(Harus) Mencium Cincin Uskup?


Harus Mencium Cincin (Uskup)?

Mestinya tidak perlu diperdebatkan, apalagi diletakkan di Youtube, cuplikan di mana seorang pastor ‘ditegur’ (ditarik dan ditampar) oleh Uskup karena tidak mencium cincin uskup.  
 
Dari sisi momen pun sangat khusus. Ia terjadi saat perayaan Natal Bersama para biarawan-biarawati. Tidak ada umat. Lebih lagi, yang hadir:  pastor dan frater menunduk dan mencium cicin uskup. Dengan demikian yang tidak mencium adalah orang yang ‘bertingkah’ berbeda’. Sudah tepat ia ditegur. TURANG
 
Juga cuplikan video itu terjadi sudah setahun malah lebih sebelumnya. Artinya, selama itu, minimal yang hadir atau pernah merekamnya menganggapnya ‘biasa’ dan ‘normal’ serta ‘wajar’. Di sinilah nuansa provokatif yang dituduhkan kepada pengunggah bisa diterima.
 
Tetapi mengapa video yang baru diungguh pada tanggal 14 Juli 2014 hanya dalam 8 hari (hingga 22 Juli) begitu mengundang perhatian hingga menyita tidak kurang dari 1175 orang yang menontonnya? Atau apa yang disa dibuat sehingga permasalahan ini tidak meluas dan melebar? Apakah umat yang memberi komentar adalah orang yang ‘tidak paham tradisi’ ataukah sebuah perbuatan yang mesti ditempatkan dalam ‘common sense’ atau rasa wajar yang mesti dimiliki semua orang?
 
Tema Kontroversial
 
Dalam sebuah diskusi di Catholic.net (2005), seseorang bernama Karlucho, mengidentifikasi diri sebagai orang yang tidak paham alasan  mencium “el anillo del Obispo”, cincin uskup, kardinal, bahkan Paus. Darinya ia mengemukakan masalah ini untuk didiskusikan di media.
 
Topik yang diangkat pada tahun 2005 itu dikategorikan sebagai ‘tema controvertido’, alias tema kontroversial. Jelas ada pro dan kontra yang sama kuatnya.
 
Terhadap masalah ini, seseorang bernama Antonio Maldonado memberikan jawaban menarik. Baginya, tidak ada unsur dalam Kitab Suci yang mewajibkan hal itu. Orang datang kepada Yesus secara alamiah. Mereka meneyntuhNya, menciumNya. Hal itu dilaksanakan secara alamiah. Hal itu analog juga dengan kekaguman orang India pada Bunda Teresa dari Calcuta. Mereka menciumnya oleh rasa kagum. TURANG CURANG
 
Hal senada ditulis Wendy Sabrina Valencia Avila. Baginya, mencium cincin uskup adalah sebuah tradisi gereja yang diambil dari tradisi di Kekaisaran Roma. Para raja lokal yang berada dalam wilayah kekaisaran Roma harus menunjukkan ‘kesetiaan’ mereka dengan mencium cincin Kaisaar Roma. Tradisi ini kemudian diteruskan saat Paus menjadi pemimpin Roma.
 
Tidak hanya itu. Penjelasan lanjutan dari Maldonado tidak kalah menarik. Cincin uskup (sebagai salah satu simbol yang digunakan uskup selain: salib pektoral,  mitra, dan tongkat) adalah simbol bahwa sebagaimana Kristus memiliki cinta kepada Gerejanya (seperti suami kepada isteri), demikian juga uskup mestinya menunjukkan cinta itu kepada umat di keuskupan.
 
Pertanyaannya, apakah itu lalu harus menjadi kewajiban menciumnya? Jawaban lain dari peserta diskusi, Ivone Franco Cabrera, menjadikan tema itu kian menarik. Baginya, selain simbol cinta uskup pada gerejanya, ia juga jadi simbol ketaatan (obediencia) dari umat kepada gemalanya. Ketaatan itu dapat dirasakan dan diekspresikan dalam mencium cincin itu.
 
Namun dalam kacamatanya dengan meletakkan masalahnya dalam lingkup kewajaran, apabila orang tidak merasakan hal itu, lalu tidak mencium, maka mestinya tidak dipermasalahkan. Lebih lagi, karena yang ditekankan bukan soal keharusan tetapi melakukan sesuatu dari sisi yang wajar dan penuh kesadaran.
 
Simbol Pelayanan
 
Menekankan bahwa mencium cincin adalah tradisi gereja yang harus dilaksanakan dan jabatan uskup sangat mulia di dalam Gereja Katolik, bisa saja menjadi penjelasan yang mudah dilakukan. Selain itu ‘tamparan’ sebagai model ‘teguran’ dari seorang ‘ayah’ kepada anaknya juga bisa diterima.  Dalam arti ini maka pengunggah video bisa dianggap penabur kontroversi.
 
Meski demikian model penjelasan demikian menjadi kurang elok ketika ditempatkan dalam konteks media sosial dengan ruang dialog yang kian terbuka. Di sana yang diterima bukan soal ‘tradisi’ yang harus diikuti tetapi kesediaan memberikan penjelasan. Lebih lagi harus diakui, apabila yang ‘bereaksi’ atas video itu tidak sedikit (untuk tidak mengatakan semuanya) orang Katolik, maka hal itu menunjukkan ada sesuatu yang perlu dijelaskan.  
 
Pertama, cincin sebagai simbol kesetiaan sebagaimana dalam perkawinan dan juga dilambangkan oleh persekutuan matrimonial antara Kristus dan Gerejanya mesti dilihat sebagai simbol pengorbanan dari pemimpin (uskup) pada umatnya. Sebuah pengorbanan dan pengabdian tulus yang tidak mengharapkan ‘balasan’ (ciuman). Ciuman adalah ekspresi tulus dari orang karena telah merasakan bahwa ia mendapatkan ungkapan cinta sepadan.
 
Sebaliknya memaksakan orang untuk mencium justeru dapat merendahkan simbol itu sendiri. Tafsiran arogansi bisa dimengerti. Di sana yang dikedepankan adalah keharusan mencium bukannya membuka aneka model penghormatan seperti yang ditunjukkan sang pastor dengan (hanya) menundukkan kepala.
 
Kedua, Gereja di abad globalisasi adalah gereja yang menawarkan dan bukan gereja yang  instruktif. ia mestinya bukan memaksakan tetapi memberi pemahaman. Teolog Spanyol, Jesus Burgaleta, menulis: di era modern seperti ini, penjelasan apa pun perlu  ‘semanusiawi’ mungkin. Hanya dengan demikian agama dirasakan sebagai sebuah tuntutan dari dalam bukan pemaksaan dari luar.
 
Pengalaman praksis gereja di  Eropa dan Amerika Latin harus jadi pembelajaran.  Umat yang ‘doeloenya’ sangat ‘jinak’ melaksanakan ritus, perlahan meninggalkan praktik keagamaan sejalan dengan modernisasi. Agama dilihat lebih menghambat kreativitas dan menjadi bagian dari ‘tradisi’. Tentu saja hal ini tidak diharapkan terjadi.
 
Ketiga, model pelayanan dan kesediaan berdialog malah kian menjadi urgen untuk Gereja di Asia. Teolog Asia mengakui, Gereja Kristen adalah ‘tamu’ di Asia. Di sana ia tidak lagi hadir dengan ‘keangkuhan’ kekaisaran Roma tetapi ia rela duduk untuk berdialog. Dalam arti ini, kesediaan menjelaskan dan kesabaran untuk menanamkan rasa cinta pada simbol dalam arti yang sesungguhnya perlu diberi tempat.
 
Dalam konteks kewajaran dari ketiga nilai ini maka kesediaan dan keterbukaan meminta maaf adalah hal yang paling manusiawi yang perlu dilakukan. Ada kesadaran bahwa ‘errare humanum est’: membuat kesalahan adalah manusiawi. Siapa pun, termasuk uskup bisa saja melakuka kesalahan dan ia tidak bisa dibenarkan dengan landasan apa pun.
 
Di atas kesadaran itu diharapkan terlahir proses pembelajaran karena “erare humanum est, perseverare diabolicum”: Berbuat kesalahan adalah sesuatu yang manusiawi, tetapi mengulangi kesalahan adalah perbuatan iblis”.
 
Robert Bala. Pemerhati Masalah Sosial.

Leave a comment