SBY dan Tebar Kinerja

SBY DAN TEBAR KINERJA

(Bagian Pertama dari Dua tulisan)

Batam Pos 26 Januari 2007

Sentilan ‘nakal’ Megawati Soekarnoputri, pada HUT PDIP tanggal 10 Januari yang lalu cukup menggelitik hingga membuat SBY tersinggung. Pasalnya, puteri Bung Karno itu secara tegas meminta agar pemerintahan aktual berhenti untuk sekedar ‘tebar pesona’ dan bergerak ‘lebih dalam’ untuk ‘tebar kinerja’.

Kritik yang sama muncul beberapa hari sesudahnya. Hariman Siregar, Dr Sjahrir, Sri-Bintang Pamungkas, dan penyair W.S. Rendra, hahkan menilai SBY angkuh, lantaran tidak mendegar suara rakyat (Batam Pos 16/10). Karenanya, oleh Hariman dihimbau agar presiden turun (sendiri) dari jabatannya, lantaran kepercayaan yang diberikan rakyat, dalam perspektif mereka, tidak memiliki imbas dalam kenyataan.

Lantas kita bertanya: mengapa reaksi-reaksi seperti ini muncul? Tanpa meniadakan makna politis yang hendak dikumandangkan oleh oposisi seperti Megawati saat ini, kritikan teramat keras menuntut adanya perhatian. Apalagi hal itu ditempatkan dalam tahun ketiga masa pemerintahan SBY-JK.

Maklum

Kehadiran SBY yang ditandai dengan ketenangannya dalam berbicara dan sangat sopan dalam banyak aspek, ditambah pemikirannya yang selalu mengutamakan dialog, merupakan sebuah pesona yang sangat menggugah rakyat. Daya tanggapnya terhadap setiap peristiwa, sambil berjanji untuk ‘segera’ menindaklanjuti suatu masalah, menjadi alasan, mengapa rakyat menaruh kepercayaan kepadanya.

Dalam waktu yang relatif minim, figur yang dulu pernah menjadi Menkopolkam pada masa pemerintaha Megawati, dengan cepat ‘dilirik’ rakyat. Pemilu pertama presiden dan wapres dengan begitu pasti dihadapinya, meski ia harus berlawanan dengan pemegang pemerintahan saat itu, Megawati. Media massa pun memberikan dukungan yang cukup signifikan.

Megawati, sementara itu harus mengakui ketakberdayaannya. Kesan selalu menghindar aneka debat langsung, lantaran minimnya penguasaan retorika dan oratoria, menjadikan pamor kiprah politiknya meski tidak jelek, bahkan boleh dibilang cukup berhasil saat itu, tetapi tidak berdaya berhadapan dengan figur enerjik, penuh pesona, SBY-JK. Apalagi partai ‘adikuasa’ pada masa Orba, Golkar, menemukan kemujuran berpasangan dengan Partai Demokrat yang lagi naik daun. Dua kekuatan besar bergandengan tangan untuk memupuskan harapan PDIP, dengan Megawati.

Kekaguman rakyat pada SBY masih cukup kuat pada tahun awal kepemimpinannya. Dalam setiap kunjungan dan kesempatan, janji menjadikan negeri ini lebih baik, selalu diterima dengan begitu antusias. Meski demikian, tiga bulan pertama, rakyat mulai curiga dan cemas. Adakah janji yang ditebarkan itu bakal terwujud? Hal itu bisa dipahami. Tanda-tanda perbaikan nyaris terlihat.

‘Untung’ saja, saat rakyat ingin membuka mulut, datanglah musibah melanda negeri ini. Tsunami Aceh, gempa bumi di Nias, Yogyakarta, Pangandaran-Jawa Barat, banjir bandang di Aceh dan Sulawesi, kelaparan di NTT, kecelakaan transportasi (baik udara, laut, dan apalagi darat), yang datang secara bergiliran, membuat rakyat memaklumi bahwa siapa pun yang menjadi presiden, bakal sulit menata negaranya, di tengah hantaman bencana alam yang terlampau banyak. Hal itu ditambahkan dengan ajakan SBY-JK untuk bersama-sama membangun negeri ini yang begitu memar dihantam bencana alam.

Memang, ada yang melihat, apakah bencana yang melanda negeri ini, berkaitan dengan SBY-JK sebagai pemimpin negeri ini? Sebuah asumsi yang terlampau infantil. Bencana, tidak bisa dikaitkan dengan siapa pun, termasuk presiden yang kini memimpin. Gerakan lempengan bumi yang sudah ratusan juta tahun, sudah saatnya untuk ‘mengamuk’ dan hadir dalam bentuk tsunami, gempa bumi, termasuk luapan lumpur lapindo. Kebetulan sekali, datang pada saat negeri ini dipimpin SBY-JK.

Singkatnya, bencana alam telah hadir pada momen yang ‘tepat’. Rakyat pun memaklumi. Dua tahun pertama, kata maklum ini begitu kuat. Hal itu dapat terlihat dari aneka pooling, yang masih memberi kepercayaan positif kepada SBY-JK. Hal ini sekaligus menjadi tanda, rakyat di negeri ini, meski dilanda aneka bencana, ditambahkan derita oleh pemimpinnya yang tak jarang jauh dari harapan, tetapi masih berharap sambil memberikan kesempatan. Namun, adakah itu berarti kepercayaan itu masih akan terus diberikan?

Harap-harap cemas

Memasuki tahun ketiga, tidak ada pilihan, selain menentukan sikap. Rakyat yang begitu ‘pemaaf’ dan ‘pemaklum’ pada gilirannya akan berhadapan dengan tuntutan perut, upaya mempertahankan hidup, di tengah keniscayaan. Lebih lagi, tebaran pesona yang tidak lebih bergerak pada level ‘emosional’, pada gilirannya perlu mengendap, hingga memasuki tahap realitas.

Rakyat misalnya menyadari bahwa dana bantuan tunai, sebagai kompensasi kenaikan BBM (yang bahkan mendekati 126% pada bulan Oktober 2005), sebenarnya merupakan ‘hadiah hiburan’. Uang beberapa ratus ribu yang diterima tiga bulan, ternyata tidaklah berarti apa-apa, di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok. Memang, siapa pun tidak bakal menolak, bila diberi ‘duit’. Tetapi, apalah artinya jumlah ‘segitu’ untuk memenuhi kebutuhan pokok? Lebih lagi, ketika sudah berada dalam situasi ‘sekarat’, rakyat pun diminta beralih ke gas. Hilangnya ‘minyak tanah’ di pasaran, disinyalir sebagai ‘strategi’ halus memaksa rakyat beralih ke bahan bakar lain yang lebih ekonomis (dan tidak memiliki subsidi), kini ‘dipaksa’ untuk beralih ke gas.

Terlepas, dari benar tidaknya isyu tersebut, tetapi yang pasti, rakyat mulai sadar. Lebih lagi karena di tahun ketiga seperti ini, bukannya kesejahteraan yang semestinya dinikmati, tetapi malah sebaliknya. Ia diminta untuk turut membantu negeri ini dengan  menjadi pengguna bahan bakar yang katanya lebih ekonomis. Ia sadar bahwa janji pemerintah untuk memberikan jalan keluar terhadap kemelut yang melanda negeri ini, ternyata harus berhadapan dengan keniscayaan. Ia sendiri harus berjuang.

Berhadapan dengan kenyataan seperti ini, bukan mustahil, tahun ketiga sepert ini, bakal menjadi tahun pahit. Ia menjadi tahun kenyataan. Di satu pihak, janji akan kesejahteraan akan dengan sungguh-sungguh dituntut. Retorika ‘penenang’ yang selama ini digunakan untuk ‘membius’ rakyat bakal melewati masa ‘habis daya pengaruh’. Rakyat yang terbius, bakal bangun dan menuntut. Sebuah tuntutan yang dalam bahasa Hariman Siregar, bukan untuk meminta SBY-JK turun, tetapi ‘kalau boleh’ turun sendiri. Sebuah tuntutan yang bisa saja bernuansa politis. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya. Tetapi pada gilirannya, tuntutan seperti itu sebenarnya tidak memiliki maksud lain. Yang ada hanyalah keinginan agar kinerja kerja sebagai konkretisasi janji perlu dimulai sudah. Menunggu sampai tahun kelima untuk baru memberikan ultimatum, sudah sangat terlambat. Kemiskinan, apalagi kelaparan, tidak bisa diajak berkompromi. Kehidupan bakal terancam.

Robert Bala, MA. Staf Pengajar Institut Cervantes, Instituto Cervantes/Universitas Trisakti Jakarta. Sumber: Batam Pos 26 Januari 2006

Leave a comment