ARNOLD JANSSEN DAN MEDIA SOSIAL


Arnold Janssen dan Media Sosial

Judul tulisan ini sedikit (cukup banyak) tendensius. Bagaimana mungkin, Arnoldus Janssen yang lahir 5 November 1837 dan wafat 15 Januari 1909 ini bisa mengenal Media Sosial seperti: Facebook, WhatsUp, atau Twitter?

Bagaimana mungkin orang yang bahkan saat memperoleh venerasi (10 Mei 1973) dan beatifikasi (19 Oktober 1975) oleh Paus Paulus VI serta dikanonisasi 5 Oktober 2003 oleh Paus Yohanes Paulus II itu bisa mengenal dahsyatnya kekuatan media sosial?

Tentu tulisan ini sekadar angan. Andaikan Santo Arnold Janssen masih hidup kini atau bahkan terlahir sebagai generasi milenial, apa yang akan ia lakukan dengan media sosial? Sebuah angan yang meski sedikit liar tetapi diharapkan bisa menginspirasi.

Tahu Semua

Dalam sebuah workshop di Madrid awal tahun 2002, saya terkesima dengan komentar seorang ibu. Menurutnya, generasi ‘zaman now’, tidak seaktif dan segaul generasi sebelumnya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, terkurung, dan melakukan ‘egonya’ sendiri.

Tetapi ada satu hal yang menarik dan diapresiasi oleh sang ibu tersebut. Baginya, meski berada di dalam kamar, tetapi mereka hampir tahu semua informasi. Dengan media sosial yang dimiliki, mereka bisa mengakses semua berita yang terjadi. Hal itu berbeda dengan ‘geenerasi’ mereka yang selalu ‘gaul’, tetapi tahu tidak sebanyak anak-anak mereka.

Komentar ibu itu benar.  Media sosial memiliki jangkauan pemasuk informasi yang lebih banyak. Data menunjukkan, generasi milenial memperoleh  79% informasi dari media sosial. Kurang darii tu yakni 50,6% mendapatkan informasi melalui TV dan hanya 12,7 % melalui medai cetak.

Hal ini sejalan dengan penggunaan teknologi dan kepemilikian teknologi. Dari 22.733 responden perguruan tinggi di AS, Inggris, Australia, dan Selandia Baru, ditemukan bahwa 97% memiliki Smartphone dan 93% memiliki laptop. Kurang dari setengah responden yakni 44,2% memiliki tablet, dan 14% memiliki jam pintar. Hanya 3,5 % memiliki peralatan VR sendiri.

Konsekuensi dari tendensi dan kepemilikan peralatan teknologi informasi adalah pengetahuan dan pemahaman akan informasi tidak saja lokal, tetapi regional, bahkan internasional. Setiap saat mereka bisa mengakses informasi yang bisa dikatakan banyak.  Informasi di sekitar dicerna, tetapi pada saat bersamaan juga terbuka kemungkinan untuk memahami informasi di luar.

Kendala yang dihadapi di lingkungannya tidak akan membuat mereka putus asah. Dunia tidak  dipandang ‘selebar daun kelor’. Meski ada kendala di depan mata, tetapi mereka masih melihat peluang di tempat lain. Di sinilah kadang terjadi ‘gap’ dengan orang tua. Nasihat yang tentu saja sangat berharga, kadang dianggap ‘angin lalu’. Mereka mau mencari model lain di tempat lain yang jauh berbeda dengan yagn ingin ‘dipaksakan’ kepada mereka. 

Sedikit ‘kepala batu’ memang. Apa yang dipikirkan mau dilaksanakan. Generasi sebelumnya merasa bahwa mereka keras kepala dan tidak mau mendengarkan. Sementara itu yang ada dalam benak mereka adalah kenekatan untuk terlibat dalam kegiatan kewirausahaan. Semangat inilah yang menjadi muara dari pengetahuan dan penguasaan informasi. Informasi dicerna dan kemudian digunakan untuk sesuatu yang dahsyat, menjangkau lebih luas.

Jangkauan Luas

Bila muara akhir informasi adalah bahan untuk penentuan sikap, maka kita bisa melihat bahwa kualitas seperti itu ada dalam diri Arnold Janssen. Pemuda dari Goch, North Rhein-Westphalia, Jerman, memiliki wawasan yang lebih luas dari sekadar konteks lokal atau nasional di mana ia ada.

Fakta bahwa ia adalah seorang imam diosesan (projo) yang tertahbis dan terutus untuk Keuskupan Muenster. Itu berarti jangkauan pelayanannya tidak sejauh itu. Tetapi lewat pergaulan, membaca, Arnold yang ditahbiskan 15 Agustus 1861, memahami sesuatu lebih jauh dari sekadar lingkup hidupnya.

Sang guru Ilmu Pasti itu tidak sekadar mempelajari ilmu secara kaku tetapi menjadikannya ‘elastis’, karena selalu dipadukan dengan doa. Ilmu dan iman berjalan beriringan. Tak heran, dalam usia imamat balita (1876) ia dipercayakan menjadi Direktur Kerasulan Doa untuk Jerman dan Austria.

Dengan pengetahuan, pergaulan, bacaan, pada tahun 1873, Arnold melihat bahwa kerasulan harus melampaui batas-batas wilayah. Melalui majalan “Utusan Hati Kudus”, Arnoldus membuka wawasan orang Jerman agar tidak terpaku pada wilayahnya yang saat itu tengah dikekang oleh politik ‘Kulturkampf’ yang diikuti dengan pengusiran para pastor dan biarawan-biarawati dari Jerman.

Kondisi itu tidak menjadi halangan untuk bermisi. Setiap matapelata selalu ada berkat (Blessing in Disguise). Meski di Jerman terdapat halangan, ia tidak putus asah. Ia ke perbatasan Jerman-Belanda untuk mendirikan Serikat Sabda Allah. Atau bila para imam diusir dari Jerman oleh Otto Van Bismark, ia masih punya alternatif lain. Semuanya dilihat sebagai berkah di balik duka. 

Hal inilah yang akhirnya mendorongnya mendirikan Serikat Sabda Allah pada 8 September 1875 dan  hanya setahun sesudahnya, sudah mengutus 2 misionaris (Yohanes Baptis von Anzer,SVD dan Joseph Freinademetz, SVD) ke Tiongkok. Sebuah gebrakan yang tidak tanggung-tanggung., Dari Jerman ke China, sebuah terobosan yang hanya bisa dilakukan dengan orang yang punya wawasan yang sangat luas.

Gebrakan penuh kenekatan inilah yang memunculkan kepercayaan dari Paus Leo XIII yang setelah memberikan persetujuan pendirian Serikat Sabda Allah (1878) atau hanya 3 tahun dari pendiriannya. Paus juga kemudian memercayakan wilayah misi di Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) kepada SVD.

Karya besar ini tidak terlepas dari semangat awal di mana doa dan karya harus bersamaan.

Demikian juga karya ini tidak saja dominasi kaum pria (pastor dan bruder) tetapi juga harus mencakup juga pelayanan kaum wanita sebagai suster. Ia lalu mendirikan Kongregasi Suster misi Abdi Roh Kudus (SSpS) pada 8 Desember 1889 dan tujuh tahun kemudian yakni tahun 1896, ia mendirikan Kongregasi Suster Abdi Roh Kudus Adorasi Abai (SSpSAP).

Tahu dan Lakukan

Antara Arndolus Janssen dan generasi zaman now sebenarnya terdapat kesamaan. Bukan pada hal eksternal seperti fasilitas, peralatan (seperti teknologi), tetapi dari tujuan dan makna yang diberikan di balik fasilitas yang dimiliki.

Baik Arnoldus Janssen maupun ‘generasi zaman now’, dengan kepemilikian media sosial memiliki kesamaan. Dengan caranya masing-masing, mereka melibatkan diri dengan konteks sosial. Arnold Janssen melibatkan diri dengan komunitas lokal yang kemudian mendirikan majalah sebagai media komunikasi antara mereka yang dekat dan jauh.

Hal yang sama generasi zaman now yang meski kelihatan ‘terkurung’, tetapi sebenarnya dalam kesendirian, mereka membuka komunikasi yang begitu luas. Di sinilah kita bisa menyebut bahwa Arnold dan generasi zaman now sama-sama ‘generasi medsos’. Mereka menggunakan media yang dimiliki pada zamannya untuk menjangkau realitas sosial yang lebih luas.

Kesamaan lain pada tindakan aksi nyata. Pengetahuan akan informasi tentang dunia luar (China) misalnya tidak sekadar tahu tetapi disertai aksi. Pengetahuan akan kebutuhan pelayanan iman di daerah yang sudah punya akar budaya yang kuat seperti Tiongkok mestinya terasa sulit untuk ditembus.

Tetapi Arnold Janssen meyakinkan bahwa pengetahuan itu harus disertai dengan tindakan nyata. Pengiriman misionaris hanya setahun setelah berdiri hanyalah contoh tindakan nyata yang luar biasa (meski sedikit nekat-nekadat).

Tipe serupa mirip dengan generasi zaman now. Mereka kerap dikritik seperti orang yang tidak memperhatikan masa depan dan masa bodoh terhadap nasihat. Hal itu benar adanya. Tetapi yang ada dalam benak ‘generasi zaman now’ adalah usaha untuk bertindak nyata.

Mereka ‘masa bodoh’ dengan omongan orang. Yang ingin diwujudkan adalah segera mewujudkan lewat karya kewirausahaan. Inilah keutamaan generasi zaman now yang sangat klop dengan aksi ‘nekat-nekatan’ dan ingin melakukan apa yang ia pikirkan. Geerasi ini anti senioritas dan karena itu kerap sedikit ‘nakal’ karena berusaha melangkahi nasihat orang yang lebih tua.

Tetapi yang ada dalam benak mereka hanyalah upaya untuk tidak sekadar berbicara (No Action Talk Only), tetapi berbuat meski hanya sedikit. Saya lalu membayangkan, andaikata Arnold Janssen masih hidup, dia pasti sangat gembira dengan generasi zaman now. Dia tidak akan mengutuk apalagi mengambil jarak dari media sosial yang sangat banyak digunakan generasi zaman now.

Sebaliknya, ia pasti jadikan mereka teman dan rekan seperjuangan. Kegemaran kaum muda dan kenekatan mereka agar segera beraksi akan sangat didukung. Sebuah pengandaian yang tidak saja kosong. Kalau di masa yang sulit saja ia sudah berbicara dan melakukan aksi pengiriman misionaris ke China, apalagi sekarang? Ke kutup bahkan angkasa luar pun ia akan pergi bersama generasi zaman now.

Tidak hanya itu. Bersama generasi zaman now yang ingin mengadakan persahbatan sejagat, Arnold Janssen yang sudah terbukti gebrakan kemanusiaan universal pasti menajdi rekan dan teman inspirasi. “One heart, many faces”, satu hati banyak wajah. Artinya, generasi zaman now dengan medsos akan dengan mudah ‘kecantol’ jatuh cinta dengan Arnold Janssen yang sangat ‘gue banget’ dan bersama menyatukan banyak wajah dalam satu hati yang sama.

Selamat Ulang Tahun Serikat Sabda Allah yang ke 144 tahun.