ATADEI, BERJALAN PULANG


ATADEI, ‘BERJALAN PULANG’’

Saya tidak tahu, kapan ‘pertama’ dan ‘terakhir kali’ saya ke Atadei. Seingat saya sekitar tahun 70an. Bilang saja tahun 1976, saat masih di kelas 2 SD. Bersama bapa Bol Iga, kami melompat dengan lincah melewati bebatuan. Kami juga harus memperhitungkan ombak untuk bisa melewati bebatuan yang adalah jalan licin yang sesekali dibasuh ombak ganas.

Kini, pengalaman itu mau diulang. Bertetapatan dengan Natal di Dulir, sebuah kampung dengan seribu kisah. Kelihatannya ‘aneh’, saat orang selesai misa Natal siang, harusnya bersalaman keliling kampung sambil disuguhkan sirih-pinang, sedikit tuak (kalau boleh arak). Ada yang dapat suguhan ekstra, gulunagn tembakau yang dilekat di kulit mulut demi menikmati tarikan nicotinenya.

Tapi kelihatan harus beradu antara kesempatan yang bisa saja tidak terulang lagi. Menginjak Dulir kalau bukan sekarang, tidak tahu kapan lagi. Saya sendiri sudah 22 tahun yang lalu ke Dulir, kalau tidak salah tahun 1996.

Makanya, setelah misa, dan makan siang yang kepada para tetamu disodorkan bukan potongan ikan tetapi ‘seekor ikan penuh’. Sambil bergurau, Bapa Bol Iga berkata: “Inilah cara orang Dulir menerima tamu”. Dari cerita, sejak kemarinnya, maki Ado Nunang sudah menanti. Kebetulan sudah sebulan sebelumnya kami sudah ‘chatingan’ buat menyiapkan hari yang tak terlupakan nantinya.

Melalui cerita, sehari sebelumnya, 4 bersaudara, putera bapa Bol Iga ke laut dan pulang dibuat bahu tak mampu memikul ikan. Untung saja, karena di hadapan sang penyayang penyu, maki Ado Nunang, penyu hanya bisa ‘dielus’, sambil dengan ‘under water camera’, si Ado mengucap selamat mengarungi laut sawu nan ganas.

Melewati Bebatuan

Untuk ke Atadei, sebenarnya tidak akan terlalu lelah kalau dilakukan perjalanan pada dini hari, sekitar jam 5 agar bisa sampai dan menikmati ‘sunrise’ di Tanjung Atadei. Perjalanan cepat 1 jam pagi hari dari Dulir sebenarnya pas. Tetapi kami yang harus melewati siang yang terik, harus melewati 1,5 jam.

Panas luar biasa. Dari kejauhan terbentang fatamorgana. Memang jarak pandang bisa menipu. Tanjung Atadei kelihatan dekat dipandang. Tetapi harus melewati tanjung berdekatan dan lekukan bebatuan. Dari jarak sekitar 2 km, nyaris ditemukan tanah. Kita harus meloncat di atas batuan besar dengan jejak yang tentu tidak bisa ditemukan karena dengan cepat dihapus ombak.

Untung saja air yang kami bawa cukup. Meski dengan rasa sedikit ‘hambar’, tidak seperti air biasanya, tetapi untuk menyembuhkan dahaga, tentu cukup baik. Terhitung tiga kali kami harus berhenti, bersembunyi sedikit di balik bayang batu besar yang sekaligus dibantu oleh angin laut. Meski tidak terlau ideal, tetapi untuk ukuran pantai Atadei, hal itu sudah maksimal.

Mendekati Batu Atadei, kelihatan tantangan semakin besar. Harus merangkak mencari ruang untuk bisa melewati bebatuan yang ada. Untung saja pasang surut sehingga kami terbbantu melewati pantai tanpa harus menunggu gulungan ombak yang memberi ruang untuk lewat.

Semua terbayar. Batu dengan ketinggian 3 meter (kalau tidak salah) itu cukup megah berdiri. Ia berdiri menunduk, seakan mengajak para pesiarah untuk terus menundukkan kepala ketika berhadapan dengan alam. Dengan alam, manusia tidak bisa pongah menunjuk kelebihannya. Ia harus menunduk, berdiam, sambil dengan rendah hati memohon agar alam bisa membuka rahasia penuh makna.

Tapi bila melihat bagian atas, bisa tertangkap kesan, seakan batu Atadei (orang berdiri), agak bosan melihat manusia. Ia seakan enggan melihat kepongahan itu. Ia tidak ingin tatap mereka yang angkuh pada alam. Dua tafsiran yang bisa saja benar, tergantung suasana hati orang yang merefleksikannya.

Batu itu, berdiri bisu di antara jutaan ton batuan megah dengan panorama alamiah. Ia seperti batu ukiran. Atadei justru menyajikan batuan dengan ukiran yang semuanya indah. Dari posisi mana saja bisa terlihat pandangan indah nan alamiah. Tinggal saja dari sudut pandang mana orang bisa memaknainya. Ada yang lihat sebagai batu tengkorak, perahu, termasuk Batu Atadei.

Tidak jauh dari Batu Atadei, ada juga “Mik Liang”, (gua kelelawaar) gua alamiah tempat banyak sekali burung bisa bersarang. Di sana bebatuan ribuan juta kubik bediri, saling sambung menyambung membentuk dinding tak tertaklukkan.

Dari semua batuan itu tentu yang paling menyapa dan menggugah adalah batu Atadei. Batu simbol orang yang terus ‘berdiri’ karena di situ daerah bencana. Mereka hidup di atas cincin api (ring of fire), di dmana di dalamnya sudah ada api yang siap menyala kapan saja, menyembur kegarangannya yang akan mengusir pergi (lari) penghuninya.

Sebagai batu ‘berdiri’, tentu ia tidak saja mengajarkan tentang ‘seni’nya berlari. Kita berlari ketika alam mengamuk, tetapi ketika sudah redah, kita harus kembali lagi dan kemudian harus siap untuk lari lagi. Kami kini datang ke Atadei datang tidak dengan berlari tetapi dengan ‘berjalan’ santai. Tentu saja ada harapan, saat berjalan pulang, ada nilai yang perlu digali dari sana: kemurahan alam, kerendahan hati, kesederhanaan, sekadar menyebut beberapa nilai.

Berjalan Pulang

Bagi yang ke Atadei, menyaksikan batu atadei alias (orang berdiri), akan tertegun. Ia tertegun karena batu yang terus berdiri adalah ekspresi sikap ‘sigap’ dan siap. Orang yang sigap karena bencana alam (gunung meletus) adalah sebuah keharusan. Letak di daerah bencana. Dari jarak 3 km sebelah Barat, ada gunung Adowajo, sebuah pegununga parasiter yang terus beranak pinak.

Sementara tidak terlalu jauh darinya, ada gunung di bawah laut, Hobal yang ketika siklus mencukupi, ia menyemburkan letusan magma panas yang mematikan semua penghuninya. Ikan-ikan akan berhamparan di pinggir pantai karena tidak sanggup menahan panasnya laut.

Atadei adalah batu yang menyingkap pesan tentang orang yang diajarkan agar tidak usaha melihat ke belakang, apalagi meratapi bencana. Bencana sudah menjadi bagian. Karena itu harus terus berlari, melihat horizon ke depan dan segera menyelamatkan diri dan kemudian menata kembali kehidupan.

Masala lalu biarlah masa lalu, demikian sebuah lagu dangdut, mengajarkan bahwa pengalaman masa lalu tidak perlu ditangisi. Yang penting adalah kecekatakn berlari menggapi sebauh kehidupan baru.

Itu ‘barang biasa’, kata orang-orang Atadei, khususnya Paroki Lerek yang sudah terbiasa dengan bencana. Harusnya tidak perlu tangisi karena bencana itu hanya sebenatar. Berlari hanya untuk menyelamatkan hidup. Tetapi ketika bencana redah, kita perlu kembali lagi, berjalan pulang. Itulah yang terjadi dengan semua anak Dulir, Paroki Lerek, agar setelah ‘berlari’ entah karena bencana alam atau karena tuntutan hidup dan masih selamat, maka ada waktunya harus pulang. Pulang setelah keadaan redah.

Di sinilah makna Natal. Natal adalah ‘berjalan pulang’, berbeda dengan bencana alami (kari bencana) di mana orang harus berlari. Natal adalah kesempatan untuk pulang berbagi kasih. Tetapi tidak saja berbagi kasih, pulang juga untuk belajar dari kebijaksanaan orang-orang kampung yang dengan hati terbuka menerima kembali setiap anaknya yang ingin pulang.

Kisah itu yang barangkali tercermin dalam perjalanan pulang Maria dan Yusuf. Mereka terpanggil pulang. Kepulangan yang tidak tertatih-tatih dengan berlari tetapi dengan berjalan perlahan. Jalan mereka pun semakin perlahan karena Maria telah hamil dan tidak bisa berlari. Mereka berjalan sambil menerima tugas mulia menjembatani rencana penyelamatan Allah melalui kelahiran Yesus.

Natal seperti di Dulir karena itu, bagi anak rantau, tidak saja kembali tetapi juga menimbah kembali kekuatan. Kita kembali sambil ingat bahwa orang yang hebat bukan mereka yang sanggup berlari menghindari bencana tetapi keberanian untuk berjalan pulang untuk menimbah kembali kekuatan sambil memupuk kebersamaan untuk kembali membantu kampung halaman.

Berjalan pulang ke kampung bisa diungkapkan dalam banyak hal. Keberanian untuk kembali saja sudah sebuah langkah maju mengingat ada yang setelah ‘lari’, karena kesibukan, tidak bisa pulang. Tetapi tentu lebih lengkap ketika berjalan pulang disertai makna. Kebersamaan membangun kampung halaman menjadi hal nyata yang bisa dilakukan dalam kebersamaan mengingat melakukannya secara sendiri adalah pekerjaan yang tidak ringan.

Inilah pesan yang bisa saya tangkap kali ini, dalam perjalanan ‘pulang’ ke Atadei. Inilah perjalan berharga. Saya tangkap pesan itu dalam kebersamaan. Mak Ado Nunang dan keluarga besar (Bapa Boli dan Kaka Gelu). Luku Mili (bersama maki Rosis dan ama Kopong), Sekon (dan maki Philipus) dan Dionisia yang telah menemai perjalanan pulang. Keponakan Mikel, Naris, Kedang, yang telah menemani perjalanan ke Atadei, untuk menimbah kekuatan dari Atadei. (Tanjung Atadei, 25 Desember 2018).