HATI-HATI DENGAN ORANG YANG DINYATAKAN ‘NEGATIF’ COVID 19


‘HATI-HATI DENGAN ORANG YANG DINYATAKAN NEGATIF COVID-19

Bukankah kalau dinyatakan negatif’ setelah test, kita perlu berbangga dan bersenang-senang?

Jawabannya: “Ya” dan “tidak”. Disebut “ya” karena untuk sementara kita boleh merasa senang. Minimal menarik napas legah. Tetapi dari pengalaman berikut yang melanda keluarga dekatku, menunjukkan bahwa sebaiknya kita berhati-hati dan jangan besenang-senang dulu.

Baru-baru ada pengalaman keluarga dekatku. Mereka satu keluarga 4 orang. Minggu sebelumnya, sang ayah memiliki batuk ringan dengan lendir di hidung. Setelah gejala itu, perlahan ia mengalami bahwa indra penciuman berkurang. Akhirnya di medio Januari, sehari sebelum dinyatakan ‘positif’ covid, ia mengadakan Tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

Karena sudah yakin bakalan sudah terkena ‘covid-19’, malam sebelum dapat kabar pasti dari hasil tes, ia menepi, menyendiri di hotel. Berita kemudian membenarkan bahwa ia sudah terpapar covid-19.

Dengan segera ia meminta agar sang istri dan dua anaknya mengadakan rapid test antigen atau yang biasa disebut tes antigen.

Sebagaimana diketahui, antigen merupakan suatu zat atau benda asing, misalnya racun, kuman, atau virus, yang dapat masuk ke dalam tubuh. Sebagian antigen dapat dianggap berbahaya oleh tubuh, sehingga memicu sistem imunitas untuk membentuk zat kekebalan tubuh (antibodi). Reaksi ini merupakan bentuk pertahanan alami tubuh untuk mencegah terjadinya penyakit.

Dalam tes rapid antigen, ini seorang anak dinyatakan ‘positif covid’. Mendapatkan hasil itu, sang ayah dan keluarga belum merasa cukup meski bisa bernapas legah karena masih ada dua orang yang ‘negatif’. Minimal agar bisa melayani yang sakit.

Mereka lalu melakuakn test PCR. Hasilnya, ternyata seorang anak lagi dinyatakan terpapar covid-19 . Diperoleh catatan sebagai berikut: anak yang sudah terkonfirmasi covid dari tes antigen memperoleh angka CT (Cycle Treshold) 34. Sementara anak kedua yang awalnya di antigen disebut negatif kini dikonfirmasi covid juga karena CTnya adalah 36 (angka CT untuk normal / negative adalah di atas 40).

Untung sang ibu, yang menjadi ‘tulang punggung’, dinyatakan negatif. Ia bisa melayani dua anaknya di rumah saat isolasi mandiri. Sang ayah sementara itu harus diinapkan di Wisma Atlit karen angka CTnya 20an.

Belum Yakin

Dari cerita sederhana ini, saya yang sebelumnya juga sangat awam dengan pembacaan hasil jadi sedikit paham (meski belum paham-paham banget seperti kebanyakan orang). Ia juga membuat saya menarik beberapa kesimpulan yang akan disajikan di bagian akhir tulisan ini, yang akhirnya membuat saya lebih berhati-hati.

Pertama, saya paham apa artinya tes Rapid antibodi dan Tes Rapid Antigen. Seumur begini saya baru lakukan Rapid Tes (Antibodi) saat mengikuti kegiatan Bimtek pendirian Perguruan Tinggi di Bandung awal Desember lalu.

Tes ini akurasinya hanya sekitar 60-an %. Yang diambil darah. Mengapa diambil darah? Karena virus yang masuk ke tubuh akan dideteksi sistem imun tubuh. Sistem imun lalu memproduksi antibodi untuk memusnahkannya. Jadi Rapid Test antibodi bisa mendeteksi hal itu meski akurasi / ketepatannya rendah (60an%) saja.

Karena akurasi rendah maka tentu saja hasil itu tidak membuat orang besenang-senang dulu atau bahkan sampai ‘lupa daratan’. Saya yang pernah melakukan hal ini tergoda untuk bangga. Mungkin saja karena dalam lingkup keluarga baru saya yang melakuakn hal itu. Tetapi itu tidak membuat saya kehilangan control.

Kedua, tes rapid antigen disebut akurasinya bisa mencapia 95%. Biasanya diambil melalui sampel lendir dari hidung atau tenggorokan melalui proses swab.dengan jangka waktu 30 menit (Antibodi 5 – 10 menit). Dengan tes seperti ini, sebagaimaan dialami keluarga dekatku, hanya seorang anak dinyatakan ‘negatif’.

Di sini sekali lagi mengingatkan bahwa hasil yang diperoleh dari tes antigen meski sudah mencapai 95% tetapi belum akurat 100% karena itu jangan berbangga dulu.

Ketiga, dengan PCR. Memang tes ini diprioritaskan bagi orang yang mengalami batuk, pilek, demam, terganggunya indra penciuman, serta sesak napas.

Bahasa sederhananya, kalau sudah mengalami gejala ini, meski secara antigen bersifat negatif (misalnya), tetapi dengan pemeriksaan lebih detil (butuh waktu 1- 7 hari), bisa ditemukan sebab terkecil yang mengonfirmasi hal itu.

Kesimpulan (sementara)

Dari pengalaman di atas saya menarik beberapa kesimpulan yang semoga saja bisa jadi pembelajaran.

Pertama, bila akurasi Rapid antibody hanya 65% dan Antigen 95% maka berapa banyak orang yang sebenarnya ‘positif’ covid meski secara Rapid antibodi dan antigen dinyatakan negatif?

Angkanya bisa kita pastikan banyak sekali. Banyak orang Indoneesia yang kalau saja secara tes rapid antibodi dinyatakan negatif, tetapi bisa saja sudah terpapar covid-19. (Kalau akurasinya 65% maka kita bisa bayangkan bahwa masih ada kemungkinan bahwa  35% x 270 juta sekitar 94 juta orang yang sudah terpapar tetapi tidak diketahui)

Atau kita cari aman dan tidak terlalu menghebohkan. Andaikan saja 270 juta jiwa itu mengadakan Rapid Tes Antigen dan dinyatakan negative, maka 5% x 270 juta atau sekitar 13 juta. Angka ini hampir 12 kali lebih tinggi dari angka terpapar sekarang yang masih di bawah 1 juta.

Kedua, dari kesimpulan awam seperti ini mengingatkan bahwa bagi yang telah ‘negatif’ dalam antigen, harus tetap berhati-hati. Selain itu kita yang belum pernah melakuakn tes baik antibodi maupun antigen perlu berhati-hati juga dengan orang yang sudah dinyatakan negatif secara antigen. Dengan pernyataan bebas seperti itu bisa saja membuat mereka tidak menjaga Kesehatan dan kontak dan bebas bergaul dengan yang belum pernah melakukan tes. Dari sana kemungkinan penularan itu masih saja terjadi.

Ketiga, akhirnya kita tersadarkan bahwa awasan 3 M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak) bukan asal nasihat. Ia mengingatkan bahwa bahaya itu begitu nyata. Kita berhati-hati kepada orang yang meski negatif tetapi ‘sebenarnya positif’. Kalau mereka yang sudah antigen saja dan dinyatakan negative bisa positif, lalu apa jadinya kita yang belum sama sekali tes, bahkan Rapid antibody sekalipun?

Kita bisa saja sedang jalan-jalan dengan ‘covid-19’ yang sudah ada. Kita membawanya kemana-mana. Kita senang karena antibody kita cukup kuat sehingga ketika virus datang langsung dilawan. Tetapi apa yang terjadi ketika dengan antibody kuat menularkan kepada orang yagn memiliki penyakit bawaan? Ah, tidak suka mendengar analisis yang menakutkan ini. Lebih baik ketatkan lagi 3 M. (Robert Bala, 22/1/2021).