9. LIKA-LIKU MEMBONGAR LKF MITRA TIARA

Lika-Liku Membongkar “Mitra Tiara”

(Bagian Pertama)

Dengan tertangkapnya Niko Ladi, bos Mitra Tiara, di Jatiluhur Purwakarta, 14/3 yang lalu, aneka harapan muncul. Paling kurang bagi nasabah yang sudah lama menantikan hal ini.

Tetapi apakah mungkin si (biangke) Ladi mengembalikan semua ‘simpanan’ itu? Sebelum pertanyaan ini dijaab, penulis mengajak pembaca menelusuri proses membongkar LKF Mitra Tiara. Hal ini penting untuk melihat implikasi yang muncul dan tindakan pembelajaran yang bisa dipetik.

Semua ‘dibohohi’

Tanggal 26-28 Juli 2013, penulis berksempatan berada di Nagi Tanah dalam rangka workshop guru tentang Kurikulum 2013 (27/7). Di sela-sela kegiatan, penulis mengisi kesempatan mengunjungi sanak keluarga.NIKO LADI

Niko Ladi, ditangkap setelah buronan selama 18 bulan. Selama itu Niko Ladi antara ditangkap / tidak. Setelah segalanya diambil, akhirnya ditangkap di Jatiluhur 14/3 2015.

Di antara banyak kisah, harus diakui, yang paling menarik perhatian adalah kisah pesona ‘tabungan dengan bunga 10% per bulan atau 120% per tahun’ yang di bawah Lembaga Kredit Finansial Mitra Tiara.

Beberapa orang mengisahkan, besaran tabungan mereka antara 10, 20, 50, malah ada yang 200 juta rupiah. Karena begitu terpesona, malam itu (27/7) saya minta diantar melihat dari dekat LKF Mitra Tiara yang letaknya di ketinggian kota Larantuka.

Sepi malam itu. Dari atas kantor, saya melihat kota Larantuka begitu damai dan sunyi-senyap. Terpikir, warga Larantuka selalu ingin cepat tidur karena besoknya, ketika bangun, ia membayangkan, uang tabungannya sudah ‘beranak-pinak’ menghadirkan rezeki tak terkira.

Kisah pengenalan awal itu, tidak membuat penulis habis pikir. Setelah balik ke Jakarta, ‘insting’ investigatif menuntut agar masalah ini segera diselidiki. Dari begitu banyak literatur maupun pengalaman kisah serupa, ditarik kesimpulan, apa pun penjelasan tentang ‘sahnya LKF Mitra Tiara’, ia telah melangkahi prinsip-prinip logis dan akal sehat.

Sayangnya, ibarat kelamaan berada di toilet, orang yang ada di dalamnya tidak mencium lagi baunya. Mereka semua ‘terpesona’. Memang pemerintah iktu memperingatkan warga, tetapi apa jadinya sebuah peringatan. Padahal semestinya pemerintah nan bijak harus menyetopkan ketika akal sehat sudah tidak diberi ruang. Tidak ada pilihan.

Ruang kritis Gereja pun (seakan) absen. Memang ada seruan kepada umat tetapi yang tidak kalah, beberapa biara (sebagai institusi) juga biarawan-biarawati, pastor ikut minimal mendukung atau malah menabung. Saya teringat, di sore 26/7 2013, ketika sempat mampir di sebuah biara, dengan gembira seorang biarawan sharing bahwa mereka pernah tabung Rp 300 juta tetapi sudah diambil semuanya. Ini bukti ‘dari tabungan’ itu, kata sang berjubah dengan bangga.

Masyarakat (nasabah) lama pun sudah ‘terhipnotis’ akan keuntungan yang diperoleh. “Kami sudah merasakan manfaatnya”, kata yang sering terdengar dari mulut nasabah lama. Memang, mereka telah ‘menikmati hasilnya’. Aneka usaha dilakukan. Gairah konsumtif begitu menggeliat. “Beli ini bisa, beli itu ok”.

Sayangnya, mereka tidak sadar bahwa bunga yang diperoleh adalah dari uang mereka juga. Atau keuntungan berlipat ganda justeru hadir dari aksi ‘makan-memakan’. Nasabah lama meningkatkan promosi dan kesaksian menambah nasabah lama, darinya mereka semakin ‘goyang kaki’ menikmati ‘anugerah’ yang katanya merupakan hibah dari luar negeri.

Bongkar atau Tidak?

Tetapi apakah harus membongkar pembohongan ini atau sekedar berseru (seperti para pastor yang berseru di Gereja dan juga pemerintah yang ikut mengingatkan warga)?

Ini adalah pilihan yang sulit. Membongkar, berarti membuat derita banyak orang, tidak sedikitnya adalah orang yang dikenal. Terbayang, mereka akan sangat menderita. Mereka telah menyimpan segalanya. Ada yang bahkan meminjam di Bank BRI atau bank lainnya demi mendapat rezeki di Mitra Tiara. Ada pegawai negeri yang menggadaikan SKnya (siapa tahu, harga diri juga ikut tergadaikan).

Di sinilah keraguan itu muncul. Tetapi tidak membongkar, juga berisko sangat besar. Animo masyarakat sudah tidak terbendung lagi. Tingkat tabungan akan bertambah secara spektakular. Semua orang ingin jadi kaya dengan kerja yang sangat sedikit. Itu berarti dana yang saat itu 500 miliar, dalam perkara minggu dapat berlipat ganda.NIKO LADI DITANGKAP1

Membongkar pembohonan di LKF Mitra Tiara adalah pilihan yang sulit. Lebih mudah memilih jalan ‘aman’, diam. Tetapi pilihan dan komitmen mendorong agar kasus ini harus dibuka biar kepalsuan terlihat.

Sebuah keputusan pun diambil untuk membongkar. Tetapi tindakan membongkar yang dilakuakn pun elok, dalam koridor tetap menepatkan LKF Mitra Tiara sebagai lembaga (yang kalau kredibel) punya peran positif. Artinya, kalau LKF Mitra Tiara, benar-benar sebagai ‘lembaga terpecaya’, ia akan tahan ketika digugat oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lebih lagi karena ‘permainan saham’ digembar-gembor sebagai sumber ‘dana itu’.

Atas dasar ini, penulis memberikan laporan secepatnya ke lembaga ini. Laporan pun dilakukan pada minggu keempat Agustus, yang dengan segera ditanggapi. Proses investigasi dari OJK berjalan sangat cepat dan responsif hingga pada pertengahan September telah terdapat tindak lanjut. OJK meneliti proses dan segera berhubungan dengan pemerintah (yang selama ini diam dan hanya ‘menasihati) untuk ambil tindakan.

Terlihat dengan segera, ‘goyangan’ OJK menjadi bukti. Sesungguhnya yang ada selama 4 tahun di LKF Mitra Tiara adalah sebuah investasi bodong. Mulut manis Niko (si biangke) Ladi begitu mudah menghipnotis warga. Lebih lagi ketika kemurahan hati ‘diberkati’ oleh kaum ‘religius’ yang mendukung lantaran oleh simpanan itu tidak sedikit aktivitas keagamaan dapat terbiayai.

September 2013, karena itu merupakan titik puncak. Tanda kehancuran sebenarnya sudah bisa dipastikan. Sayangnya, kesadaran akan pembohonan itu (bahkan sampai kini) tidak dipercayai. Masyarakat bahkan memersalahkan tindakan kritis sebagai siap ‘iri hati’ pada keuntungan yang diperoleh dari LKF Mitra Tiara.

Ketidaksadaran itu juga bahkan masih tetap ada. Pasca ‘ambruknya’ LKF Mitra Tiara, Niko Ladi yang jadi buronan pun ‘didekati’ sebagai orang yang ‘masih dipercaya’. Forum Penyelemat Nasabah Mitra Tiara (bahkan didampingi pastor), menemui Niko Ladi di Jakarta untuk ‘meminta kejelasan’.

Tida hanya itu. Nasib Niko Ladi masih ‘didekati’ secara pribadi. Nasabah besar berusaha menyelematkan diri lewat ‘pendekatan’ agar bisa memperoleh sesuatu di tengah ambruknya LKF Mitra Tiara. Sebuah tindakan yang membenarkan bahwa hingga Niko Ladi tertangkap tidak sedikit orang yang masih belum percaya dan sadar akan kesalahan hal mana menyulitkan proses pembelajaran, sekaligus membenarkan bahwa lebih mudah membongkar LKF Mitra Tiara (yang kini sudah terbukti) daripada membongkar kesadaran.

Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.
===============================================

“Operasi” LKF Mitra Tiara dengan “Pena”

(Bagian Kedua)

Setelah ‘kontak awal’ dengan LKF Mitra Tiara, di penghujung Juli 2013, naluri jurnalistik terus muncul. Dengan tulis, sebuah proses kesadaran diharapkan bisa muncul. Tetapi menulis saja tidak cukup. Butuh tindakan nyata, demi membangun kesadaran. Tidak ada pilihan.

Sejak September 2013 hingga Januari 2014, penulis secara konsisten mengamati proses yang terjadi dengan LKF Mitra Tiara. Tulisan awal (1 September 2013) sebenarnya ‘masih sangat sopan’ untuk membangun kesadaran.

Terninabobonya nasabah dan rasa ‘aman’ yang dimiliki dianalogikan dengan selat Gonzalvez yang begitu tenang dan damai. Tetapi orang Larantuka tahu (sangat tahu) bahwa hal itu bisa menghayutkan.

Demikian pertanyaan saya saat menatap LKF Mitra Tiara dari kejauhan. Dari sisi waktu, tulisan ini agak lama ‘dipertimbangkan’ antara ‘ya’ dan ‘tidak’. Mestinya sudah harus muncul pada awal Agustus, sekembalinya penulis dari Larantuka. Tetapi akhirnya baru dipublikasikan awal September, lebih lagi ketika mendapatkan telepon dari OJK bahwa proses investigasi sudah dilakukan dan kesimpulan tentang ‘kepalsuan’ LKF Mitra Tiara sudah sangat jelas.

Bangun Kesadaran

Setelah kerapuhan LKF Mitra Tiara terbongkar, penulis menghasilkan lima tulisan lain untuk membangun kesadaran. LKF Mitra Tiara, seperti namanya yang adalah “Lembaga Kredit Finansial”, hemat saya telah melakukan pembohongan karena ia adalah “Lembaga Kredit” tetapi tidak ada kredit.NIKO LADI DAN PASTOR

Selama di ‘pengasingan’ Niko Ladi masih dapat ‘kunjungan’ termasuk dari pastor yang masih yakin bahwa Niko bisa mengembalikan uangnya. Sebuah kepercayaan yang membutakan dan tidak membangun kesadaan

Pertanyaannya, bagaimana ia memperoleh dana karena kekuatan sebuah lembaga keuangan adalah dari pinjaman yang diberikan, darinya dihasilkan bunga untuk membayar ‘bunga’ yang sangat tinggi. Hal ini tidak pernah menjadi masalah yang dipermasalahkan.

Nasabah bahkan pemerintah terlena dengan alasan yang dikemukakan Niko Ladi bahwa ia memiliki ‘link’ kerjasama dengan lembaga Eropa yang ‘memberikan bantuan cuma-cuma’ untuk warga Flotim tercinta. Selain itu isu ‘permainan saham’, dianggap sebagai sumber tanpa kering yang dimiliki Niko Ladi dalam menghimpun dana.

Tulisan selanjutnya ingin menjawab pertanyaan nasabah tentang bisa tidaknya memperoleh uang kembali. Dengan tulisan: “Di manakah Uangku”, “Pembodohan Massal” penulis mau membangun kesadaran bahwa ‘uang’ itu tidak bisa kembali.

Alasannya sederhana saja. Lembaga Kredit tanpa kredit yang tidak punya sumber hidup dan hanya bersandar pada pembohongan tidak bisa mengembalikan dana nasabah. Hal itu bisa dilihat dari mekanisme pemberian kredit yang terlampau tinggi.

Bisa dibayangkan. Kalau dengan dana “500 miliar”, maka Si Ladi harus menyediakan 50 miliar tiap bulan untuk hanya membayar nasabah. Pertanyaannya, usaha model apa yang dimiliki Ladi untuk bisa mendatangkan uang begitu banyak yang kemudian ‘diermakan’ dalam bentuk bunga tinggi?

Yang terjadi, adalah aksi ‘saling memakan’. Nasabah lama diuntungkan oleh masuknya nasabah baru. Darinya mereka mendapatkan ‘rezeki’ sambil menambah dengan mulut manis untuk terus meningkatkan nasabah baru.

Kenyataannya, pemahaman seperti ini masih absen. Masih banyak orang yang mengharapkan uangnya masih bisa dikembalikan. Proses mencari Niko Ladi pun dilakukan (meski tidak kunjung tiba). Yang ada lebih pada usaha ‘di belakang layar’ untuk meminta Niko bisa mengembalikan dana, sebuah harapan yang mestinya ‘sia-sia’.

Disertai Tindakan

Rangkaian tulisan membangun kesadaran belum cukup. Pena yang menari tidak cukup. Itulah kesimpulan penulis. Menulis harus disertai tindakan. Yang dimaksud, tulisan melalui media, tidak bisa ‘mempan’ ketika orang dan lembaga sudah terhipnotis. Lebih lagi ketika pemerintah hanya ‘berseru’ agar masyarakat hati-hati tanpa usaha investigatif untuk menyetopkan LKF Mitra Tiara sejak dini tanpa membiarkan hingga terjadi kerugian yang begitu besar.

Atas kesadaran ini, proses membongkar LKF Mitra Tiara dilakukan sebagai sebuah jawaban. Ketika pena hanya berseru dalam kesunyian dan kesadaran yang diharapkan tidak juga datang, maka usaha cerdas harus dilakukan sebagai tindak lanjut.

Upaya ‘mengadu’ ke Otoritas Jasa Keuangan (dalam bentuk laporan) merupakan jawabannya. Lembaga ini paling kompeten, yang mestinya tempat bertanya pemerintah lokal. Klarifikasi pada lembaga kompeten harus dilakukan agar sejak dini masyarakat dilindungi.

Pada sisi lain, OJK juga jadi pembenar bila memang LKF Mitra Tiara benar-benar terpercaya. Ibarat ‘emas’, OJK yang menjadi api yang akan membakar demi membuktikan keaslian-tidaknya lembaga itu yang nota bene penuh seribu janji. Itulah kerja yang seharusnya dilakukan.NIKO LADI, BUPATI MEMPERSALAHKAN MASYARAKAT

Pemerintah ‘tidak salah’. Mereka sudah ingatkan warga untuk berhati-hati. Sebuah pembelaan diri, padahal dengan kecerdasannya ia harus sudah menyetopkan LKF Mitra Tiara karena bunga yang tak logis.

Kesimpulannya jelas. Pertama, menulis sebagai penyadaran adalah langkah awal. Usaha menyentuh hati dan kesadaran merupakan tindakan paling lembut yang bisa dilakukan seorang penulis. Di sana sebuah kesadaran bisa dibangun untuk sebuah pengembangan selanjutnya.

Kedua, ketika proses lembut ini tidak ‘mempan’, perlu tindakan nyata. Usaha membongkar LKF Mitra Tiara memang menyakitkan. Ada usaha sadar untuk membiarkan terlantar nasabah, terutama ‘orang kecil’ yang sudah menyimpan segalanya yang dimiliki dengan harapan memperoleh berkah di akhir bulan.

Tetapi tidak membongkar berarti membiarkan kebohongan tertimbun tinggi yang akhirnya dengan luka lebih dalam akan diderita. Tindakan membongkar karena itu merupakan sebuah aksi yang pedih tetapi tidak bisa tidak.

Ia ibarat luka (yang selama ini disembunyikan), dibuka. Selanjutnya proses penyembuhan (meski terlambat) bisa dilakukan. Di sinilah kekuatna pena yang harus dihadirkan. Diawali dengan usaha menyembuhkan dengan tablet. Tetapi ketika sudah ‘kronis’, perlu ada operasi.

Robert Bala. Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.
============================================================

Niko Ladi dan ‘Harapan’

(Bagian Ketiga)

Selagi masih ‘di atas angin’, Niko Ladi sungguh jadi harapan. Bagaimana tidak? Dengan modal 10 juta, setiap bulan nasabah mendapatkan satu juta sebagai bunga. Dalam 10 bulan, ‘modal’ sudah kembali. Tinggal goyang kaki, berkah itu datang begitu murah.

Tetapi kini, setelah ‘terjungkal’ pada September 2013, apakah Niko Ladi masih menyimpan harapan?

Bukan Uang

Melaui sebuah media lokal, seorang pengacara (yang masih optimis), mewakili kerinduan para nasabah. Dengan tertangkapnya Niko Ladi, ia bertanya tentang apa sebenarnya yang diharapkan? Jelas baginya, nasabah tidak meminta ‘penjara’ untuk Niko, (si biang ke) Ladi. Yang ditunggu adalah uangnya dikembalikan.

Sepintas, wajar saja harapan itu. Namun mengikuti sistem kerja LKF Mitra Tiara yang hingga ‘terbongkar’, melakukan administrasi secara ‘manual’, maka harapan itu bukan berarti diperkecil tetapi memang niscaya terjadi.

Mekanisme pemberian bunga 10% sudah menjadi jawabannya. Setelah 10 bulan, seorang nasabah sebenarnya tengah memakan dirinya. Yang diterima setiap bulan adalah uangnya karena Mitra Tiara memang tidak punya usaha yang sangat ‘rentable’ untuk mendatangkan bunga yang begitu tinggi.

Selanjutnya, nasabah masih bisa hidup karena ada proses saling memakan. Nasabah lama ‘memakan’ nasabah baru. Lewat promosi dan kesaksian mereka juga nasabah baru semakin banyak hal mana meningkatkan ‘keuntungan’ yang tidak sedikit.

Dalam kaca mata ini, sebenarnya uang (kalau pun ada) yang disimpan Niko Ladi memang tidak seberapa. Dari 500 miliar yang sempat terkumpul, bisa saja di bawah 10% yang masih bisa disimpan (itu suah angka tertinggi). Tetapi itu pun masih bisa dibayangkan segera setelah ‘bangkrut’ pada September 2013.

Kini, angkanya bisa sangat berkurang mendekati dasar. Hal itu terjadi karena selama ‘di pengasingan’, Niko Ladi terus ‘didatangi’ oleh nasabah yang punya kuasa dan wewenang untuk bisa ‘bernego’. Di sana sebuah tawaran untuk tidak dilaporkan menjadi sebuah solusi sementara, meskipun Niko Ladi mestinya tahu bahwa akhir dari segalanya tetap proses hukuman seperti yang terjadi kini.

Dalam kondisi seperti maka harapan akan pengembalian uang sangat kecil untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Terus, apa sebenarnya yang masih bisa diharapkan oleh Niko Ladi? Sekilas, penjara menjadi jawabannya. Tindakannya melarikan diri merupakan aksi tidak bertanggunjawab. Hal itu belum terhitung aneka pembohongan yang begitu rapi dilakukan.PAKAI OTAK

Pakai otak dong bro agar tidak terjerumus lagi dengan INVESTASI BODONG

Tetapi akhir penjara tidak saja cukup. Derita sendiri (di penjara) tidaklah cukup mengobati kerinduan belasan ribu nasabah. Yang dinanti hanyalah uang, hal mana tidak bisa dikembalikan. Lantas, apa yang masih biasa diharapkan? Apakah ada hal yang masih bisa datang dari Niko Ladi?

Kotak Hitam

Ketika uang tidak ada dan penjara bukan yang diharapkan maka hal yang sangat mungkin dan menjadi sandaran akhir adalah kejujuran membongkar investasi bodong yang dimotori.

Ibarat musibah pesawat, Niko Ladi membawa ‘kotak hitam’, yang mesti dibuka dan dipelajari. Pertama, aneka trik yang digunakan yang selama ini begitu menghipnotis harus diangkat ke permukaan. Kebohongan dalam melakukan investasi (dengan untung sangat sedikit), pasar uang penuh risiko (kalau benar dilakukan) merupakan hal awal yang diharapkan dari Niko.

Sesungguhnya dengan membeberkan hal ini, sebuah pembelajaran dapat dimulai. Aneka harapan tak mendasar yang selama ini dikumdangkan tidak bisa meyakinkan langsung kecuali oleh kesaksian ‘si miliarder’, Niko Ladi.

Kedua, Niko mesti membuka aneka ‘deal’ dengan ‘nasabah’ tertentu yang oleh kekuasaan dan kekayaan telah mengadakan ‘lobby’ selama Niko berada di ‘pengasingan’. Hal ini perlu karena akan terbaca pribadi picik yang di tengah derita nasabah lain, mereka (dengan keunggulan modal) bisa menarik kembali dananya lewat ‘intimidasi’ tentunya kepada si Niko Ladi.

Mereka adalah bagian yang perlu mempertanggungjawabkan. Mengapa? Mereka turut menjadikan proses ‘penangkapan’ itu menjadi lambat. Selain itu, andaikan penangkapan lebih cepat, sebenarnya dalam arti tertentu dapat memungkinkan diperoleh pertanggungjawaban dini dari Niko Ladi yang memungkinkan pengembalian dana lebih cepat (meskipun tidak banyak).

Ketiga, Niko Ladi harus memfasilitasi bahkan menyebut ‘nasabah’ besar yang telah diuntungkan selama ini. Mereka bisa ‘goyang kaki’ karena sangat diuntungkan. Lebih lagi saat LKF Mitra Tiara jatuh, mereka sudah memperoleh segalanya. Mereka tidak menderita seperti kebanyakan nasabah.

Proses ini perlu dibuka kalau memang keinginan yang sebenarnya adalah memperoleh kembali uang yang hilang. Hal ini ditekankan karena mengharapkan uang itu dari Niko Ladi, sangatlah tidak mungkin. Dalam pemahaman penulis, bisa saja uang yang dimiliki (si biang ke) Ladi bahkan kurang dari 1 miliar (itu pun kalau ada).

Tetapi ketika Niko berani membeberkan maka sebuah proses bisa diambil. Paling kurang yang pernah ‘menari’ di atas derita juga ikut bertanggungjawab. Kini, harus diakui, mereka ikut bertanggungjawab.

Tetapi proses ini tidak akan mudah diakui. Dengan sistem administrasi manual, sulit membenarkan fakta bahwa mereka pernah terlibat. Di sinilah kesulitan lain. Yang sudah diuntungkan, akan seperti Petrus, rasul pengecut yang mengatakan ‘tidak mengenalnya’. Sementara bagi yang tidak memperoleh pengembalian apa pun akan berusaha sekuat tenanga membenarkan bahwa mereka adalah anggota LKF Mitra Tiara.

Dalam perspektif ini, kita akui bahwa posisi Niko Ladi tetapi sentral. Sebagaimana ‘doeloe’ ia disanjung karena membawa harapan karena dalam waktu singkat ia bisa ‘menelurkan’ uang jadi berlipat ganda.

Tetapi kini ia juga jadi harapan untuk membongkar trik pembohongan yang selama ini ditutup. Hanya dengan demikian kita yang pernah jatuh, tidak lagi tersandung di tempat yang sama. Semoga.

Robert Bala. Pengamat Sosial. Tinggal di Jakarta.

Sumber Flores Bangkit 19 Maret 2015

Leave a comment