39. Menjembatani Keagamaan Populer

Menjembatani Keagamaan Populer

“Klerus, tak boleh terlalu jauh mencapuri devosi,” demikian pernyataan Raja Larantuka, Don Andre Martinus DVG Flores Bangkit 14 April 2015. Hal itu mengindikasikan adanya indikasi ‘ketaknyamanan’ untuk tidak mengatakan konflik antara klerus dan konfreria serta suku-suku semana.

Pertanyaannya: mengapa bisa muncul ‘ketaknyamanan’? Apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang harus dibuat untuk menjembatani hal ini?

“Tinggi” dan “Rendah”

Dalam artikelnya: “Asegurase que esta comunicado correctamente” (Make sure you’re gettig thorugh”, Evangelical Missions Quaterly April 1984, Norman Allison menampilkan perbedaan antara keagamaan popular (yang disebut juga agama rendah) dan keagamaan resmi (agama tinggi).agama populer

Hal mendasar yang dipertanyaakn oleh keagamaan resmi adalah asal usul alam dan makna dari kehidupan. Hal itulah yang dijawab dalam Kitab Suci. Petanyaan itu kemudian dijawab dan tertulis dalam Kitab Suci sebagai panduan resmi.

Kitab Suci Perjanjian Lama, terutama Kejadian misalnya menjawab asal usul manusia. Adam dan Hawa yang disebut sebagai manusia pertama dan kisah kejatuhan manusia awal menjawab hal ini. Itu berarti manusia pertama itu bukan pertama-tama sebuah data historis tetapi sebuah refleksi yang berusaha menjawab pertanyaan mendasar tersebut.

Hal itu berbeda dengan keagamaan popular. Ia lebih berkecimpung untuk menjawabi pertanyaan tentang kehidupan harian. Ia berusaha menjawabi masalah ‘harian’ tentang alasan penyakit, kejahatan, kekeringan, perang dan lain-lain.

Dasar tentang teks tertulis pun minim untuk mengatakan tidak ada. Keagamaan popular lebih didasarkan pada ‘kisah’, ‘kata orang’. Kisah tentang awal kehadiran Patung Tuan Ma di Larantuka misalnya dijawab Raja Tinus membenarkan hal ini. Ada versi bahwa ditemukan di Pantai Ae Kongga atau Pulau Konga. Di sini tidak dimaksud bahwa kisah itu benar atau salah tetapi kisah dan mitos itulah yang ‘memberi hidup’ pada sebuah keagamaan popular dan menjadi alasan untuk dipraktikkan begitu kuat.

Ada hal lain yang membedakan keduanya.Secara institusinal dan strutural, keagamaan resmi sangat jelas. Ia punya hirarki dengan jalur kepemimpinan dan koordinasi yang jelas. Sementara itu sebagai agama resmi, strukturnya sangat jelas dengan kepemimpinan dan otoritas yang jelas. Ia juga punya kode moral yang jelas.

Hal itu berbeda dengan organisasi agama populer. Ia lebih ‘merakyat’. Kadang dilakukan secara kolegial dengan hadirnya 3 pilar (yakni raja, konfreria, dan suku-suku semana). Ikatan organisatoris seperti ini bisa saja kuat ketika tiga elemen itu bersatu. Namun ketika ada konflik, tidak ada struktur di atasnya yang bisa memberikan ‘ultimatum’.

Konflik terbuka hal mana kerap terjadi dalam Gereja Protestan dapat menjadi contohnya. Di satu pihak, iklim kesederajatan itu lebih terasa. Tidak ada subordinasi dari mereka yang menganggap diri lebih tahu. Namun demikian ketika kesederajatan ini tidak dikelola secara baik hingga memunculkan konflik maka ia rentan terhadap friksi yang membawa pemisahan.

Dasar moralnya lebih pragmatis. Dalam konteks Semana Santa Larantuka, kepemimpinan lebih didasarkan pada tradisi. Meskipun ada statuta 25 Juni 1947 dari Uskup Hendrikus Leuven, SVD, tetapi hal itu datang kemudian.

Adanya perbedaan ini memberi kualifikasi bahwa agama resmi dengan struktur yang jelas dikategogrikan sebagai ‘agama tinggi’ oleh landasan tertulis dan pertanggungjawaban yang lebih sistematis. Sementara itu agama populer disebut rendah oleh praksis moralnya dan pijakannya yang lebih mitologis dan kisah turun-temurun.

Mengimbangi

Adanya perbedaan, mestinya tidak menjadi alasan untuk ‘dipisahkan’ antara agama populer dan agama resmi. Hal itu terjadi karena keduanya memiliki kekuatan dan kelemahan yang bila dipadukan, menghasilkan sesuatu yang lebih bermakna.

Praktik agama populer sebagaimana dilaksanakan di Larantuka misalnya bagi kebanyakan orang dirasa ‘lebih mengena’. Orang yang mengalami ‘kekeringan rohani’, sakit-penyakit, merasa lebih tersentuh dengan devosi dan prosesi. Lebih lagi hal itu bersifat ‘langka’ yang hanya bisa ditemukan di Larantuka.

Meski demikian, sebuah kerohanian mestinya tidak diobral dengan sekedar melaksanakan ritus tertentu sebagaimana ‘kata orang’. Ia perlu dikiritis oleh praktik gereja formal yang oleh pengalaman sejarah dan dasar tertulis memberikan orientasi yang lebih jelas.

Di sinilah peran klerus yang sangat penting. Mereka hadir dan membahas ‘inti ritus’ prosesi yang perlu dikritisi lebih jauh. Aneka pemahaman baru mestinya ditampilkan sehingga tradisi itu tidak keluar dari konteks yang sebenarnya. Hanya dengan demikian melalui praktik keagamaan populer seperti Semana Santa, dua sisi antara agama yang berdasar kuat dan praktik yang beralasan dapat bertemu demi semakin memberi bobot iman umat.

Kehadiran penting dari klerus tentu tidak serta merta dan secara otomatis menyelesaikan masalah. Dalam pengalaman ‘religiosidad popular’ (keagamaan popular) seperti yang dipraktikkan di Spanyol dan Portugal maupun bekas jajahannya di Amerika Latin, kerap memunculkan masalah. Hal itu terjadi karena masalah yang dihadapi di lapangan lebih kompleks.

Praktik prosesi itu telah masuk ‘dunia bisnis’ dengan nuansa kekuasaan yang begitu kuat. Organisasi konferia menjadi begitu kuat karena dibiayai oleh pemerintah lantaran menjadi aset wisata. Permasalahan yang muncul pun menjadi kompleks. Dalam perspektif ini, kehadiran klerus belum cukup. Pemerintah perlu ikut terlibat. Itu pun perlu disertai dengan perumusan wewenang jelas.

Namun keseimbangan tentu tidak sekedar dalam hal sistem tetapi harus melangkah lebih jauh. Prakti Semana Santa harus menjadi sebuah aset rohani yang dikelola secara baik dan benar. Praktik ritual yang begitu hidup misalnya menjadi bukti bahwa umat merasa bahwa agama resmi yang terlampau ‘ketat’ dan menekankan iman pada pendasaran yang kuat tidak saja cukup.

Keagamaan adalah menyangkut hati. Di sana ruang rasa perlu diberi ruang. Dialog mesti dibuka dan kepemimpinan yang lebih kolegial-dialogal hal mana menjadi sebuah kritik terhadap tendensi klerikal yang kerap disertai dosis keangkuhan tertentu yang nota bene kian dikritisi umat.

Pada sisi lain, kaum klerus perlu hadir menjadi penyeimbang dan pengkritis praktik keagamaan popular. Dengan wawasan yang lebih luas, mereka memberikan orientasi tentang model keberagamaan yang berakal yang nota bene juga menjadi pencarían manusia modern.

Pencarian akan Allah yang hidup dan mengena justeru kian menjadi kebutuhan manusia modern. Tetapi yang mereka cari tentu bukan sebuah kerohanian individual dan sementara tetapi sebuah keagamaan yang lebih mendasar yang memberi bobot hidup. Hal inilah yang mesti jadi permenungan. Hanya dengan demikian konflik berujung pada hasil positif.

Sumber: Flores Bangkit 18 April 2015

Leave a comment