SALING MELUKAI (PASANGAN) DI MEDSOS

Saling Melukai (pasangan) di MEDSOS

Beberapa bulan sebelum wafatnya (24 Juni 2014), Pater Andreas Mua, SVD mampir di rumah saya. Sebuah kunjungan yang tidak terbayangkan. Ketika mengunjunginya di Soverdi Matraman, meski dia sudah ada janji dengan orang lain, tetapi ia meminta agar kami membawanya ke rumah. Saya teringat akan Zakeus yang dikunjungi Yesus. Kesempatan itu tidak disia-siakan.

Di antara banyak pembicaraan, saya terkesima dengan satu topik tentang perdamaian antar mereka yang sudah saling meyakiti atau melukai satu sama lain. Di era medsos (FB, instragram, WA) kerap orang meluapkan emosinya untuk saling menyerang. Atas pertanyaan ini, ‘tuan Ande’ mengatakan hal berikut yang sulit saya lupakan: “Kalau orang sudah saling melukai di media sosial maka akan menjadi sulit (untuk tidak mengatakan tidak mungkin) untuk bisa didamaikan.”

Berkat P. Ande Mua, SVD kepada anak kami Diego sebelum berpamitan dari rumah kami. 

Nampaknya pandangan Pater Ande ini sangat pesimistis. Harusnya, ada selalu ada masa depan yang lebih menjanjikan ketimbang tertinggal pada pengalaman negatif, begitu pikiran saya menanggapinya. Tetapi setelah terdiam, saya akhirnya mengamini apa yang disampaikan. Media sosial – elektronik terlalu mudah menjadi tempat untuk ‘balas denam’ kepada orang yang telah melukai. Hanya semenit jari-jemari bergerak, ungkapan emosional itu segera menempel di dinding sendiri dengan harapan ‘dirasakan’ oleh lawan.

Tekanan yang Kuat 

Artikel ‘Cortarse’(melukai diri sendiri) dari Teenshealth, 2015, yang saya jadikan rujukan saat menulis artikel ini, memang lebih mengarah kepada orang yang melukai dirinya sendiri. Ketidakmampuan mengelola masalah yang dihadapi lalu mereka melukai dirinya. Sebuah tindakan yang tidak direncanakan awalnya. Ia terjadi begitu cepat dan tidak terpikirkan dengan baik.

Hal itu bahkan tidak dilakukan sesekali tetapi beberapa kali. Orang yang suka melukai diri kerap menggunakan baju lengan panjang agar luka lama tidak diketahui orang lain.

Tetapi saling melukai juga bisa terjadi antardua orang atau kelompok berbeda atau antar pasangan yang sudah menikah. Dua orang yang memiliki masalah, akhirnya saling menyerang dan melukai satu sama lain secara verbal melalui medsos.  Rasa sakit yang disebabkan oleh emosi dan tekanan yang kuat atau masalah hubungan yang tidak terselesaikan. Awalnya hanya dengan kata-kata yang bila tidak bisa dikontrol, bisa berujung fatal.

Mereka nampaknya terlalu sulit untuk mengatasi situasi negatif yang ada. Beberapa orang saling melukai karena mungkin tidak tahu cara yang lebih baik untuk melepaskan tekanan atau rasa sakit emosional. Orang lain melukai diri sendiri  atau melukai orang lain (lewat kata-kata) untuk mengekspresikan emosi yang kuat, seperti kemarahan, kesedihan, penolakan, keputusasaan, nostalgia yang intens, atau kehampaan.

Kembali ke kutipan di atas, sebenarnya tendensi saling melukai (atau melukai diri) ini terjadi pada remaja. Di masa yang sangat labil, mereka melakukan sesuatu yang secara emosional kuat dan hadir seketika dalam dirinya. Paling banyak dilakukan oleh remaja putri tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk remaja pria. Mereka melakukan sesuatu yang dianggapnya sebagai ekspresi dalamnya permasalahan yang dihadapi.

Tetapi hal di atas kerap juga menghantui orang dewasa. Memang upaya saling melukai di medsos kelihatan seperti remaja saja. Tetapi itu bisa terjadi karena ketidakmampuan mengatasi luapan emosi.  Mereka lalu menggunakan medsos untuk saling menyerang satu sama lain.

Untuk setiap orang yang punya masalah, biasanya memantaunya melalui medsos. Di sana bisa terbaca sindiran. Orang lain mungkin saja tidak mengetahui hal itu. Tetapi keduanya sudah bisa paham tentang ‘simbol-simbol’ berupa ironi.

Bagi yang merasa sudah tidak ada manfaatnya menanggapi postingan orang lain biasanya memilih menghapus pertemanan. Mereka berkesimpulan:  ‘tidak bermanfaatnya’ menanggapi status orang lain (yang melukai). Sekali dibalas akan terus terjadi. Balasan itu akan tidak terpikirkan. Yang penting emosinya bisa diluapkan.

Mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa itu sebuah kesia-siaan. Saling balas dendam dirasa aneh dan tidak memberikan hal positif. Lebih lagi ketika masalah pribadi, rasa tersakiti bukannya bisa dirasakan oleh orang (pasangan) lain tetapi bahkan diketahui oleh orang lain dan menjadi bahan pembicaraan tak berujung.

Ada yang tidak tegas. Meski pertemanan sudah dihapus tetapi ia masih punya ‘mata-mata’ untuk melaporkan status lawannya. Ia pun membalasnya di statusnya sendiri yang mungkin saja dipantau oleh orang lain. Tindakan seperti ini dianggap lebih sadis daripada mempertahanakn pertemanan dan saling menanggapi (meskipun hal ini juga negatif).

Yang jadi pertanyaan, apakah saling menanggapi secara langsung atau melalui orang lain dapat menyelesaikan masalah? Tentu saja tidak. Yang dilakukan di sana bukan mencari masalah tetapi ingin memperbesar masalah. Hal yang awalnya hanya diketahui berdua kemudian  diketahui lebih banyak orang. Ia tidak bedanya dengan orang yang ‘berantem’ ditonton oleh lebih banyak orang. Semakin ditonton semakin bersemangat. Akibatnya tindakan saling melukai yang awalnya hanya dibuat untuk mengekspresikan kejengkelan bisa berujung lebih fatal lagi.

Dalam arti ini FB, Instagram, WA atau lainnya bukan media yang tepat untuk mengungkapkan perasaan. Ia memang bisa digunakan secara positif tetapi bila tidak terpikirkan apalagi sekadar menjawab pertanyaannya: Apa yang ada di pikiranmu, maka yang pasti adalah emosi dan emosi.

Lebih lagi kalau emosi yang ada bahkan begitu kuat sehingga muncul  kesimpulan bahwa “Kalau sudah hitam, biarkan terus jadi hitam malah jadi hitam pekat sekalian”. Di sana sudah tidak terkontrol lagi. Di satu pihak tentu ada perasaan ‘puas’. Tetapi apa yang terjadi dengan anak-anak? Apa yang terjadi suatu saat ketika mereka membaca dari jejak digital orang tua? Apa yang kita bisa ajarkan ke mereka?

Banyak orang yang karena tidak mengontrol emosi bahkan berujung sadis. Kasihan membaca bahwa ada pasangan yang membunuh anak-anak sebelum mereka membunuh diri sendiri. Mereka mau ‘hapus’ semua kenangan juga dalam diri anak-anak. Keputusan fatal seperti ini tidak pernah merkea pikirkan secar matang. Yang ada hanyalah menghilangkan jejak selamanya.

Meminta Bantuan

Bagaimana untuk bisa keluar dari ruang saling mencela dan melukai ini? Sebuah pertanyaan yang tentu tidak mudah dijawab. Kita andaikan,  orang yang sudah saling melukai itu bagai dua orang yang berada di lubang yang dalam. Di sana mereka dua sendiri saling menyakiti.

Jalan keluar tentu ‘berteriak’ meminta pertolongan. Keduanya bersama-sama berharap meminta bantuan agar orang lain bisa menarik mereka keluar dari lubang itu. Mereka sendiri tidak mampu menolong diri sendiri.

Meminta bnatuan seperti ini adalah proses yang tidak mudah. Masing-masing pihak masih berpikir bahwa apa yang dilakukannya benar dan yang salah adalah pasangannya. Yang terjadi, pertengkaran tidak mungkin terjadi antara dua orang yang mengakui kesalahan. Pertengkaran terjadi antara dua orang yang yakin bahwa secara pribadi mereka benar dan pasangannyalah yang salah.

Untuk itu keduanya harus besama-sama meminta pertolongan orang lain untuk dapat mengidentifikasi akar masalah.  Mengapa mereka mudah marah?  Apakah ada tekanan sosial? Apakah ada masalah relasional? Situasi traumatis atau kehilangan yang menyakitkan? Kritik atau penganiayaan yang merusak?

Setelah akar masalah dideteksi maka langkah selanjutnya adalah meminta bantuan. Orang yagn bertikai mengakui bahwa dengan bantuan orang lain maka masalah itu bisa diatasi. Hal itu terjadi karena antara keduanya sudah terdapat blok yang menghalangi.  Bantuan bisa dari orang netral atau sangat dianjurkan kalau boleh seorang psikolog. Mengambil waktu agar berdua bisa menemui orang yang tepat adalah langkah yang tepat.

Dan ketika diangkat keluar maka itu belum menyelesaikan masalah. Yang perlu dilakukan adalah berhadapan dengan masalah itu. Bersatu kembali tidak berarti meniadakan masalah. Masalah akan tetap ada. Karena itu keduanya perlu menghadapi akar masalah itu agar tidak terjadi lagi ke depannya. Inilah sosilusi yang diharapkan. Tetapi kerap alternatif solusi itu masih tetap saja muncul.

Bercerai?

Pertanyaan ini tentu tidak diigingkan sama sekali. Berbagai hadangan berupa rasa malu, penderitaan anak-anak, hingga ajaran agama yang tidak menghendaki akan hadir. Tetapi dalam kenyataan, banyak pasangan yang lalu memilih ‘pisah ranjang’. Secara hukum masih ada ikatan tetapi secara fisik mereka sudah saling menjauhi.

Tetapi apakah hal itu akan berakhir dengan perceraian? Mestinya tidak demikian. Orang yang pisah ranjang tetapi masih hidup sekota sebenarnya tidak berniat begitu besar. Mereka masih menyimpan harapan bahwa bisa bertemu, minimal agar anak-anak bisa bertemu dengan ayah atau ibunya.

Untuk orang yang mengambil alternatif ini, saling menjawab melalui media sosial perlu dikontrol. Dikatakan demikian karena secara fisik mereka secara sengaja atau tidak pasti masih bisa saling bertemu. Karena itu menyibukkan diri dalam pekerjaan, bergaul dengan orang-orang yang tepat yang tidak ikut memprovokasi adalah alternatif terbaik.

Lalu apa yang bisa jadi pilihan akhir bila kedekatan fisik yang masih ada tidak diikuti dengan upaya mengontrol diri melalui media sosial? Inilah pertanyaan yang sangat sulit. Jelasnya, tidak bisa terbayangkan ada solusi untuk orang yang tidak mau mencari jalan keluar. Terbayangkan saja bahwa hal itu akan seperti menyulut api dengan ujung yang tidak bisa terselesaikan.

Jelasnya, kalau pun keputusan terbaik agar keduanya mengakhiri hubungan yang sudah dijalin bersama pun hal itu harus ‘dibicarakan’. Hal itu terkait hak pengasuan anak. Juga proses itu pun ada kaitannya dengan urusan agama. Agama yang tidak menghendaki perceraian sama sekali (seperti agama Katolik), misalnya dalam kenyataan menawarkan alternatif pembatalan perkawinan (bukan perceraian).

Apa maksudnya? Gereja Katolik tidak mengakui adanya perceraian. Tetapi  pengadilan gereja bisa mencek dan meneliti proses jalinan ‘kasih’ untuk menemukan simpul bermasalah yang selama ini ditutupi. Dengan bantuan itu, gereja bisa membatalkan perjanjian yang telah dilakukan bersama.

Namun proses itu tentu yang terakhir. Yang terbaik adalah melihat ke anak-anak yang mengharapkan bahwa masih ada sedikit harapan bagi orang tuanya untuk bisa saling mengalah demi mencapai kebaikan dalam diri mereka (Robert Bala, 2 Januari 2021).

Leave a comment