkaran kejahatan yang melingkupi terlalu besar. Apa yang dibuat dengan ‘hati nurani’ hal mana disaksikan sendiri Veronika, ditanggapi malah sebelah mata. Malah ia balik dijebloskan ke penjara.  Di sana Veronika tahu bahwa keterlibatan dalam politik tidak akan terus berlanjut demikian ketika kejahatan begitu kejam. Veronika sendiri mengangis saat menyaksikan suaminya harus dipenjara oleh alasan yang bagi banyak orang masih belum dipahami.

Ia lalu mengungkapkan apa yang sewajarnya didambakan semua perempuan dan keluarga adalah mengalami ketenangan. Ia tidak bisa menampik bahwa politik adalah kesempatan untuk membangun kesejahteraan umum (bonum comunae). Tetapi ketika lingkaran kejahatan itu terlalu lalim, ‘percuma’ untuk menabrak tembok.

Terlalu sadis. Veronika lalu mengungkapkan kerinduannya agar sisa hidup mereka dapat dinikmati dalam keluarga, sebuah harapan yang tentu saja tidak kosong. Berbakti selama 20an tahun sejak jadi bupati Belitung, anggota DPR RI, hingga Gubernur DKI dirasa cukup. Barangkali dengan mengutip Kitab Pengkhotbah (3,1-15), Veronika ingin sampaikan kepada Ahok: “Segala sesuatu ada waktunya”. Ada waktu untuk politik memperjuangkan bangsa dan negara, ada waktu untuk (kehangatan) keluarga. Sebuah tuntutan yang sangat logis.

Ungkapan itu semakin besar disampaikan terutama ketika sidang pengadilan menggiring Ahok ke penjara. Veronika lebih dari sekali mengangis dengan seduh. Ia tidak bisa tahan bahwa politik di negeri ini terlalu sadis. Ia semakin sadar bahwa melawan belum menjadi pilihan sekarang (barangkali nanti). Di sana Veronika menangis dengan begitu dalam.

Sekali lagi ia ungkapkan dan barangkali setiap kali mengunjungi Ahok di penjara (Brimob Kelapa Dua) tidak ada perkataan selain mengulang: “Jangan berpolitik lagi. Politik itu terlalu kejam. Kamu telah rasakan sendiri dan membiarkan keluarga juga menderita”, barangkali itu yang diucapkan Veronika. Veronika sudah  tidak bisa tahan lagi. Derita sudah terlalu kuat dan harapan semoga setengah tahun ke depan ketika akan keluar dari penjara, yang dialami adalah hidup ‘aman dan damai’ sebagai keluarga.Barangkali sebuah permintaan yang tidak berlebihan. Kondisi di luar masih terlalu kejam dan sadis. Barangkali perlu waktu jedah sebentar. Nanti, ketika Indonesia sudah lebih baik, Ahok bisa kembali lagi ke politik, barangkali itu permintaan Veronika kepada suaminya.

Ahok pada gilirannya makin menyadari bahwa di penjara, semua ide politik dijernihkan. Ia melewati hari-harinya dengan berdoa dan bermeditasi. Sabda Tuhan yang selalu ia banggakan semakin menuntuntunya untuk mencapai kebenaran yang ia nantikan. Tetapi juga kata-kata sang istri dan kerinduan anak untuk hadir bersama juga tentu tidak dilewatkan dalam permenungan. Dua pilihan yang sama berat.

Namun pilihan akhirnya harus dibuat. Lebih lagi ketika dari dalam ia saksikan sendiri Jakarta yang sudah dengan susah payah dibangun, kini justru berada dalam ketidakpastian. Ia sudah samapaikan saat kampanye, selama kepemimpinannya, ia bak ‘orang tua’ yang mendidik warga DKI untuk hidup disiplin. Sayangnya, ada yang sekadar memenangkan pilkada, berlaku bak ‘nenek dan kakek’ yang mau memanjakan cucunya dnegan hadiah tak mendidik,

Ia sudah Petinggi DKI lebih sibuk untuk mencari-cari kesalahan (lewat KPK DKI) sekadar demi membenarkan bahwa Ahok salah. Aneka laporan dari bawah tentang aparat yang tak becus. Selama masanya, ada ‘ketakutan’ (yang bisa juga tak sehat), tetapi itu berperan mendisiplinkan pegawai DKI yang sudah sangat dimanjakan dalam kelimpahan.

Juga aneka tangis warga yang tidak mendapatkan pelayanan seperti dialami zaman Ahok. Orang sakit tidak lagi dilayani tetapi dilempar-lempar. Belum lagi pegawai yang sudah kehilangan ‘rasa takutnya’. Kali-kali yang hampir pada masanya bisa dijadikan ‘cermin’ mengukur wajah diri, kini kembali pekat, bersamaan dengan minggatnya pasukan oranye.

Keadaan ini menjadikan Ahok untuk kembali pada komitmennya. Ia harus kembali ke politik. Ia harus kembali mengabadi dan menjadikan kebenaran meraja serta kebaikan itu dialami oleh rakyat kecil. Hanya itu kemauannya, sebuah kemauan yang keras, sekeras Ahok yang siap menabrak. Kepada Veronika Ahok mengatakan dengan jelas: “Pilih aku dengan konsekuensi kembali ke politik, atau memilih tidak berpolitik dan kamu jalani hidup sendiri, tapi anak-anak ada dalam didikan saya”.

Tekad Ahok ini berhadapan dengan ‘tekad’ Veronika yang memberikan ultimatum: “pilih aku atau politik. Aku, telah menjadi bagian hidupmu, dengan segala jiwa raga dan pengorbanan. Padaku ada cinta dan ketulusan yang memberimu rasa berarti. Sementara itu politik terlalu kejam yang sampai kini ternyata berbalik”. Sementara tentang hak mendidik anak, Veronika hanya tersenyum saja. Bagaimana mungkin keterlibatan dalam politik yang 100 persen masih bisa mendampingi anak?

Sebuah ultimátum yang tidak mudah. Sebuah perdebatan antara idealisme politik dan realisme hidup suami istri. Jadinya, Ahok mengajukan permohonan cerai. Permintaan itu barangkali disampaikan dalam kondisi pertimbangan yang matang. Tetapi juga Veronika tentu saja berharap, itulah Ahok yang ia kenal. Veronika lupa pula bahwa Ahok yang dulu dalam perkawinan akan berbeda dengan Ahok yang sekarang di penjara. Kalau di rumah, masalah itu akan cepat di selesaikan bersama dalam pelukan perdamaian. Kini, Ahok melwati malam-malam dalam putaran badan tak bisa tidur dan ia ambil keputusan untuk cerai.

Sebuah cerai dengan idealisme yang tidak mudah. Sebuah perceraian yang barangkali tidak pernah terjadi dalam sejarah di negeri ini, di mana karena idealisme dan realisme, keduanya memutuskan untuk berpisah.

Sebuah perceraian ‘historis’ yang tentu jauh sekali dari yang disebut ‘hadirnya orang ketiga’. Memang tafsiran akan adanya ‘orang ketiga’ yang disebut ‘good friend’ bisa saja ada. Tetapi kalaupun ada, itu hanya ditempatkan permintaan Veronika yang tak terpenuhi. Ia hanya merindukan agar bisa hidup sebagai wanita, istri, dan manusia pada umumnya, yang mengalami hal wajar seperti manusia lainnya. Ia hanya ingin berpikir realistis, ketika politik begitu kejam, ketika kejahatan begitu dianyam rapi dan berwajah ‘religius’, maka percuma meneruskan usaha. Pilihan terakhir adalah kembali kepada kehangatan keluarga.

Singkatnya kalau kita merangkai lebih jauh, meskipun ada ‘good friend’, atau ‘orang ketiga’, semuanya tidak bisa dilepaskan dari duel antra realisme hidup dan idealisme politik. Realisme mengajak untuk hidup yang ‘wajar’ saja, tanpa terlalu memaksakan situasi ketika hal itu belum bisa diharapkan. Inilah yang ada dalam benak Veronika (dan barangkali benak semua wanita).

Sementara Ahok juga memahami, permintaan untuk tidak berpolitik dari Veronika terlalu sulit untuk dipenuhi. Tapi ia tahu bahwa Veronika pun punya hak untuk bahagia. Sebuah kebahagiaan yang ingin dinikmati jauh dari politik. Bukan untuk dijauhkan sama sekali, tetapi minimal untuk sementara. Di sinilah masa yang tentu tidak mudah. Apabila alasan perceraian karena idealisme, maka tuntutan perceraian bisa jadi masa evaluasi. Veronika bisa memiliki waktu untuk menentukan pilihan apakah harus minggat dari politik atau harus pasrah-pasrahnya pada geliat politik Ahok.

Tetapi kalau perceraian itu bakal terjadi, maka keduanya akan masih terus dihormati. Sejarah mereka akan dijadikan kisah inspiratif bagi pasangan muda-mudi yang ingin menikah dan akan mengalami persoalan pelik kebangsaan seperti ini. Mereka terus disanjung karena alasan perceraian bukan karena egoisme, bukan karena selingkuh dan orang ketiga, tetapi karena negeri ini. ‘Bercerai karena bangsa ini’ (Robert Bala, 8/1 2018)/