Bangsa Mengantuk?

Bangsa Mengantuk?

Batam Pos 27 April 2007

Permintaan Presiden untuk membangunkan pejabat yang tertidur saat kuliah umum di Istana Negara (17/4), menarik untuk disimak (Kompas 18/4). Kita prihatin karena para birokrat telah melewatkan momen untuk mencerna pemikiran penting yang ditawarkan.

Menjadi tanya: apakah penyakit hypersomnia atau Excessive Daytime Sleepiness (EDS) bahkan narkolepsia yang menjadikan orang mudah mengantuk sudah begitu mewabah di negeri ini? Bagaimana memaknai gejala tersebut dalam iklim sosio-politik dewasa ini?

“Bless Twice”

Menarik perhatian pendengar (captatio benevolentiae) adalah bagian penting dalam retorika. Para orator klasik seperti Gorgias, Protagoras, dan Demosthenes, misalnya, melatih gestikulasi, menghiasi pidato dengan kata-kata yang indah dan tepat. Retorika tak pelak disebut juga dengan teknik menarik atau “techne logon” atau seni kata-kata. Tujuannya agar mengarahkan pendengar  (peithous demiourgos) pada topik yang dibawakan. Dari keberuntungan ekonomis bakal diperoleh sang orator.

Manipulasi seperti itu mendapat kritikan dari Plato. Ia menyebut kaum sofis (sophistai) sebagai “pelacur ide”. Mereka menjual kemolekan kata-kata demi mendapatkan uang. Pada sisi lain, Plato memuji sang gurunya,  Socrates  sebagai contoh orator yang baik.  Di sana aspek perasaan (pathos) dikemas secara utuh dengan ethos dan terutama logos.

Pada abad modern, pemikiran klasik kian diperkaya oleh ilmu psikologi. Sebab-sebab perilaku manusia dijadikan acuan mengembangkan oratoria. George Campbell dalam The Philosophy of Rhetoric menandaskan pentingnya memberdayakan aspek pemahaman (perlu dicerahkan), imanjinasi (harus disenangkan), perasaan (butuh digerakkan) dan kemauan pendengar (mesti dipengaruhi).

Inti oratoria, akhirnya bermuara pada tujuan untuk memuaskan baik pendengar maupun pembicara (bless twice), hal mana ditekankan Shakespeare. Yang satu merasa gembira setelah mengungkapkan kekayaan hidupnya yang dikemas dalam bahasa menarik dan menggugah. Yang lainnya merasa dihargai karena diundang untuk menikmati keindahan bahasa sambil diberi kebebasan untuk memilih.

Bila proses seperti ini dilalui, mustahil sebuah pembicaraan mendatangkan kebosanan. Pendengar yang gembira akan sulit menutup kelopak matanya dan tertidur. Matanya bakal melotot karena terpanah pada sesuatu yang indah.

“Obat Pemacu”

Dari perspektif retorika, SBY adalah seorang orator yang tahu “ars bene dicendi”. Pemikiran-pemikirannya selalu diungkapkan secara runtut. Artikulasinya jelas dan tegas.  Gestikulasi pun dikemas sangat sinergis. Karena itu ia benar ketika mempertanyakan minimnya antusiasme bawahan. Ini barangkali tanda bahwa dalam banyak hal ide gemilang SBY kandas justeru di tangan pembantunya. Mereka mudah tidur. Konsentrasi mereka tidak utuh. Dan berarti pemahaman, imajinasi, perasaan dan apalagi kemauan tidak tercurah sepenuhnya untuk menjadikan negara ini menjadi lebih baik.

Tetapi, fenomen “cepat mengantuk” bisa saja menjadi ekspresi penolakan terhadap gaya kepemimpinan SBY. Bisa dipahami. Pelbagai janji baik dalam kampanye maupun  pada masa kepemimpinan telah diucapkan. Hanya saja, realisasinya kian jauh dari harapan. Rakyat akhirnya dilanda keletihan dan kecapean yang menyebabkan ia mudah mengantuk. Sadar atau tidak, janji itu membuat rakyat yakin dan percaya. Ia bagai zat modafinil yang kerap digunakan para atlet. Mereka tampil kuat perkasa, memboyong penghargaan demi penghargaan. Sayangnya, sesudah jangka waktu tertentu, efek negatif berupa narkolepsia, yakni penyakit mudah tertidur akan muncul sebagai konsekuensinya.

Membangunkan

Rakyat negeri ini harus dibangunkan dari apatisme dan pesimisme, bukan hanya dengan kemolekan kata-kata ala kaum sofis, tetapi dengan contoh konkret hasil pembangunan. Ia yang melihat sesuatu yang indah, nyata, dan berhasil bakal percaya. Hatinya juga akan gembira saat merasakan sendiri kesejahteraan pada level mikro. Lalu, bagaimana?

Pertama, sejalan dengan arah retorika yang semakin “audience-centred”, SBY perlu lebih memfokuskan perhatiannya kepada masyarakat. Harus diakui, waktu yang telah lewat, energi cukup terkuras  (hingga capeh deh) untuk “komunikasi politik” dengan parpol. Kita patut menyambut semangat dialog seperti ini. Tetapi pada saat bersamaan, ketegaran dan egoisme parpol yang selalu ingin “didengarkan”, telah melewatkan waktu efektif yang sebenarnya dapat dibaktikan untuk kemajuan negeri ini.

Kedepan, pengalaman traumatis itu tidak mesti terjadi. Konsentrasi harus lebih utuh kepada rakyat. Selanjutnya, rakyat yang telah disapa, bakal membalas dengan dukungan tak terkondisi. Bahkan, bila suatu saat sang presiden “digugat” oleh trik parpol, “people power” akan bangkit berada di sampingnya.

Kedua, ethos dan logos (juga pathos) merupakan dua elemen yang menjadi acuan penilaian baik terhadap bawahan maupun kelak bakal dikenakan juga untuk SBY. Apakah para petinggi kita masih memiliki etika penakar baik burunya perbuatan dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur? Kisah pencairan dana pribadi yang melibatkan menteri, dan bencana akibat “human error” yang semakin kerap terjadi, adalah contoh lemahnya aspek etika dan kian sirnanya “logos” sebagai nilai yang mendasari tata tindakan kita.

Gejala seperti ini tidak hanya menjadi alasan resuffle (meski hal itu sangat penting), tetapi terutama terutama menjadikan SBY lebih yakin bahwa yang loyal dan dapat dipercaya di negeri ini, hanyalah rakyat.

Robert Bala. Diploma “Public Speaking” Facultad Filologia Universidad Complutense de Madrid-Spanyol. Sumber: Batam Pos 27 April 2007

Leave a comment