Keindonesiaan Kita di Balik Soal UN

Keindonesiaan Kita di Balik Soal UN

UJIAN Nasional (UN) menjadi momen yang sangat dinantikan. Meskipun telah terjadi perubahan esensi hingga tidak menjadi penentu kelulusan, tetapi dengan menjadi pemetaan pendidikan, maka ia tetap penting.

Di sini keberadaan UN akan menjadi ukurannya. Tetapi apa yang terjadi ketika soal UN tidak bersifat umum melainkan lebih condong untuk lebih diketahui oleh satu kelompok sementara kelompok lainnya bisa saja mengalami kesulitan?

Yang dimaksud, sebuah soal bahasa Indonesia untuk UN SMP. Kepada siswa, dengan indikator teks prosedur, ditanyakan petunjuk mengenakan jilbab. Dengan susunan berikut, siswa diharapkan untuk mengaturnya kembali secara benar secara prosedur yakni:
(1) Rapikan bagian leher, semat dengan peniti di belakang tengkuk.
(2) kenakan bergo (kerdung) dasar!
(3) Rapikan semua sisi agar tampilan Anda lebih menarik!
(4) Lalu tarik satu sisi bergo, tarik ke atas, semat dengan jarum pentul.

Terhadap pertanyaan ini mestinya tidak perlu dipersoalkan. Ia telah memenuhi kriteria konstruksi penyusunan soal. Indikator terpenuhi dalam soal ini. Selain itu, semua orang Indonesia termasuk yang bukan muslim juga tahu tentang jilbab. Tetapi apakah dengan itu semua orang harus mengetahui prosesnya mulai dari dasarnya, pengaturan, hingga tampilan menarik?

Kaidah Umum
Dalam kaidah pembuatan soal, hal mana dikeluarkan oleh Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas, 2007, disebutkan bahwa sebuah soal yang baik harus memperhatikan kaidah-kaidah dari segi materi, konstruksi, dan bahasa. Selain itu, soal harus memiliki tingkat penalaran yang tinggi.

Dari sisi materi dan konstruksi, tampaknya tidak terdapat masalah. Yang ditanyakan dalam soal di atas adalah teks prosedur, tentang proses pembuatan atau pengenaan sesuatu. Konstruksinya pun memenuhi standar yang ditetapkan.gus dur2

Pemasalahannya adalah bahasa. Sebuah soal harus bersifat umum. Salah satu unsur penting adalah jangan menggunakan bahasa yang berlaku setempat atau khusus, jika soal digunakan untuk daerah lain atau nasional.

Kenyataan bahwa soal di atas bersifat tidak memenuhi kriteria. Dalam kaitan dengan jilbab, ia bisa saja mudah diketahui oleh orang yang sudah terbiasa mengenakan atau berada pada lingkungan yang secara jelas melaksanakan hal itu. Baginya soal itu mudah.

Tetapi bagi yang lain, meskipun kerap melihat orang mengenakan jilbab tetapi tidak berarti ia harus mengetahui proses yang ada di dalamnya. Di sinilah permasalahan yang bisa muncul.

Selain itu, kalau soal ujian menjadi indikator pemetaan, maka apakah yang tahu menjawab dan tidak bisa dipetakan kemampuannya? Apakah indikator itu valid adanya? Tak heran, dalam sebuah komentar di facebook, seorang langsung mengklaim bahwa soal bias kultur dan harus dianulir.

Yang lain mempertanyakan keseriusan tim revisi dalam menyeleksi soal. Para penyusun adalah orang terpilih yang mestinya tidak ada ruang sedikit pun untuk melakukan kekeliruan.

Ada yang mengatakan soal tersebut lebih cocok untuk menjadi soal agama. Pemeluk agama tentunya mengetahui hal itu. Bagi yang tidak mengetahui, ‘diharuskan’ mengetahuinya dan kalau mungkin mempraktikkannya.

Pembelajaran
Yang menjadi keprihatinan kita pada artikel ini tentu saja bukan konstruksi soal. Ia telah sangat tepat. Nyaris ada celah untuk memersalahkan keabsahannya. Tetapi yang kita gugah adalah sensibilitas sosial, rasa keindonesian kita yang mestinya juga semakin kita beri tempat, hal mana jadi pembelajaran berharga ke depan.

Pertama, adanya soal seperti itu menggambarkan minimnya pemahaman tentang pluralitas. Di negeri ini, keanekaragaman merupakan sebuah kenyataan. Karena itu, ketika menyusun soal, tidak bisa sesuatu yang dilaksanakan oleh satu kelompok harus diketahui sampai sedetil mungkin.

Bila dipaksakan, maka soal tersebut bisa saja bagi orang yang kebetulan berlatarbelakang sama seperti apa yang ditanyakan akan menganggapnya sebagai soal mudah. Yang lainnya merasa sebagai soal yang sulit. Di sana terlihat bahwa soal tersebut tidak bisa digunakan untuk memetakan kualitas. Yang ada hanyalah kesamaan secara kebetulan yang tidak korelatif dengan kualitas sebagai ukuran pemetaan.

Kedua, adanya soal yang bersifat ‘khusus’ mengungkapkan proses seleksi yang tidak utuh. Selain penyusun adalah orang terpilih dengan kualifikasi yang tentu saja di atas rata-rata, mestinya kesalahan tersebut tidak terjadi. Lebih lagi karena tim revisi mestinya bekerja secara sangat optimal sehingga tidak ada soal yang kecolongan seperti itu.

Yang terjadi kini adalah faktor pengawasan yang tidak optimal hal mana perlu menjadi perhatian ke depannya. Dengan penegasan seperti itu maka tentu saja dugaan bahwa hal itu ‘disengajakan’ tidak bisa dibenarkan. Kita semua berasumsi, semua yang terlibat dan terpilih dalam proses penyusunan soal ujian adalah orang yang punya wawasan luas. Apalagi berbicara tentang pendidikan, mereka paham tentang nilai universal yang diperjuangkan dalam pendidikan.

Tetapi dugaan itu tidak mesti disangksikan sama sekali. Ruang curiga masih bisa diberi tempat. Bagaimana pun tidak semua orang memiliki kualitas keindonesiaan yang diharapkan. Bisa saja ada hal yang disengajakan. Tetapi hal itu bisa diantisipasi oleh tegas dan ketatnya pengontrolan. Dalam perspektif ini, masuknya soal seperti itu menggambarkan minimnya kontrol.

Ketiga, adanya soal khusus menunjukkan bahwa keindonesiaan kita harus ditingkatkan lagi. Menjadi orang Indonesia adalah bersiap adan dan hidup dalam kebhinnekaan. Siap juga untuk mengorbankan egoisme demi memberi ruang pada altruisme. Hanya dengan demikian sebuah kebersamaan dapat lebih ditata dan kita lebih nyaman hidup bersama.gus durPada sisi lain memaksakan paham tertentu, akan sangat kontraproduktif dengan cita-cita keindonesiaan yang diperjuangkan para pendiri bangsa dan kini kita ingin sempurnakan.

Sumber: Pos Kupang 7 Mei 2015