MARIA INGIR WATUN “SI PAKU LURUS”


MARIA INGIR WATUN

‘SI PAKU LURUS’

(Ingin bawa adik-adiknya pulang Kampung’

Sejak tiba di Jakarta, saya selalu simpatik dengannya. Dari cerita yang ia tahu darisang ayah Ignasius Baha Watun dan juga cerita dari mama saya Maria Gelole Henakin, hubungan kami menjadi sangat jelas dan dekat. Ayahnya Maria dan mama saya adalah sepupu kandung. Nenek kami Lou Bala dan Kakeknya Maria, Pito Mea adalah saudara dan saudari kandung.

Sejak saat itu tidak ada sapaan yang lain selain ‘luku’ (sapaan kami untuk Maria) dan ‘om’ sapaan kepada kami. Sebuah sapaan yang begitu ikhlas dan tulus dari anak-anak yang merasa bahwa orang tua masih sangat terlalu dekat. Makanya beberapa kali ketika mama saya ke Jakarta, pasti itu ‘lagu wajib’ harus kunjung ‘Baha Kerbau’, demikian sapaan akrab untuk bapak Ignasius Baha.

Maria tidak hanya akrab dengan orang yang di Jakarta tetapi selalu mau ikut ambil bagian atas semua peristiwa di kampung. Saya tidak tahu sudah berapa yang disumbangkan. Waktu bangun pastoran, Maria tidak hanya sumbang seng tetapi ia tegerak dan menyerahkan bantuan khusus untuk tukang. Itu adalah bentuk kepeduliannya.

Terakhir gerakan tanam bambu. Tidak hanya Maria yang memberi tetapi juga menginformasikan kepada sanak keluarga yang lain, anak-anak kelahiran Jakarta untuk ambil bagian. Dan semuanya sepertinya ‘manggut’ saja pada undangan dan informasi dari Maria.

Pulang Kampung

Sudah berapa kali sehingga saya tidak bisa hitung lagi. Setiap kali ketemu ia selalu ingatkan rencananya mau ongkosin adik-adiknya agar bisa pulang kampung. Rencananya bulan Juni 2020. Rupanya dia sudah siapkan semua agar bisa membawa adik-adiknya.

Lebih lagi setelah bapak Ignasius Baha meninggal. Ia semakin nekad bahwa rencana itu harus terwujud karena itulah juga yang dijanjikan di depan bapaknya ketika masih hidup. Segalanya dipersiapkan. Tetapi pada tanggal 24 Januari rencana itu ‘dipercepat’ setelah kenenya, Guru Paulus Mea meninggal. Dalam keadaan sakit, dan setelah berembuk, akhirnya keputusan itu diambil dan harus segera pulang.

Itulah keputusan terbaik. Meski tidak sampai di kampung, tetapi di Lewoleba ia masih bisa bertemu dengan banyak saudara. Ia merasa begitu gembira dan setiap menit direkam. 4 hari yang terasa begitu cepat dan harus kembali tetapi membawa kepuasan tersendiri.

Secara pribadi saya sedikit ‘mendesak’ malah ‘memaksa’ agar harus terus ke kampung meski hanya semalam. Bahkan kalau hanya sampai dan langsung pulang setelah pasan lilin pun itu tidak apa-apa yang penting sudah pulang kampung. Saya bayangkan kepergian ke kampung 4 orang PP tentu biaya yang tidak sedikit sehingga dalam pikiran saya, pada bulan Juni pun akan menjadi sulit.

Tuhan, aku telah berusaha hidup dan menjadi berarti bagi orang, tetapi kalau Engkau memanggilku, silakan, meski berat. Terjadilah padaku menurut perkataanMu ya Tuhan. 

Di kampung saya bahkan sudah bicara dengan beberapa orang untuk mengatur waktu  agar bisa bertemu dengan luku Maria. Bagi saya, orang Lerek perlu bersyukur bahwa ada anak Lerek kelahiran Jakarta yang masih terus ‘peten lewo’ (ingat kampung halaman). Mereka sudah siap dengan jamuan sederhana (ya pasti  sebatas kacang tanah dan jagung titi). Tetapi itulah bukti keterbukaan hati mereka menerima dan bersyukur.

Sayang rencana itu tidak terjadi. Maria dan Ana hanya di Lewoleba (Wangatoa dan Waikomo), dan tidak sempat ke mana-mana. Ketika bertemu, Maria jelaskan bahwa sudah pasti bulan Juni. Kalau ia sudah sehat, pasti ia bawa adik-adiknya pulang kampung. Rencana itu bahkan ia kembali ungkapkan saat bertemu dalam pernikahan Nindi di Mangga Dua pada Februari lalu. Meski badannya kelihatan sudah sangat menurun, tetapi dengan semangat yang ada ia masih optimis akan pulang kampung.

Dan memang rencaan itu tidak batal. Pada 26 April 2020, pukul 02.00, luku Maria benar-benar pergi ke kampung. Di sana jiwanya pasti mengitari Lerek, melihat sanak saudara, sebelum meneruskan ziarah ke Surga. Itu keyakinan saya dan saya kira orang lain pun tidak berkeberatan dengan ungkapan saya  ini.

Ringan Tangan

Ada banyak hal yang menggembirakan dan menyenangkan dari Maria Ingir Watun. Selalu berbaur dengan siapa saja, pandai menari ikut kekocakan orang Flores, dan begitu alamiah. Melihat cara menari bersama suami, menggambarkan, betapa Maria memiliki pribadi yang periang.

Tetapi dari sekian, Maria selalu ringan tangan. Kepada semua keponakannya, kalau ketemu, ia selalu memberikan ‘sesuatu’. Ia rasa, anak dari saudara juga anaknya. Karena itu ia selalu menunjukkan kedekatan itu.

Kalau ada acara keluarga, Maria tidak pernah hadir dengan tangan kosong. Ia sudah tahu ‘senangnya’ orang Lerek kalau ada minuman dan itu sudah dibawanya, mulai minuman ‘berbotal’ maupun ‘berkaleng’. Bahkan saat Natal Bersama di Atma Jaya pada Januari lalu, ia bisik juga “Om, ada botol” (saya hanya bilang, nampaknya dilarang di sini tapi hati-hati, kareana tidak boleh bawa minuman di Atama Jaya, hehehe). Dia tahu, apa artinya sebuah pesta bagi orang Lerek kalau tidak ‘minum’? Minum bukan untuk mabuk tetapi untuk memberi semangat hidup saja. Minimal kalau setelah minum orang sudah menari ‘tanpa malu-malu’.

Saat misa 7 hari, wafatnya mama Maria Gelole, ia datang dan berbisik: “Om, saya ada bawa ‘aor’” demikian Maria berbisik tentang daging anjing yang sudah disiapkan. Dan bukan Maria kalau porsinya kecil saja, selalu dengan ukuran untuk puluhan orang makan. Tentu semuanya disiapkan dengan baik.

Itulah Maria yang selalu ringan tangan dan saya yakin bukan kepada satu orang saja ia berbuat. Maria begitu ringan tangan kepada banyak orang dan karena itu kematiannya sebuah kehilangan yang luar biasa.

Sebuah kepergian yang terlalu cepat. Luku Maria baru merayakan HUT ke 49 tahun (10 April lalu) diantar kuenya langsung ke Rumah Sakit. Ia masih melihat lilin itu bernyala dan dengan kekuatan yang tersisa padanya,  ia coba  meniupnya. Saat itu pasti Maria juga ‘make a wiss’, sebuah kerinduan yang tak terucap yang tentu juga doa buat orang-orang yang ia sangat  cintai.

Dengan menjadi begitu ringan tangan tidak berarti luku Maria hidup tanpa beban. Sebagai manusia tentu saja ada beban hidup, pribadi, keluarga,  yang tentu sangat berat. Tapi bukan namanya Maria kalau dia ekspresikan kesedihan itu kepada orang lain. Ia memikulnya sendiri dan kepada orang lain ia tampakan yang baik-baik saja.

Semua kebaikan itu tentu membuat banyak orang tersanjung dan gembira. Tetapi tidak sedikit yang bertanya luku Maria harus menderita begitu banyak hingga akhirnya wafat ada dini hari, 26 April 2020 ini?

Pertanyaan ini begitu kuat terasa. Bagaimana mungkin. Di awal tahun 2019, ia menderita  ada flek paru. Darinya Maria ikuti pengobatan selama 6 bulan dan katanya sudah sembuh. Tetapi pada bulan Februari ketika kita ketemu dalam acara perkawinan di Mangga dua, ada berita lain lagi saat saya tanya. Soalnya badan sudah turun sekali. Katanya ia begitu mual dan tidak ada napsu makan, makanya ia begitu kurus (sambil saya lirik adiknya Ana yang badannya tetap ‘stabil’ dan merindukan untuk jadi kurus hehehe). Dari ceri itu saya tahu bahwa ternyata Maria menderita lever.  Tapi setelah diperiksa, kog tidak hanya lever tetapi juga ada batu empedu dan dioperasi pada bulan April ini.

Atas penderitaan yang begitu banyak, kami yang masih hidup ini bisa terima begitu begitu saja karean sepengetahuan saya dan banyak orang,  “kamu itu orang baik. “ Titik. Protes dan berontak pun kami  ungkapkan.

Tetapi dalam kacamata iman, kami percaya Tuhan lebih membutuhkanmu di sana, biar dengan ringan tangamu, bisa membantu lebih banyak orang. Tentu bagi banyak orang rasa kehilangan itu sangat berat: suamimu tercinta, anak, dan keponakan dan siapa saja yang pernah mengenalmu secara dekat.

Agar bisa menghibur hati, kami terpaksa  menemukan perbandingan ini yang moga-moga cocok untuk kamu. Kami menyamakan hidupmu, Maria, sebagai  ‘paku yang lurus’. Di tangan seorang tukang, hanya paku lurus yang terus dipaku dan dipaku sampai tenggelam dan menghilang tinggal kepalanya di luar.

Hal itu berbeda dengan kami kebanyakan yang jadi ‘paku bengkok’ yang ‘tidak dipukul’ karena Tuhan tahu kami tidak akan bertahan sebegitu tabah seperti Maria Ingiw Watun.

Tetapi untuk orang baik seperti luku Maria, Ia terus memukul dan memukul hingga paku itu masuk ke kedalaman. Hari ini paku telah menancap dan akan ‘menghilang’  di TPU Budi Dharma pada Senin, 27 April 2020. Di sana kamu pasti senang meski kami tidak bisa ingkari bahwa kami yang masih hidup ini merasakan sakitnya itu.

Engkau pergi, menghilang seperti paku dan kini tinggal ‘kepalamu’ budi baikmu yang akan terus diingat oleh banyak orang.

Jangan lupa doakan. Semoga jejak baik baikmu jadi pelajaran bagi kami yang masih berjuang di dunia ini. Semoga kerinduanmu pulang kampung tetap jadi pesan  membekas, dan kalau Tuhan menghendaki, suatu saat bisa kembali ke kampung memenuhi kerinduanmu luku. “Naro kie, wage di hare luku Maria Ingir Watun” (Cukup dulu, selama jalan saudari) (Robert Bala, 26 April 2020).