CALON LEGISLATIF ‘MOHON DOA RESTU’ (Menelisik Calon Legislatif)


Calon Legislatif Mohon Doa Restu

(Menelisik Calon Legislatif)

Pos Kupang, Sabtu 28 Juli 2018 

Biasanya frase ini kita temukan saat ada pesta nikah. Para keluarga, tetamu, dan handai tolan diminta untuk mendoakan. Semoga bahtera keluarga yang akan dibentuk, langgeng sampai kakek nenek. Kehadiran dan dukungan akan menjadi hal yang sangat penting dan sangat dinantikan.

Permohonan ini tentu sangat tulus. Ada kecemasan, di tengah kehidupan yang makin kompleks, kadang ada rasa tak sanggup melewati semuanya. Karena itu, tepat kalau diungkapkan dalam bentuk doa. Tidak saja kepada sesama, tetapi secara tulus kepada Tuhan agar perjalanan bahtera hidup itu bisa dilewati dengan baik.
Tetapi apa yang terjadi ketika frase ini hadir di tengah pilkada? Apa yang terjadi ketika disertai foto kandidat yang dipasang dengan senyum terbaik (kadang aneh juga senyum karena aslinya, ia tidak sesenyum yang ditampilkan?). Lalu apa yang dimaksud dengan doa restu?

‘Ikatan apa?’

Kita bertanya karena kalau dalam perkawinan, doa restu itu berkaitan dengan ‘ikatan’ yang akan dijalin dengan pasangan hidup. Dua orang yang berasal dari dua latar belakang berbeda, harus bersatu. Upaya itu akan membutuhkan waktu.

Lalu dalam pileg, mana ikatan itu? Sesungguhnya doa restu yang dimaksud hanya sekadar ‘basa-basi’. Maksud doa restu adalah ‘dukungan suara’. Mereka mau ‘didukung’ agar bisa jadi wakil rakyat “Hebat benar ya”. Dia yang mau jadi wakil rakyat lalu suruh kita ‘doa?’. Doa jenis apa juga?

Kalau pun harus berdoa, apakah yang dimaksud dengan ikatan dengan rakyat? Apakah itu berarti, ada komitmen bahwa ia kan menjiwai politiknya dengan pelayanan kepada masyarakat? Apakah dia sungguh mewakili aspirasi rakyat ataukah ikatan itu hanya pada masa pilkada dan sesudahnya ia lupa?

Ungkapan bahwa caleg itu seperti ‘pil KB’. Kalau ‘lupa’ (telan tablet) maka ‘jadi’. Tetapi kalau ingat berarti tidak jadi. Ia hanya gambarkan bahwa lupa menjadi godaan paling besar ketika seseorang sudah jadi wakil rakyat.

Kita lanjut bertanya: lalu apa yang dimaksud dengan perhatian kepada rakyat yang berarti terus ingat akan komitmen? Banyak orang mengira, ‘ingat’ berarti ‘berbagi’dengan konstituen., Dan berbagi berarti terus memerhatikan (kalau ada acara selalu hadir, memberi bantuan uang sekolah atau bantuan pesta).

Perhatikan itu yang jadi godaan besar saat pileg seperti ini. Banyak orang ‘berbagi’. Hal itu bukan karena masyarakat sangat butuh (butuh ya butuh). Tetapi karena memang mereka tidak dikenal sama sekali oleh masyarakat. Karena itu perlu ‘sosialisasi’. Di sini sosialisasi dimaknai sebagai ‘bukti nyata’, memberi sesuatu kepada masyarakat.

Masyarkaat juga sudah tahu. Penyakit lupa itu begitu sering. Karena itu mereka berusaha memanfaatkan kesempatan yang ada. Ya, Rp 50 ribu sampai Rp 100ribu atau lebih dari itu sudah dianggap ‘barang biasa’. Dari pada nanti 5 tahun lupa, lebih baik yang di depan ‘dinikmati’. Itulah yang kita maknai sebagai ‘money politics’ (politik uang).

Seharusnya tidak seperti itu. Seharusnya ikatan yang dimaksud adalah program kerja. Ap ayang ada dalam benak calon legislatif tentang pembangunan di daerahnya. Bagaimana konsep yang akan digunakan untuk membangun. Pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab. Banyak orang yang maju jadi caleg dengan bekal minimal tentang konsep yang akan dibawa sebagai wakil rakyat. Apakah mereka sungguh paham akan aspirasi masyarakat yang adalah ‘tuannya’ dan mereka adalah wakilnya?

Di sini maslaah lain. Karena tanpa konsep maka baru beberapa bulan jadi anggota legislatif, mereka ikut ‘studi banding’. Mereka perlu ‘studi’ karena memang tidak ada bekal pengetahuan. Dalam bidang politik, masih ‘buta huruf’ dan karena itu bukan saja butuh studi tetapi perlu tahu ‘baca tulis’. Bagaimana membaca keadaan, bagaimana menulisnya danmenjadikannya sebagai refleksi post aksi.

Gambaran ini mengungkapkan bahwa doa yang diungkapkan dalam setiap kartu, adalah hampa, kosong, dan tidak bermakna, hal mana menjadi gambaran. Orang akan dengan mudah melihat bahwa tidak sedikit yang jadi caleg karena memang ‘adu nasib’, di tengah sulitnya mencari kerja.

Kata-kata ini sedikit keras, tetapi kalau kita realistis, memang itu yang terjadi.

Perlu Bukti

Musim pileg seperti ini mestinya jadi momen untuk merestui kandidat terbaik dan mendoakan agar yagn terbai terjadi dengan negara dan bangsa kita. Di sinilah kita perlu ide tidak saja menghasilkan calon terbaik tetapi memiliki ide yang menjurus kepada terwujudnya kesejahteraan bersama.

Pertama, kita butuh wakil rakyat yang sudah merakyat. Hal ini dimaknai sebagai kesaksian hidup atau dalam istilah krennya ‘track record’. Yang dimaksud di sini, orang yang mau jadi wakil rakyat, adalah orang yang sudah terbukti di masyarakat. Kalau menangani bidang pertanian (atau ekonomi), ia sudah memiliki ‘ekonomi’ yang baik. Ia sudah jadi petani dan terbukti. Kalau ia mau mengembangkan ekonomi kerakyatan, ia sudah pernah jadi anggota atau pengurus koperasi. Itu sekadar contohnya.

Kenyataan, tidak sedikit calon legislatif yang secara jujur adalah ‘pengangguran’. Mereka hanya punya ‘ide-ide kosong’ tetapi tidak pernah terbukti. Di sinilah kita perlu teliti. Mestinya harus ‘berhati-hati’ dengan kandidat yang belum punya pekerjaan karena memang yang ia cari adalah pekerjaan dikelabui dengan bahasa ‘merakyat, mengabdi’ dan sebagainya.

Kedua, perlu ada kontrak dengan kandidat. Sebuah kontrak mengandaikan adanya inisiatif dari masyarakat dan bukannya dari kandidat. Pada masa pilkada seperti ini banyak kotrak yang dibuat kandidat. Ada yang sudah menyiapkan ‘bantuan’ tetap selama 5 tahun menjabat. Tentu semuanya diukur dari uang.

Tentu yang lebih diharapkan kontrak dari masyarakat dengan kandidat. Untuk hal ini, sangat dibutuhkan tokoh masyarakat yang bisa berinisiatif mengadakan kontrak dnegan para calon. Agar hal ini bisa terjadi maka kontrak mestinya dibuat dengan semua kandidat dan bukan perorangan. Artinya di sebuah wilayah pemilihan, semua kandidat bisa dikumpulkan, dan bisa beradu pandangan di depan masyakat. Di sana akan terlihat kandidat terbaik (minimal dari segi ide) sambil masyarakat menelisik sepak terjang kandidat tersebut.

Pola ini akan positif karena adanya sebuah ‘uji kompetensi’ riil. Masyarakat dapat melihat program yagn ditawarkan dan mereka mendengar langsung dari harapan masyarakat. Kalau proses ini dilaksanakan, maka anggota legislatif berkualitas diharapkan hadir dari pileg kali ini.

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik. Tinggal di Jakarta.

Pos Kupang, Sabtu 28 Juli 2018