19. Yang Gila, Siapa?

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Yang Gila, Siapa?

(Di Balik Kematian Pieter Lajar)
Sumber: Flores Bangkit, FLORESIANA 12/02/2014

Aneh bin ajaib. Di sebuah group Facebook, Ini Baru Lembata, seorang gila yang meninggal karena tertabrak sepeda motor pada Jumat, 7 Februari lalu, menjadi ‘hot news’ alias top berita. Di “Blok M”, salah satu sudut kota Lewoleba, tempat penjualan tuak, Pieter Ladjar, ‘orang gila itu’ tertabrak mati.

Yang mengherankan, mengapa ‘orang gila itu’ harus memenuhi sebuah media sosial, dengan angka ucapan turut berdukacita,  yang di hari keempat kematiannya saja, sudah mencapai 94 comments dan 193 likes. Kalau ‘trend’ itu terus berjalan dan ucapan selamat terus muncul maka ia bisa mencapai angka ratusan.

Mengapa tidak sedikit orang harus berduka kepada seorang gila? Apa kaitan antara ‘si Pieter gila’ itu dengan keadaan di Lembata? Pembelajaran apa yang bisa dipetik?

Menertawakan Kita

Peristiwa kematian Lorens Wadu  yang sejak tujuh bulan memenuhi Koran lokal dan terus menjadi pembicaraan masyarakat setempat, menjadi kian tak jelas. Perjalanan waktu tidak membawa kecerahan, hal mana bisa menunjukkan adanya tekad untuk mencapai penyelesaian.gila

Yang terjadi, seirama perjalanan waktu, masalah itu makin tak tentu arahnya. Proses yang tadinya begitu cepat dengan menahan para tersangka, perlahan memudar. Mereka yang tadinya menjadi tersangka bisa ‘lolos’ lagi karena selesai masa tahanan sementara bukti yang dikumpulkan belum kuat.

Hal itu mengindikasikan, proses penyidikan dilaksanakan secara serta merta, tanpa memberi tempat pada penyidikkan yang profesional. Masalah itu tentu tidak ditelusuri secara mendalam. Ke(tidak)profesionalan aparat keamanan telah membiarkan masalah yang ada tidak didalami dan sekedar ‘terkecoh’ pada hal-hal pinggiran yang memberi ruang untuk curiga telah terjadi kesengajaan.

Tanggungjawab aparat yang menjadikan masalah ini terkatung-katung tentu mesti diproses. Hal itu tentu tidak sekedar dipahami dalam arti disengajakan, tetapi juga membiarkannya sehingga menjadi tidak menentu sekarang ini. Keberangan massa saat demo di depan Polres dapat dipahami.

Tetapi itu pun mesti tidak terlalu diperbesar. Apa artinya polisi tanpa informasi dari masyarakat, demikian sebuah semboyan kepolisian AS. Artinya, sebuah masalah tidak akan menjadi kusam kalau tidak didukung oleh informasi yang cukup dan jujur dari siapa pun, terutama mereka yang mengetahui hal itu secara jelas.

Di sinilah informasi itu diharapkan hadir terutama dari lingkaran dalam keluarga. Ia dianggap tak terbantahkan. Dalam kenyataannya, informasi yang selalu berubah-ubah dan kerap tumpang tindih, membuat kejelasan yang diharapkan menjadi berkurang.

Lihat saja, pernyataan Dion Wadu putera almarhum dalam ‘curhatnya’ di depan Polres Lembata, tentang ketidakterlibatannya. Pada saat bersamaan, publik seakan sudah punya opini tersendiri yang mengaitkan dengan petinggi di Lembata. Informasi pun tumpang tindih.

Kesimpangsiuran pun menjadi bertambah oleh aneka ‘trik’ yang memanfaatkan kesempatan untuk tujuan lain. Dinamika pemilu legislatif menjadi salah satunya, dengan hadirnya ‘satria-satria’ pejuang kebenaran (katanya). Di sana kasus itu telah menjadi isu hangat yang diharapkan dapat membawa untung karena sukses menghadirkan pejuang itu sebagai pahlawan.

Atau kehadiran mantan Bupati Lembata, Ande Duli Manuk dalam demo itu juga hal lain.  Sebagai orang tua, tentu saja ia bisa meneguhkan demi mencapai jalan keluar. Tetapi kisah mirip tentang kematian Langoday, yang melibatkan putrinya Erny Manuk, meski tidak ada kaitan dengan kasus Lorens Wadu, tetapi bisa membuat bingung. Kita lupa begitu cepat.

Bukan Saya

Tragedi kematian Lorens Wadu yang sudah cukup melelahkan itu akhirnya bermuara kepada satu pertanyaan hal mana menjadi inti dari tulisan ini: Dalam kasus ini siapa yang salah dan siapa yang gila?

Mempersalahkan orang lain sudah menjadi warna umum hal mana membuat kasus ini berkembang seperti ini. Profesionalisme polisi dipertanyakan dan benar juga kalau dipersalahkan sebagai salah satu penyebabnya. Independensi dalam kasus ini terlihat belum meyakinkan.

Tetapi semuanya tdiak bisa dibebankan kepada kepolisian sebagai alasan tunggal. Perubahan kesaksian dan penandatanganan BAP entah dipaksakan atau tidak, memberi ruang untuk dipertanyakan. Artinya, apakah begitu mudah bagi orang Lembata yang hanya karena menghindari dari kekeresan fisik dan terpaksa mengakui keterlibatannya?

Atau, upaya mengarahkan Vinsen Wadu sebagai aktor intelektual apakah bisa disebut final kalau ia sendiri sebenarnya tidak bisa menghidupi dirinya, lalau bagaimana ia bisa membayar pembunuh jutaan rupiah. Hal ini hanya memberi penekanan bahwa adanya ‘aktor intelektual’ yang sayangnya akan sulit dikejar karean rancangannya itu begitu halus dan matang.

Jelasnya, seakan terungkap tentang tidak adanya yang bersalah. Setiap orang mengklaim dirinya benar hal mana membuat masalah itu tidak menjadi jelas malah kian kabur. Justru dalam kesimpangsiuran itu seorang yang gila tewas mengenaskan.

Tentu saja tidak ada kaitan sama sekali. Tetapi bila sedikit dipaksakan, maka bisa diambil inspirasinya. Yang dimaksudkan, Pieter yang ‘gila’ itu bisa dipuji karena keberaniannya untuk mengakui dirinya ‘gila’. Hal itu tentu tidak sekedar karena keberanian tetapi mengutip Weihoui Zhou, hal itu menunjukkan inteligensi saat menulis: Crazy people are considered mad by the rest of society only because theri intelligence isn’t understood’.

Yang dimaksudkan, saat terjadi demo di depan Polres Lembata, Piter bahkan mengungkapkan hal yang secara lepas tetapi kini memberikan bahnya hal untuk dipikirkan. Sambil menatap ke arah Polres Lembata (tempat para tersangka atau terpidana berada, juga tempat para penyidik reskrim beraksi), ia berkata tanpa berpikir: “Lebih baik menjadi gila seperti saya, dari pada seperti mereka yang membunuh orang”.

Di sana, kegilaan seorang gila justru membuat kita yang  mengakui diri ‘normal’ mempertanyakan normalitas dan kewarasan kita. Dalam tragedi Lorens Wadu, siapa yang gila? Pieter? Ya, ia sudah gila. Tetapi kita? Keluarga punya kisah pilu? Polres yang membiarkan kasus ini menjadi belum jelas malah kabur? Pemda Lembata yang belum hadir membawa kejelasan. (Bersambung)

Flores Bangkit 12 Februari 2014

Leave a comment