AWOLOLONG – MELOLONG (Kisah Awololong)


AWOLOLONGMELOLONG

Kisah terjadinya Pulau Siput Awololong

Oleh Damianus Nikolaus Lewar Koban

Tuak wutu awololo itu kisah nyata tenggelamnya pulau awololong…. Kisah memilukan itu dikisahkan kembali oleh nene Frans Gala Weka Koban pada saat saya masih duduk dikelas 4 SDK Lerek dan adik Robert Bala pada saat itu belum sekolah tapi sudah ikut mendengar dan.merekam cerita tersebut.

Kami berdua ke ‘wetak’ Bapa Gala Weka. Dengan umurnya yang sudah usur dan langkah yang sudah mulai tidak tegak lagi, ia pergi ke dalam wetak, dan mengambil dari ‘bola’ (tempat terbut dari anyaman daun lontar untuk menaruh barang) sebuah buku kumal (kayer bersampul coklat) yang ditulis dengan pensil. Tulisan pensil yang ditulis dengan huruf yang sangat rapi (dalam ejaan lama).

Sang maestro yang juga guru agama kawakan, peletak dasar agama Katolik dan konferia di Lerek itu mulai bercerita dan cerita itu itu terjaga dengan baik. dan sampai saat ini masih teringat jelas dalam pikiran dan benakku.

Singkat cerita, ternyata hamparan Awololong yang begitu indah tempat orang memanen siput ini adalah kuburan masal nenek moyang kami kala itu…. Di situ raga banyak orang terkubur di dasar laut oleh hantaman tsunami dan gelombang pasang yang sangat ganas. Ada yang luput tapi tidak seberapa. Kebanyakan menjadi korban.

Kisah itu terjadi kira-kira demikian. Semuanya bermula ketika Raja Dua Buga mengadakan sebuah pesta atau suyukuran yang berlangsung begitu ramai dan berhari hari.

Sebagai mana orang berpesta maka ada tandak dan ketika sedang ramai bertandak tiba tiba seekor anjing milik Patal Honi bangun dari perapian menggigit dan mengangkat sebuah alas priuk kalau dalam bahasa Atadei itu kenerang.

Kenerang itu kemudian dikalungkaknya ke leher dan menyelinap masuk ke tengah kerumunan oranng yang lagi bertandak dan dengan spontan melolong kemudian melantunkan syair sebagai berikut: kingo kango kingo kango …kame au kenale kawok o…tate.tala re…dore tala re... artinya….kingo kango kingo kango….kami hanyalah anjing yang biasanya hanya tidur beralaskan abu bakar…kemana pergi kamipun ikut serta.

Dan bukan hanya anjing yang melantunkan syair penuh arti dan makna tapi dari kejauhan seekor ayam jantanpun melantunkan syair sebagai berikut: koko reo…kaba dulo….kore nange wale nange…artinya…koko reo… saya hanyalah seekor ayam….kemana berenang sayapun ikut berenang .

Dan Setelah melantunkan syair itu tidak lama maka gelombang pasang pun memorakporandakan seluruh kampung dan orang-orang yang sedang berpesta.banyak nyawa yang hilang tertanam tenggelam dalam bencana ini.

Sebagian nenek moyang kami berlari menyelamatkan diri dengan perahu dan sampailah mereka di mulankera desa Lebala Leworajan sekarang. Di sana si bungsu ‘Koban’ merasa sangat letih untuk bisa ikut mendaki ke daerah gunung. Ia pun tinggal menetap di Mulankera sehingga di sana terdapat suku Koban Mulankera. .

Hal itu berbeda dengan si sulung. Ia bersama beberapa saudara yang lain terpencar berjalan mendaki mencari tempat yang nyaman utk dijadikan pemukiman yang baru. Sebagian berhenti dan menetap di Tobilolong dan Baulolong. Ada yang ke Watuwawer. dan Waiwejak makanya di kampung-kampung tersebut ada suku Koban.sampai ada satu kampung dengan nama Lewokoba artinya kampung Koban.

Di bukit Tapor Woloi (bukit sebelum turun ke Lerek) nenek moyang kami menetap sementara sambil.melihat sekitar tempat yngg pas untuk dijadikan tempat bermukim yg baru.

Suatu saat, ketika berburu mereka kaget karena setiap kali anjing kembali dari perburuan dalam keadaan basah. Ada rasa ingin tahu. Di tempat itu tidak ada mata air,tetapi sang anjing justru badannya basah.

Lalu nenek moyang pun menganyam sebuah ketupat dari daun koli lalu mengisi ketupat tersebut dgn abu bakar dan menggantungkan di leher anjing. Tujuannya, abu tersebut dapat jatuh dan menjadi tanda melalui mana anjing tersebut lewat.

Dan terjadi seperti itu. Abu dapur itu menunjuk ke mana arah jalan hingga mereka tiba di Wei Kaw yang hingg kini menjadi sumber mata air untuk Lerek. Air itu untuk waktu yang lama selalu memberikan debit yang besar, meski dalam beberapa musim terakhir mengalami penurunan yang drastis.

Kembali ke cerita si anjing. Atas jasa baik anjing itu, orang Koban (suku Lewokoba) sejak saat itu bersumpah bahwa kebaikan anjing itu harus dibalas dengan tidak memukul atau sekadar menyakitinya. Kalau pun suku lain atau wanita Koban bisa memakan daging anjing, tetapi tidak sama halnya dengan laki-laki suku Koban.

Cerita anjing ini sekadar mengingkatan bahwa sejarah baik Awololong maupun penemuan air di Lerek, selalu ditandai dengan kehadiran anjing. Anjing  memiliki peranan yang sangat penting.

Secara umum, anjing merupakan hewan sosial sama seperti halnya manusia. Kedekatan pola perilaku anjing dengan manusia menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bermain, tinggal bersama manusia, dan diajak bersosialiasi dengan manusia dan anjing yang lain.

Anjing memiliki posisi unik dalam hubungan antarspesies. Kesetiaan dan pengabdian yang ditunjukkan anjing sangat mirip dengan konsep manusia tentang cinta dan persahabatan. Walaupun sudah merupakan naluri alami anjing sebagai hewan kelompok, pemilik anjing sangat menghargai kesetiaan dan pengabdian anjing dan menganggapnya sebagai anggota keluarga sendiri. Anjing kesayangan bahkan sering diberi nama keluarga yang sama seperti nama pemiliknya

Anjing memiliki indra penciuman yang cukup besar dan indra pendengaran yagn cukup tajam. Bahkan anjing juga dapat mengindrai makhluk halus. Reaksi terhadap kehadiran makhluk halus diikuti dengan reaksi dapat memberitahukan kepada manusia tentang hadirnya makhluk halus yang ada di sekitar dan perlu mewaspadai hal itu.

Kembali ke kisah Awololong, kehadiran anjing dalam pesta pora itu bisa bisa saja mengungkapkan dua hal. Pertama, kehadiran anjing dengan indra tajam mengingatkan bahwa bahaya akan segera datang. Keikutsertaan mereka mestinya membuat orang terkejut bahwa bila binatang (anjing dan ayam) bisa berbicara, itu tanda bahwa terjadi keanehan, darinya mereka perlu berjaga-jaga.

Yang terjadi, kehadiran mereka barangkali dianggap bak lelucon. Ia tidak dianggap sebagai ‘peringatan’. Tetapi orang yang selamat, mereka yang melihat keanehan itu dan segera menyiapkan diri agar bisa segera berpindah . Adapun anjing yang sempat luput bernama Lewoleba, Kolibuto dan Lakonawa.

Tetapi juga, gambaran perilaku anjing seperti manusia (bisa bernyanyi dan berpantun) bisa juga sebalinya mengungkapkan perilaku manusia yang seperti anjing. Anjing yang memakai tenerang bisa saja mengungkapkan begitu rendahnya martabat manusia oleh perilaku tak elok. Perilaku manusia sudah tidak ada bedanya dengan anjing. Mereka, seperti anjing’ tidak memiliki lagi moralitas sebagai penjaga kemanusiaan.

Itu sebenarnya mengingatkan bahwa kemakmuran, kesuksesan, tidak mesti harus diikuti dengan melupakan adat istiadat. Kemajuan yang didapatkan orang-orang di kerajaan Awololong mestinya diikuti dengan sikap melekat dan terus berakar pada adat budaya.

Yang terjadi justru lain. Adat istiadat itu terlupakan dan akhirnya berdampak pada hadirnya aneka bencana. Inilah cara sederhana nenek moyang menggambarkan sebab-akibat bencana tsunami. Apa yang digambarkan berada dalam jangkauan pemahaman. Intinya, kemajuan mestinya tidak mengorbankan adat-istiadat. Kemajuan harusnya terus memanusiawikan manusia dan bukan sebaliknya. (Jakarta, 12 Februari 2019, Damianus Nikolaus Lewar Koban)