DESPACITO DAN SEDUKSI SEKSUAL


‘Despacito’ dan Seduksi Seksual

Pada sebuah perayaan emas sebuah sekolah, beberapa bocah menampilkan sebuah tarian dengan lagu pengantarnya adalah ‘despacito’. Anak-anak itu berusia TK atau paling tidak kelas 1 SD. Goyangannya mereka sedikit ‘erotis’, disertai sorakan dan tepuk tangan dari penonton yang sebagian besar adalah para guru.

Apa sebenarnya yang ‘aneh’ dalam lagu ‘despacito?’

Tidak bisa disangkal, dalam waktu yang sangat singkat, lagu ‘despacito’ begitu mendunia. Lagu dari Luis Fonsi dengan Daddy Yankee dan Luis Fonsi dengan Justin Bieber sangat mendunia. Lagu yang dirilis awal tahun 2017 ini mendapatkan perhatian luar biasa dari para netizen. Video klip ‘despacito’ mendapatkan viewers yang sangat banyak dari Youtube. Dalam waktu enam bulan, sudah ditonton oleh 2,4 miliar sedangkan dengan Justin Bieber ditonton 400 juta orang.

Tetapi apakah ritme yang begitu mendunia hingga dalam versi dangdut pun sudah ada, memiliki pesan yang mendidik atau sekurang-kurangnya sejalan dengan negeri yang sangat antri pornografi dan pornoaksi ini? Dari penggalan lagu ini, dengan jelas kita disadarkan bahwa nuansa lagu ini sangat erotis dan mengarah kepada seduksi seksual. Si wanita seakan membiarkan diri ‘digerayangi’ sambil merasakan kepuasan karena sang lelaki memasuki zona ‘kewanitaannya’ sambil membiarkan dirinya berteriak dalam nafsu yang mendalam.

Lebih lagi pada bagian terakhir ‘y que olvides tu apellido’, punya tafsiran yang lebih luas. Seduksi seksual tidak hanya terjadi dalam lingkaran pasangan, tetapi dengan hadirnya orang ketiga. Sang wanita sampai ‘lupa’ bahwa ia memiliki nama keluarga.

Pada bagian ini mengikuti cara pemberian nama, orang Spanyol atau Amerika Latin memiliki dua nama keluarga (apellido) yang satu dari nama ayah dan yang kedua dari nama ibu. Dalam konteks ini, melupakan nama keluarga, berarti ia tengah membuka relasi terlarang dengan siapapun sejauh mendatangkan kepuasan seksual.

Di sini pun terbuka interpretasi atas hubungan incest di mana tidak dipentingkan lagi hubungan keluarga. Sejauh godaan membara, siapapun tanpa identitas dapat menjadi pasangan. Interpretasi sejauh ini tentu saja jauh dari harapan.

Pelecehan Seksual
Lagu Luis Fonsi yang telah menjadi bak epidemi mendunia, tentu tidak seluruhnya dianggap seduksi seksual ketika ditempatkan dalam konteks hubungan suami istri. Di sana ada perlakuan yang ‘suavecito’ (lembut), lento (pelan-pelan), despacito (perlahan-lahan)dan kemudian bergerak perlahan hingga jadi ‘gerakan liar’ yang memberikan kesenangan selayaknya suami istri. Ia juga menjadi kombinasi antara belaian hal mana lumrah.

Tetapi, syair lagu disertai video clip itu, demikian Beatriz Müller, dari LSM Salud Activa, spesialis dalam bidang kekerasan dan pelecehan terhadap anak dan remaja mengungkapkan baik lagu maupun video klip merupakan pelecehan seksual. Pelecehan dimaksud terhadap anak-anak karena mereka belum memiliki umur matang untuk mengerti apa yang sedang dimaksud dalam lagu itu.

Bagi Müller, hal erotis menjadi ‘zona orang dewasa’, dan bukan hal-hal untuk anak-anak. Mereka tidak memiliki daya saring untuk memahami apa yang didengar dan ditonton. Pada kasus ini, karena menggunakan bahasa Spanyol, sebenarnya banyak orang tidak mengetahui artinya dan hanya merasa ‘enak’ dengan lagunya. Tetapi ketika berbicara tentang videoklip maka erotisme itu menjadi sangat nyata dan memprovokasi peniruan gerakan serupa.

Provokasi yang terjadi dengan lagu ‘despacito’ barangkali lebih liar dari yang disangka. Pasalnya, banyak orang lebih terhipnotis dengan irama. Mereka sudah terlanjur menyukainya dan terus menjadikannya sebagai lagu favorit. Di mana-mana nyaris terdapat orang yang belum pernah mendengar lagu itu.Yang disayangkan, setelah orang menyukai dan menjadikan lagu orang baru menyadari maknanya. Di sana bukan mustahil kalau makna itu kemudian memengaruhi orang terutama anak kecil dalam tindakan. Minimal mereka tahu bahwa sebagaimana lagu itu diterima, maka apapun yang dimaknai (dan baru diketahui kemudian) diamini oleh masyarakat hal mana akan membentuk pemahaman dan pembenaran akan tindakan yang sebenarnya salah.

Kisah ‘despacito’ ini hanyalah sebuah ‘case’ yang menyadarkan kita akan dampak yang selalu ada dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Aneka lagu, budaya, dan apa pun yang masuk terutama dalam bahasa asing, tidak saja disukai secara eksternal tetapi perlu didalami secara lebih jauh. Minimal kita tahu dari awal akan makna tersembunyi yang bisa merusakkan kita secara moral.

Harapan kita, semoga kasus serupa tidak terjadi lagi. Atau minimal, meski terlambat, kita tersadarkan untuk tidak jatuh lebih jauh dagi dalam ritme dan pengaruh ‘despacito’, sampai kepada seduksi seksual yang tentu saja merusakan generasi muda kita terutama anak-anak.

Robert Bala. Pengajar Bahasa Spanyol pada Trisakti Internasional, Lembaga Budaya Universitas Trisakti Jakarta.