24. Caleg “Drop Out”

Caleg “Drop Out”

Tinggal sebulan lagi pemilihan legislatif (pileg) dijalankan. Aneka strategi sudah dilaksanakan. Kunjungan untuk sosialiasi, pemasangan stiker, banner, hingga baliho sudah dilaksanakan. Mereka dinyatakan siap.

Namun, apakah semua caleg yang akan dipilih nanti benar-benar siap melaksanakan tugas sebagai wakil raykat? Apa yang menjadi kecemasan para pemilih terhadap kualitas caleg?

Belum Selesai

Secara umum, para caleg bisa dibagi dalam tiga kategori. Ada pendatang baru, incumbent, dan para ‘pensiunan’.

Pendatang baru, biasanya merupakan kelompok orang  muda.  Bisa saja baru tamat sekolah/kuliah. Mereka ingin mempraktikkan teori politik di lapangan.

Dari sisi pengalaman beroganisasi, bisa saja mereka sudah pernah terlibat dalam organisasi kepemudaan atau kemahasiswaan. Tetapi sebagai ‘wakil rakyat’, inilah langkah pertama.

Itu berarti butuh ‘pelajaran tambahan’, agar mereka bisa ‘lincah’ mengemban tugas. Terbayang mereka ‘diizinkan’ studi banding biar bisa paham akan tugasnya. Inilah yang disayangkan. Mereka ‘disekolahkan’ dengan uang rakyat. Malah di atasnya, masih diberi ‘uang saku’ yang biasanya sangat dinanti-nantikan.

Ada caleg ‘incumbent’. Mereka sudah lima (malah lebih) tahun di DPRD, namun belum banyak hal yang dicapai. Istilahnya mereka baru selesai belajar dan merasakan selama 5 tahun itu nyaris ada sesuatu bermanfaat yang sudah dilaksanakan.

Tapi yang pasti mereka sudah tahu ‘caranya’. Daya diplomasi mereka sudah semakin baik darinya mereka ‘bertekad’ untuk maju lagi. Intinya: belum banyak yang dilaksanakan. Harapan mereka, ‘pengabdian’ lima tahun ke depan akan lebih baik lagi.

Kategori terakhir dari para pensiunan. Tidak sedikitnya merupakan mantan pegawai negeri entah guru atau pegawai. Selama masih aktif, mereka bisa saja telah melakukan banyak hal. Sayangnya hal itu dirasa belum cukup.

Tetapi, apakah mereka bisa melakukan melampaui dari apa yang sudah dilakukan? Inilah pertanyaan penting. Merujuk kepada tiga tugas dewan: legislasi, budgeting, dan pengawasan, maka harus diakui, tugas ini begitu penting.

Menyusun peraturan perundang-undangan misalnya membutuhkan daya belajar yang luar biasa. Seseorang harus menyusun panduan bagi orang lain. Itu berarti tenaga dan pikiran akan terkuras untuk menghasilkan sebuah peraturan.

Pengawasan merupakan masalah lainnya. Ia harus mengawasi pihak eksekutif yang nota bene memiliki sarana dan prasarana yang lebih banyak. Jadi, apakah ia sanggup mengawasi orang yang lebih memiliki banyak hal (kuasa) daripada dirinya?

Kenyataan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya caleg yang maju bukanlah orang yang hadir dengan ‘kelengkapan’ untuk ‘bertempur’. Mereka sebaliknya adalah orang yang belum menyelesaikan secara tuntas tugas sebelumnya.

Bahkan dalam arti tertentu, tugas sebelumnya tidak dilaksanakan dan karenanya kini mereka mengulanginya lagi. Di sana jelas bahwa mereka bak siswa yang ‘drop out’. Bagusnya, kini mereka diberi kesempatan untuk mengulang malah dianggap bak pahlawan.

Di sana pandangan miris logis saja terarah. Mengutip Abraham Lincoln: “I do not think much of a man who is not wiser today than he was yesterday”, kita berandai, apabila hari ini mereka dikategorikan tidak menyelesaikan tugas atau malah ‘drop out’ karena tidak mampu, maka mustahil besoak mereka menjadi lebih baik.

Mendengarkan

Realitas caleg yang mencemaskan, mesetinya tidak membuat kita pesimis. Hal itu akan berubah secara positif kalau disertai kualifikasi diri berikut. Pertama, butuh kesediaan untuk mendengarkan. Kenyataan belum siap mestinya mengingatkan para caleg untuk mendengarkaan apa yang terjadi. Ia merekam aneka informasi tanpa turut menjadi bagian dari eksekutif yang sibuk mengatur program.

Dalam kenyataannya, tidak sedikit caleg yang memilih hadir untuk promosi diri. Ia hadir seakan menjadi ‘sang ratu adil’. Akibatnya lebih banyak berbicara yang membuka kemungkinan untuk berbohong. Padahal kalau dia mengambil sikap diam dan mendengarkan, selain tidak akan melakukan kesalahan, tetapi juga belajar banyak dari masyarakat.

Kedua, mengakui keterbatasan diri. Tidak sedikit incumbent yang kehilangan alasan untuk menemukan pendasaran mengapa harus muncul lagi. Waktu yang lewat tidak digunakan untuk melakukan hal manawan. Akibatnya, agar jadi berita, ia mengemas peristiwa darinya dia bisa ‘terangkat’.

Hal ini hanya menjadi permainan yang akan cepat terbongkar. Karenanya, butuh kerendahan hati untuk mengakui kekurangan diri. Ia menunjukkan bahwa tidak banyak hal yang dilakukan tetapi yang minimal adalah menjadi orang yang tulus dan ikhlas.

Perilaku ini tentu masih bisa dikembangkan dengan menjadi orang yang tidak melakukan korupsi. Jelasnya, kalau tidak melakukan sesuatu, minimal tidak mencuri apa yang menjadi hak rakyat.

Ketiga, bagi caleg yang ‘sudah pensiun’, tentu harus memilih kebajikan keteladanan. Pengalaman dirinya mesti menginspirasi caleg yang lebih muda tentang pengabdian. Ia lalu berjalan di tengah memberi arah.

Jenis kepemimpinan inilah yang kita nantikan. Bangsa ini kekurangan tokoh yang menginspirasi dan  memberikan arah. Ia juga menginspirasi agar kita menjadi orang yang berani menghadapi hidup dan tidak perlu patah semangat apalagi ‘drop out’ saat  berhadapan dengan tantangan. Kita mestinya lebih berani. Bersambung
Sumber: Flores Bangkit 17 Maret 2014

 

Leave a comment