CERAI KARENA (TERLALU) GEMBIRA


CERAI KARENA (TERLALU) GEMBIRA

Inspirasi Mukjizat Perkawinan di Kana

Sudah banyak kali saya mendengarkan bacaan tentang Mujizat pertama di Kana Galilea (Yohanes 2, 1-11). Tetapi baru hari ini saya sadar karena terpanah pada informasi yang cukup jelas tanpa berputar-putar dari Maria kepada Yesus. Bukannya ‘mereka kekurangan anggur’, yang menandakan ‘peringatan’ akan habisnya anggur. Tidak. Maria langsung menyampaikan keadaan fatal yang tengah dihadapi: ‘mereka kehabisan anggur’.

Kata-kata ini seakan mengena begitu kuat bagi keadaan dewasa ini. Begitu banyak keluarga tidak saja sedang ‘kekurangan anggur (cinta)’, tetapi bahkan mereka ‘kehabisan cinta’. Perceraian atau perpisahan menjadi jalan yang begitu nyata, meski demi anak, ada pasangan yang  bersandiwara di hadapan anak-anak agar kehabisan cinta itu tidak dideteksi oleh anak-anak. 

Pilihan perceraian atau minimal ‘pisah ranjang’ menjadi hal yang cukup nyata. Di sana kita bertanya, mengapa bisa terjadi krisis demikian? Mengapa bisa terjadi ‘perceraian’ padahal Gereja tidak mengizinkan hal itu? Apakah penderitaan begitu dahsyat dan tidak tertahankan? Apakah masalah begitu silih berganti sehingga mereka tidak mampu lagi?

Saya merasa, setiap pasangan sebelum memasuki bahtera rumah tangga, sudah tahu bahwa penderitaan dan kesusahan akan menjadi bagian yang tak terpisahakan. Perpaduan dua pribadi dengan karakter berbeda dalam satu rumah tangga akan melewati proses yang tidak mudah. Kesulitan mulai dari perpaduan karakter, ekonomi, masalah dalam mendidik anak yang dipercayakan, merupakan hal yang dapat menghadirkan masalah.

Jelasnya, pasangan telah menyiapkan diri. Memang kadang muncul shock, tetapi itu terjadi karena penderitaan itu datang terlalu cepat atau lebih berat dari yang diperkirakan. Tetapi penderitana itu sudah bisa diantisipasi. Hal ini memunculkan keyakinan bahwa orang tidak pernah mau pisah ranjang sampai cerai karena penderitaan.

Lalu mengapa orang mengalami krisis dan ingin mengakhiri kehidupan perkawinan? Saya yakin (minimal dalam pengalaman hidup saya), perceraian bisa terjadi karena kebahagiaan yang tidak dikelola. Jadi perceraian terjadi karean kebahagiaan yang tidak ditata. Jelasnya, orang bisa bercerai karena justru terlalu berbahagia.

Mengapa bisa terjadi demikian? Kebahagiaan mestinya diayakini juga ada terus seperti adanya penderitaan. Artinya, sebagaimana penderitaan itu terus ada, demikian juga kebahagiaan. Ia akan terus ada. Ia akan silih berganti dengan penderitaan.

Yang terjadi, kerap kebahagiaan itu dirasakan secara berlebih-lebihan. Kehidupan seksual, keberuntungan ekonomi, kebahagiaan karena mendapatkan rezeki, kerap dialami secara berlebihan seakan tidak ada lagi hari esok. Banyak keluarga yang ketika ‘ketiban rezeki’, tanpa berpikir panjang langsung terlibat dalam ‘pesta pora’ untuk menggambarkan kegembiraan tanpa henti. Mereka melakukan apa saja tanpa memperhitungkan risiko yang bisa muncul.

Mereka tidak menata agar kegembiraan dan kesuksesan itu dialami secara ‘sewajarnya’. Masih ada hari esok. Dalam kehidupan ekonomi bisa diartikan agar orang tidak boros. Segala pengeluaran dilakukan sewajarnya. Kebahagiaan dikelola agar tidak dirasakan dan dilewatkan secara berlebihan.

Yang terjadi, banyak yang menikmati kebahagiaan itu tidak terukur. Tuan pesta dan terutama pelayan-pelayan tidak memperhitungkannya. Mereka salah dalam perhitungan. Mereka bahkan ikut terhanyut dalam pujian dan sanjungan para tamu akan enaknya anggur yang disajikan. Mereka mengeluarkan semua yang dimiliki tanpa memperhitungkan lamanya pesta dan banyaknya undangan. Mereka bahkan tidak memberitahukan adanya kekurangan anggur, tetapi melakukannya sampai tidak ada lagi persediaan.

Itulah yang terjadi dalam hidup perkawinan. Pasangan suami istri tidak mengelola kebahagiaan dan kemujuran cinta mereka. Hidup awal perkawinan dilewatkan seakan tidak ada lagi hari esok. Hadiah dan kemujuran yang diperoleh dihabiskan. Di sana akhirnya mereka terkejut bahwa perkawinan itu akan berakhir karena kegembiraan mereka yang berlebihan, lupa bahwa masih ada ribuan hari di depan yang mestinya mendorong mereka agar lebih bijaksana dalam mengelola kegembiraan itu.

Harapan

Perkawinan di Kana terus inspirasional dengan pembelajaran berharga yang bisa dimaknai.

Pertama, banyak pasutri, juga terlalu larut dalam kegembiraan itu dan ketika terkejut, mereka sudah berada pada kondisi fatal hidup tanpa  cinta’. Di sini terlihat bahwa kegagalan itu tidak disebabkan oleh siapa-siapa (termasuk orang ketika) tetapi terjadi karena mereka terlalu terlarut dalam kegembiraan sampai lupa bahwa model kenikmatan itu ibarat meminum air laut: semakin diminium semakin haus.

Mereka lantas terkejut ketika kondisi perkawinan mereka sudah di ujung jurang. Tidak ada pilihan lain selain mengakhirinya. Atau perkawinan itu dilanjutkan dalam keadaan ‘seolah-olah bahagia’ demi mengelabui orang lain dan tidak melukai anak-anak. Jelasnya, gagalnya perkawinana itu karena salah urus dan salah kelola kebahagiaan.

Kedua, keberanian mengomunikasikan kondisi rumah tangga (kehabisan cinta) mestinya diikuti keinginan bahwa ada pertolongan yang bisa diberikan. Mereka memiliki harapan bahwa perkawinan itu masih bisa diselamatkan. Komunikasi Maria kepada Yesus diletakkan dalam aspek ini. Sebuah informasi akan ‘kehabisan anggur’ menjadi sebuah permohonan agar dilakukan jalan keluar.

Ibarat melihat sebuah gelas yang kosong, bagi orang yang pesimis akan melihat kondisi itu sebagai hal fatal. Ketiadaan cinta juga bisa dilihat sebagai sebuah musibah.

Tetapi tidak sama halnya dengan orang yang melihatnya secara positif di mana gelas kosong itu harus diisi dengan air. Jelasnya mereka tidak meratapi kekosongan tetapi terdorong untuk mengisinya. Kekosongan itu adalah sebuah peluang.

Di sini yang kerap terjadi. Banyak pasangan yang mengomunikasikan kekosongan cinta mereka bukan untuk mendapatkan jalan keluar tetapi hanya ingin agar perkawinan itu diakhiri. Mereka mengomunikasikan itu hanya ingin mendapatkan bantuan bagaimana caranya agar anak-anak mereka tidak menderita oleh ketidakharmonisan mereka. Atau malah mereka lebih prihatin untuk bicara, bagaimana pembagian yang bijaksana atas harta ‘gono-gini’ yang masih mereka miliki. Sebuah maksud yang berbeda yang menjadikan kondisi ‘kekosongan cinta’ itu tinggal tunggu mengering dan bukan kembali diselamatkan.

Bunda Maria justru melihat hal ini secara positif. Informasi ketiadaan anggur segera diikuti dengan imperatif tentang apa yang harus dilakukan. Upaya menyelamatkan perkawinan pasti diikuti dengan perintah untuk memperbaiki atau paling kurang menyiapkan apa yang diperintahkan.

Di sana tidak ada penyelamatan tanpa pengorbanan, minimal menyiapkan bahan dasar berupa air putih yang bisa diartikan sebagai kesediaan. Mukjizat hanya bisa terjadi kalau ada kesediaan. Tanpa kesediaan diri, niscaya dapat terjadi mukjizat.

Ketiga, mukjizat di Kana tidak dilakukan di luar tempat pesta hanya untuk ‘menyaingi’ apalagi mempermalukan tuan pesta. Mukjizat itu terjadi dalam rumah tuan pesta, di gudang tempat penyimpanan anggur.

Hal itu sangat inspiratif. Setiap permasalahan kehidupan berumah tangga tidak pernah diselesaikan di luar rumah dan apalagi dengan orang selain pasangan. Mukjizat hanya terjadi ketika kembali ke rumah untuk menyelesaikannya di rumah.

Inilah hal yang kerap dilakukan tanpa disadari. Permasalahan internal dikomunikasikan ke orang lain tetapi lupa bahwa ia hanya bisa diselesaikan secara internal. Meminta nasihat kepada orang lain tentu boleh-boleh saja. Tetapi setiap nasihat biasanya akan dikembalikan kepada keduanya, suami dan istri untuk saling membenahi satu sama lain.

Kembali ke rumah tentu juga tidak sekadar ‘ada bersama’ tanpa sebuah komunikasi. Karena hal itu menyangkut masalah cinta maka doa bersama merupakan langkah yang sangat penting. Duduk bersama, memeriksa batin, membuat refleksi diri dan membangun tobat yang sungguh. Komunikasi dengan melibatkan Tuhan akan selanjutnya disertai imperatif, ajakan untuk mengadakan tindakan pembaharuan yang dilakukan secara tulus demi menyelamatkan perkawinan itu.

Kisah inspiratif berikut bisa saja tidak benar terjadi seperti dikisahkan. Tetapi maknanya bisa diambil.

Dikisahkan, seorang suami yang tengah mengalami konflik berumah tangga, kelihatan sangat asyik di sebuah pusat perkotaan. Dia tengah asik mencari kunci rumahnya yang hilang.

Melihat bahwa pencarian itus udah agak lama, maka seorang bapak yang sudah sepuh datang menghampiri hendak menawarkan pertolongan. “Pak, apa yang sedang kamu cari?” “Bisakah aku ikut membantu”. Dengan lantang, sang bapak yang lagi mencari kunci itu menjawab: “Terimaaksih banyak atas tawaran bantuannya. Saya kehilangan kunci”.

Ia pun ikut mencarinya. Tetapi karena tidak juga mendapatkan kunci yang hilang, ia lalu bertanya: “Boleh tahu, kira-kira saja, di mana tempat kamu menghilangkan kunci itu, kalau boleh tahu”. Jawab sang bapak itu “Saya tahu kunci itu hilang di rumah saya”, karena saat saya keluar dari rumah, saya sudah mencari-cari kunci itu”.

“Lalu mengapa kamu mencarinya di tempat umum seperti ini”, tanya sang kakek bingung. Jawab sang bapak itu: “Saya mencari di sini, karena di rumah saya gelap”.

Setiap permasalahan ada jalan keluar, tetapi jalan keluar hanya bisa ditemukan di tempat di mana kita lakukan hal itu. Sebagaimana mukjizat dilakukan di tepat pesta, masalah keluarga, termasuk kegembiraan yang ingin diperoleh kembali hanya bisa ditemukan di dalam rumah sendiri. (Robert Bala, Selamat berhari Minggu 20 Januari 2019).